SOLOPOS.COM - Iustrasi haji metaverse (bpkh.go.id)

Solopos.com, SOLO — Haji metaverse menjadi perbincangan warganet di media sosial. Perbincangan tersebut datang setelah pemerintah Arab Saudi mengumumkan inisiatif realitas virtual (VR) yang memungkinkan umat Islam dapat menyentuh Hajar Aswad tanpa meninggalkan rumah.

Teknologi itu disebut Virtual Black Stone Initiative yang merupakan teknologi VR baru dan membawa situs suci umat Islam ke ruang keluarga muslim saat pandemi Covid-19. Sayangnya, langkah ini ditentang oleh banyak orang karena dinilai melakukan ibadah melalui teknologi metaverse tidak sah.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Dikutip bpkh.go.id dari USA Today, baru-baru ini, metaverse adalah kombinasi dari beberapa elemen teknologi termasuk VR, Augmented Reality (AR), dan video di mana pengguna dapat berinteraksi dalam dunia digital. Pengguna metaverse dapat bekerja, bermain, dan tetap terhubung mulai dari konser dan konferensi hingga perjalanan virtual keliling dunia.

Baca Juga: Haji Metaverse Bikin Heboh, Lantas Apa Itu Metaverse?

Imam Masjidil Haram Sheikh Abdul Rahman Al-Sudais merupakan orang pertama yang mencoba teknologi itu. Pada Desember 2021, dia memakai kacamata VR di acara peresmian. “Arab Saudi memiliki situs keagamaan dan sejarah besar yang harus didigitalisasi dan dikomunikasikan kepada semua orang melalui sarana teknologi baru,” kata Sudais pada Desember 2021, dikutip Middle East Eye.

Namun, inisiatif tersebut membawa banyak perdebatan. Misal, Kepresidenan Urusan Agama Turki atau Diyanet mengatakan umat Islam dapat mengunjungi Ka’bah di metaverse tetapi kegiatan itu tidak terhitung sebagai ibadah.

“Ibadah haji harus dilakukan dengan pergi ke kota suci dalam kehidupan nyata. Adapun versi metaverse Ka’bah menjadi kontroversial di kalangan muslim di seluruh dunia setelah acara Virtual Black Stone Initiative Arab Saudi pada Desember,” kata Direktur Departemen Layanan Haji dan Umrah Diyanet Remzi Bircan.

Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan pandangan soal haji metaverse. Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan platform kunjungan Ka’bah secara virtual melalui metaverse bisa bermanfaat untuk mengenali lokasi yang akan dijadikan tempat pelaksanaan ibadah.

”Mulai dari mana nanti tawafnya, kemudian di mana Al Mustajabah tempat-tempat mustajab, di mana Makam Ibrahim, kemudian di mana Hajar Aswad, kemudian di mana Rukun Yamani, dan di mana Mas’ah. Maka dengan teknologi itu bisa lebih mudah dikenali sehingga tergambar oleh calon jemaah,” kata dia, dilansir Kantor Berita Antara.

Baca Juga: Lagi Ramai, Haji Metaverse Kunjungan ke Kabah Secara Virtual

Dengan demikian, kata Asrorun, melihat atau mengelilingi Ka’bah dengan menggunakan teknologi secara metaverse merupakan hal yang baik, tetapi tidak dapat dikatakan sedang berhaji karena tak memenuhi syarat-syarat haji.

Ia mengatakan pelaksanaan Ibadah haji harus hadir secara fisik di tempat-tempat yang ditentukan, seperti di Padang Arafah, Muzdalifah, Mina, Ka’bah, Shafa, dan Marwa. Selain itu, waktu pelaksanaannya telah ditentukan yakni digelar pada bulan Dzulhijjah.

“Namun, terkait pelaksanaan ibadah haji dengan mengunjungi Ka’bah secara virtual tidak cukup karena itu tidak memenuhi syarat ibadah haji,” kata Asrorun.

Asrorun menjelaskan, ibadah haji merupakan ibadah mahdlah dan bersifat tauqify yang berarti tata cara pelaksanaannya sudah ditentukan. Ada beberapa ritual yang membutuhkan kehadiran fisik.

