SOLOPOS.COM - Prasasti Tragedi Trisakti dan Mei Kelabu 1998 (JIBI/Solopos/Antara/Reno Esnir)

Hak asasi manusia khususnya terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dikritisi Setara Institute.

Solopos.com, JAKARTA — Setara Institute menilai prakarsa Jaksa Agung M. Prasetyo dan Komnas HAM untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu merupakan pendapat keliru.

Promosi Keren! BRI Jadi Satu-Satunya Merek Indonesia di Daftar Brand Finance Global 500

Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, mengatakan ada beberapa kekeliruan yang sedang dilakukan oleh Komnas HAM dan Jaksa Agung.

“Dua lembaga itu telah berkolaborasi mengambil jalan pintas tetapi mengesampingkan perundang-undangan, nurani korban, serta prinsip keadilan dalam disiplin HAM,” kata dia dalam siaran pers, Senin (6/7/2015).

Ekspedisi Mudik 2024

Kekeliruan pertama, papar Hendardi, ada pada prinsip rekonsiliasi yang merupakan bentuk alternatif penyelesaian kasus pelanggaran HAM setelah ada kesimpulan kasus-kasus tersebut sulit diselesaikan.

“Artinya, rekonsiliasi merupakan keputusan yang muncul setelah adanya proses penyelidikan dan penyidikan,” beber dia.

Namun yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dan Komnas HAM justru memilih jalan rekonsiliasi di awal yang menegasikan proses yudisial terlebih dahulu.

“Cara kerja semacam ini hampir dipastikan tidak akan memperoleh kebenaran materiil atas sebuah peristiwa hukum,” kata dia.

Menurutnya, penegak hukum perlu mengingat rekonsiliasi adalah pilihan dan proses politik dalam menyikapi suatu peristiwa pelanggaran HAM.

“Untuk itu keputusan ini harus didasarkan pada keputusan politik yang representatif dan dengan dasar undang-undang,” ungkap dia.

Dengan demikian, untuk memulai jalan rekonsiliasi harus dilakukan dengan membentuk UU KKR. Sejalan dengan itu, penyidikan terhadap kasus-kasus sudah bisa dilakukan karena dasar penyidikan adalah UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Kekeliruan yang kedua, adalah terkait tim itu sendiri. Menurutnya, Tim Rekonsilasi adalah tim yang menjadi jembatan antara negara dan aparaturnya yang dituduh melakukan pelanggaran dengan korban.

“Jadi, tim bukanlah representasi para pihak, tetapi mesti terdiri dari orang-orang yang sangat berintegritas dan pembela HAM.”

Nyatanya, tim dibentuk adalah gabungan antara kelompok korban, pihak yang diduga pelaku, masyarakat, dan lain sebagainya.

“Inilah kekeliruan serius dalam tim yang rencananya akan dibentuk oleh Presiden RI atas prakarsa Kejaksaan Agung,” ungkap dia.

Dalam hukum HAM, TNI, dan aparat negara lain adalah subyek hukum, yang tidak bisa mengadili dirinya sendiri. “Jadi, dapat dibayangkan kualitas kerja seperti apa yang akan diproduksi oleh tim gado-gado ini,” ungkap dia.

Maka dari itu, Ismail Hasani, Direktur Riset Setara Institute, mengingatkan kekeliruan fundamental tersebut patut diduga sebagai upaya yang disengaja untuk mencari jalan pintas dan segera memetik citra.

“Selain itu, patut diduga kejaksaan dan Komnas HAM dengan sengaja mengambil momentum kepemimpinan baru dan pembenaran dari Nawacita untuk melanggengkan impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM berat,” kata dia.

Saat ini, tegasnya, Setara selalu mengingatkan janji Presiden Jokowi dalam Nawacita sangat jelas, yakni akan menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. “Tetapi tidak dengan konsep yang keliru,” kata Hendardi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya