SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Saya baru saja pulang dari Jakarta sore itu. Sambil duduk-duduk melepas penat di depan televisi , ‘ujug-ujug’ saja, alias ‘dengan tidak disengaja’, saya mendengar lafal ‘hehe…!’ dari seseorang yang sangat ternama di perpolitikan kita.

Di antaranya dia mengatakan sayup-sayup masih saya ingat—‘Tidak tahu apa yang dia maksud dengan  ‘hehe…’, ketika saya tanyakan kelanjutan dari kasus itu.’ Nah, bentuk ‘hehe’ itulah yang menarik bagi saya untuk dituliskan dalam catatan bahasa ini.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Memang bentuk ‘hehe’, atau ada juga yang memperpanjangnya sesuai dengan maksud dan kepentingannya jadi ‘hehehehe…’, atau bahkan bisa lebih panjang lagi ‘hehe, hehe’-nya itu.

Akan tetapi adakalanya pula, seseorang justru memperpendeknya menjadi ‘he’ saja. Bentuk perulangan ‘salin swara’ untuk bentuk-bentuk kebahasaan itu pun beragam, tentu dengan maksud dan makna yang beragam pula.

Pertama ‘haha-hehe’, kedua ‘hahahaha-hehehe’, dan ketiga mungkin ‘ha-he’ atau ‘ha-he, ha-he’. Ada pula yang menyangatkan maksud kebahasaan itu dengan mengulang kembali perulangan‘ salin swara’ itu hingga menjadi ‘haha-hehe, haha-hehe’ atau ‘hahahaha-hehehehe, hahahaha-hehehehe’.

Sekali lagi, maksud dari setiap bentuk kebahasaan di depan itu berbeda. Bentuk yang tidak diulang dan bentuk yang diulang itu juga memiliki kadar makna yang tidak sama. Bahkan bisa jadi, bentuk kebahasaan yang sama tetapi dilafalkan dengan penekan an, keras-lemah, dan kecepatan berbeda, akan dimungkinkan
pula menghadirkan makna yang tidak sama.

Ketika seorang anak pulang sekolah, kemudian ditanyai ibunya ihwal nilai yang didapat, bisa saja dia
akan menjawab ‘he’ atau ‘hehe’. Mungkin maksud dari bentuk yang per tama adalah ‘maaf, jelek Bu’, atau malahan ‘ah, nilaiku bagus lho, Bu’. Atau, bisa jadi sama sekali bukan salah satu di antara kedua tafsiran makna itu.

Ketika seorang atasan menanyai bawahan dengan serius ihwal persoalan tertentu katakan saja korupsi lalu jawaban si bawahan itu hanyalah ‘he’ atau ‘hehe’ atau ‘hehehehe’, tentu maknanya akan bisa variatif.

Ibaratnya, bentuk kebahasaan yang belum dimaknai sesuai dengan konteksnya alias ‘context-free’ akan  dapat melahirkan kemungkinan makna bermacam-macam. Sesungguhnya, sebuah entitas kebahasaan itu baru dapat kelihatan kejelasan maknanya, hanya apabila entitas itu dimaknai sesuai dengan konteksnya alias ‘context-dependent’.

Jadi, bukan yang bersifat ‘liar’ alias sedang ‘at large’ kalau itu seekor singa atau puma. Jadi, ‘he’ atau ‘hehe’ yang satu bisa berbeda dengan ‘he’ atau ‘hehe’ lainnya ketika konteks yang dilibatkan tidak sama. Maka, sang Ibu yang sedang jengkel dengan anaknya, yang menyampaikan makna dengan bentuk kebahasaan ‘context-free’ itu lantas menyergahnya, ‘Kamu kok cuma hahe-hahe gimana sih, dapat berapa?’

Nah, jika ‘hahe-hehe’ yang merupakan bentuk perulangan ‘salin swara’ itu, kemudian diulang kembali unsur ‘salin swara’ pertamanya dan dijadikan bentuk lingga, maka maknanya adalah ‘kejengkelan’. Makna ‘jengkel’ dari  sang Ibu bertambah intensitasnya ketika bentuk itu diubah jadi ‘Kamu kok cuma hahe-hahe, hahe-hahe, hahe-hahe, gimana sih, dapat berapa?’