“Haji itu merupakan ibadah mahdlah dan bersifat dogmatik yang tata cara pelaksanaannya atas dasar apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad,” ujarnya.

Baca Juga: MUI: Mengelilingi Ka’bah Via Metaverse Bukan Termasuk Ibadah Haji

Selain itu, pelaksanaan manasik haji terkait dengan kunjungan di beberapa tempat. Misal, tawaf yang tata caranya mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran dimulai dari sudut Hajar Aswad secara fisik dengan Ka’bah berada di posisi kiri.

”Haji dan umrah tidak bisa dilaksanakan dalam hati, dalam angan-angan, atau secara virtual. Atau dilaksanakan dengan cara mengelilingi gambar Ka’bah, atau replika Ka’bah,” ucapnya dikutip dari Youtube Bisnis.com.

Pandangan Ulama

Kemajuan teknologi merupakan sebuah keniscayaan. Kemajuan teknologi ini juga memberikan banyak kemudahan kepada manusia. Adapun kemudian keberadaan Ka’bah virtual itu berkembang menjadi diskusi perihal pelaksanaan ibadah haji secara virtual di metaverse.

Di Indonesia sendiri masalah ini baru diperbincangkan akhir-akhir ini. Dikutip dari islam.nu.or.id, Rabu (9/3/2022), belum ada kajian mendalam perihal pelaksanaan ibadah haji secara virtual di Indonesia. Namun pembahasan ibadah haji secara virtual dari pandangan ulama fiqih mazhab Syafi’i mengharuskan pelaksanaan tawaf secara fisik (sebagai salah satu rukun haji) di dalam Masjidil Haram.

“Wajib tidak melaksanakan tawaf di luar masjid sebagaimana wajib tidak melaksanakannya di luar kota Makkah dan Tanah Haram,” (Ar-Rafi’i, Al-Aziz bi Syarhil Wajiz, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1997 M/1417 H], juz III, halaman 395).

Kehadiran jemaah haji secara fisik merupakan syarat sah tawaf. Bahkan jemaah haji dianjurkan untuk mendekat pada Ka’bah saat pelaksanaan tawaf. Kalau pun boleh agak jauh dari Ka’bah, maka tawaf dianggap sah selagi masih dilaksanakan secara fisik di dalam Masjidil Haram.

Baca Juga: Kemenag Usul Biaya Haji 1443 Hijriah Rp45 Juta, Ini Perinciannya

“Kami telah sebutkan bahwa [orang yang tawaf] dianjurkan dekat dengan Ka’bah tanpa perbedaan pendapat ulama. Nash-nash dari Imam As-Syafi’i dan ashhab bersepakat, boleh mengambil posisi agak jauh [dari Ka’bah] selama masih di area Masjidil Haram. Umat Islam bersepakat atas masalah ini. Mereka juga bersepakat, seandainya seseorang melakukan tawaf di luar masjid, maka tawafnya tidak sah,” (An-Nawawi, Al-Majemuk, [Kairo, Al-Maktabah At-Tawfiqiyah: 2010 M], juz VIII, halaman 43).



Demikian juga dengan rukun haji lainnya, yaitu sai dan wukuf. Mazhab Syafi’i mengharuskan kehadiran fisik jemaah haji untuk wukuf di Arafah meskipun hanya sejenak. Kehadiran fisik jemaah haji walau sejenak merupakan syarat sah wukuf di Arafah meski jemaah itu mendatanginya, berdiam, atau sekadar melalui kawasan Arafah.

“Yang diakui dalam hal ini [wukuf] adalah kehadiran fisik di Arafah sejenak dengan syarat jemaah adalah [memenuhi syarat sebagai] ahli ibadah baik ia mendatangi, berdiam, atau sekadar melewatinya,” (An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz II, halaman 374).

Pada prinsipnya, pelaksanaan ibadah haji (setidaknya menurut Mazhab As-Asyafi’i) mengharuskan kehadiran jemaah haji secara fisik. Tanpa kehadiran fisik, rangkaian manasik haji tidak sah menurut syariat. Dengan demikian manasik haji virtual tidak sah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya