SOLOPOS.COM - Ilustrasi Pemberangkatan Haji (Dok/JIBI/Solopos)

Haji 2016 diwarnai kasus paspor ilegal 177 jemaah asal Indonesia di Filipina. Kasus ini diduga karena mereka hendak mengakali antrean haji puluhan tahun.

Solopos.com, JAKARTA — Kasus penahanan 177 warga negara Indonesia (WNI) karena menggunakan paspor ilegal di Filipina untuk berhaji ke Mekkah, menjadi pelajaran berharga bagi calon jemaah haji. Warga diminta memahami keterbatasan kuota haji yang membuat mereka harus antre selama puluhan tahun tak hanya terjadi di Indonesia.

Promosi BI Rate Naik, BRI Tetap Optimistis Penyaluran Kredit Tumbuh Double Digit

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Abdul Djamil menegaskan bahwa persoalan 177 WNI dengan paspor palsu Filipina itu bukan ranah Kementerian Agama. Namun, dia mengimbau masyarakat untuk mengikuti regulasi yang ada jika ingin beribadah haji.

“Kalau mau berangkat haji, ikutilah jalur yang semestinya sehingga terjamin dari aspek keberangkatannya, perlindungannya, bimbingannya, dan pelayanannya,” kata Abdul Djamil di Kantor Urusan Haji, Jeddah, Sabtu (20/08/2016), dikutip Solopos.com dari rilis di situs Kementerian Agama.

“Saya mengimbau supaya tidak menggunakan media seperti itu. Apalagi dia meminta visa di negara lain. Itukan konsekuensinya dia harus memiliki paspor dari negara yang bersangkutan,” tambahnya.

Mantan Rektor IAIN Walisongo Semarang ini mengakui bahwa antrean berangkat haji saat ini cukup panjang. Bahkan di Sulawesi Selatan mencapai tiga puluh satu tahun, dan di Kalimantan Selatan mencapai dua puluh delapan tahun. Namun demikian, fenomena antrian berhaji tidak hanya terjadi di Indonesia karena antrean di negara tetangga bisa mencapai lima puluh tahun.

Antrean haji ini, menurut Abdul Djamil, tidak bisa dihindari karena terkait kapasitas Tanah Suci, Armina, dan Masjidil Haram yang terbatas. Jika Masjidil Haram sudah diperluas, masalah masih muncul di Mina yang tidak diperluas karena batas-batasnya sudah ditentukan.

“Saya imbau kalau ingin berhaji silahkan daftar sedini mungkin. Sebab, hingga sekarang antara kuota dan peminat haji belum berimbang dan itu tidak hanya di negeri kita,” imbaunya.

Diberitakan Solopos.com sebelumnya, ratusan WNI itu dilaporkan membayar sejumlah uang untuk mendapatkan paspor Filipina. Menurut Komisioner Biro Imigrasi Bandara NAIA, Jaime Morente, seperti dilaporkan media-media lokal Filipina, philstar.com dan gmanetwork.com, Sabtu (20/8/2016), dokumen paspor Filipina yang dibawa para WNI itu asli, namun cara mendapatkannya dilakukan secara ilegal.

Diduga kuat, paspor Filipina itu disediakan oleh lima warga Filipina yang mendampingi mereka. Lima orang itu sudah ditahan otoritas setempat. Mereka diyakini sebagai sindikat pemalsu paspor dan ditahan oleh Biro Investigasi Nasional (NBI) untuk diselidiki lebih lanjut.

Para WNI itu membayar sebesar US$6.000 – US$10.000 atau Rp78 juta – Rp131 juta per orang untuk mendapatkan paspor Filipina itu. Identitas mereka belum dirilis otoritas setempat. Namun, pemerintah Filipina akan mendeportasi para WNI itu, dengan bantuan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Manila.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya