SOLOPOS.COM - Pembicara dan Direktur PSHTK saat Talkshow “Independensi Kekuasaan Kehakiman” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi FH UKSW. (Istimewa)

Solopos.com, SALATIGA — Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi (PSHTK) Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana atau UKSW Salatiga menggelar talkshow Independensi Kekuasaan Kehakiman, Selasa (18/10/2022).

Kegiatan ini dalam rangka merayakan ulang tahun ke-4 PSHTK dan Dies Natalis ke-63 Fakultas Hukum UKSW. Tiga narasumber hadir dalam talkshow yang diadakan secara online menggunakan Zoom Meeting ini.

Mereka adalah Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 2003-2008 dan 2015-2020 serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum., Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., dan Peneliti PSHTK dan Dosen Fakultas Hukum UKSW Dr. Titon Slamet Kurnia, S.H., M.H.

Dalam siaran pers yang dikirimkan, Direktur PSHTK Dr. Umbu Rauta, S.H., M.Hum., mengatakan kegiatan ini diselenggarakan untuk memberikan pemahaman yang utuh kepada para akademisi maupun masyarakat umum terkait hakikat kemandirian lembaga peradilan atau kekuasaan kehakiman, baik secara konseptual maupun normatif.

Baca Juga: Dubes Indonesia untuk Vatikan Bagikan Pengalaman di Dies Natalis FH UKSW

“Selain itu, kegiatan ini diharapkan dapat pula menghasilkan masukan kepada pihak terkait mengenai praktik berhukum yang benar sesuai hakikat konstitusi UUD NKRI 1945 dan UU tentang Mahkamah Konstitusi,” kata Umbu Rauta.

PSHTK mengungkapkan peristiwa politik mengejutkan terjadi pada 29 September 2022 di mana Hakim Konstitusi, Aswanto, diberhentikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan alasan kecewa dengan kinerja yudisialnya.

Pada saat bersamaan, DPR juga memutuskan untuk mengganti posisi Aswanto dengan Guntur Hamzah melalui proses yang dianggap tidak transparan dan objektif.

Hal tersebut jelas mengganggu kemerdekaan atau kemandirian Mahkamah Konstitusi sebagai kekuasaan kehakiman. Dalam talkshow yang diikuti mahasiswa FH UKSW dari berbagai angkatan ini, dikupas lengkap peristiwa politik di atas.

Baca Juga: Teori dan Praktik Kepailitan Dikupas Tuntas di Seminar FH UKSW

Berkenaan dengan tindakan DPR dalam memberhentikan Hakim Konstitusi, I Dewa Gede Palguna menegaskan prinsip fundamental yang menjadi landasan utama dalam suatu negara demokrasi yang berdasar pada hukum (constitutional democratic state) harus memenuhi dua syarat, yaitu menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi (constitutionalism) dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman (the independence of the judiciary).

“Secara konstitusional, Indonesia merupakan negara constitutional democratic state sehingga tindakan DPR dalam menghentikan Hakim Konstitusi Aswanto mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Hal tersebut merupakan ancaman langsung terhadap eksistensi negara hukum,” katanya.

Ni’matul Huda menitikberatkan pada dua aspek, yaitu yang pertama adalah pentingnya check and balances dalam hubungan lembaga negara sehingga diharapkan kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, dikontrol dengan sebaik-baiknya.

Aspek lainnya adalah pentingnya judicial review oleh Mahkamah Konstitusi terhadap produk DPR, karena produk DPR tidak boleh dibiarkan bertentangan dengan konstitusi dan apabila tetap dibiarkan akan mengakibatkan terjadinya proses deligitimasi konstitusi, pelanggaran hak konstitusional warga negara dan berujung pada ambruknya demokrasi.

Baca Juga: BPM UKSW Salatiga Kerja Sama dengan Panti Pelayanan Sosial Anak, Ini Tujuannya

Dosen Fakultas Hukum UKSW Titon Slamet Kurnia menuturkan tindakan DPR memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto jelas merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

Menurutnya, kesalahan tersebut terutama karena melanggar asas security of tenure yang sangat penting secara fungsional untuk asas independensi yudisial.

“Namun praktik tersebut seharusnya menjadi pintu masuk dibukanya ruang disagreement antara pembentuk Undang-Undang dan MK atau dikenal dengan check and balances supaya institusi pengujian yudisial konstitusionalitas undang-undang ini dapat tetap langgeng di masa depan. Jika saluran untuk berbeda pendapat ini tersedia, mungkin DPR tidak akan blunder,” terangnya.

Rekomendasi
Berita Lainnya