Tidak saja bentuk kebahasaan demikian itu hadir dalam bahasa Indonesia seperti yang telah banyak dicontohkan di depan tadi, tetapi ternyata bentuk itu juga hadir dalam bahasa Jawa. Sepertinya, justru model pengungkapan serupadalam bahasa Jawalah yang kemudian banyak diadopsi dalam bahasa Indonesia.

Dalam bahasa Jawa, bentuk demikian itu memang dapat ditemukan dengan melimpah. Sebut saja misalnya ‘wegahwegeh’, ‘emah-emoh’, ‘ujas-ujus’, ‘bolak-balik’, ‘tura-turu’, ‘dolandolen’, ‘lunga-lungo’,  ‘plencangplencing’, ‘cengar-cengir’, ‘nggah- nggih’, ‘mbotan-mboten’, ‘sluman-slumun’, ‘mongan-mengen’, ‘srupat-sruput’. Dari bentuk- bentuk itu jelas kelihatan bahwa memang ada yang masih kelihatan bentuk dasarnya, seperti pada ‘srupat-sruput’. Adapun yang menjadi bentuk dasarnya ‘sruput’, dalam bahasa Indonesia ‘menyeruput’.

Demikian pula ‘plencang-plencing’, bentuk dasarnya ‘plencing’, dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai ‘pergi terus’. Juga ‘ujasujus’, yang menjadi bentuk dasar adalah ’ujus’, maknanya adalah ‘tidak berperilaku sopan’. Maka, ‘ujas-ujus’ dalam bahasa Jawa lazim digunakan untuk menyebut perilaku orang yang tidak
tahu ‘tata krama’. Akan tetapi, pada ‘monganmengen’,  tidak ada satu pun yang menunjukkan aslinya. Yang ada adalah ‘mangan’, artinya ‘makan’. Jadi, memang betulbetul telah terjadi peristiwa ‘salin swara’ ganda.

Demikian pula ‘modang-medeng’, tentu tidak ada bentuk dasar ‘modang’ dan ‘medeng’. Adapun yang ada  adalah ‘madang’, artinya ‘makan’. Sekilas bentuk kebahasaan yang berupa perulangan itu tidak ada kaidah mengaturnya. Namun sesungguhnya jelas sekali alias  ‘gamblang wijang- wijang’ kaidahkaidah kebahasaan dalam bahasa Jawa itu. Nah, bukan maksud tulisan ini berbicara lebar ihwal kaidah perulangan ‘salin swara’ pada entitas ke bahasaan karena fokus perbincangan di sini adalah pada dimensi makna.

Adapun makna bentuk perulangan seperti di atas secara umum adalah ‘penekanan’ atas makna bentuk dasarnya. Adapun gradasi makna penekanan itu juga tidaklah sama, dan lagi-lagi tergantung pada konteks  kebahasaan (co-text) dan konteks nonkebahasaan  (context) yang mewadahi kehadiran bentuk-bentuk  perulangan itu.

Berkaitan dengan ini seorang pakar bahasa pernah menyebut bahwa pemaknaan ini harus melibatkan ‘rasa’, yang dalam bahasa Jawa lazim disebut ‘rasa basa’. Nah, ‘rasa basa’ sesungguhnya lekat sekali dengan ‘graita’ atau ‘panggraita’. Maka orang sering mengatakan ‘lantip panggraitane’ dan ‘kethul panggraitane’.  Orang yang pandai memaknai bentuk kebahasaan, juga bentuk perulangan seperti disebutkan di depan itu, akan dapat dikatakan sebagai orang ‘lantip graitane’.

Sebaliknya, ada banyak pula orang yang ‘kethul graitane’ atau ‘bundhu panggraitane’. Bagi orang yang paham dan tahu seluk-beluk ‘rasa’, terlebih mereka yang piawai ‘olah rasa’, pasti akan piawai juga memaknai bentuk kebahasaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya