SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SRAGEN — Kuasa hukum mantan Bupati Sragen Agus Fatchur Rahman yakin bakal memenangi gugatan praperadilan dan penetapan tersangka kliennya dalam kasus dugaan korupsi kas daerah (kasda) 2003-2010 gugur dengan sendirinya.

Sidang lanjutan gugatan praperadilan itu digelar di Pengadilan Negeri (PN) Sragen, Senin (1/7/2019). Dalam sidang itu, kuasa hukum Agus, Zamzam Wathoni, menghadirkan saksi ahli yakni pakar hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Arif Setiawan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Setelah mendengarkan keterangan saksi ahli itu, Zamzam Wathoni optimistis penetapan tersangka kliennya akan gugur dengan sendirinya. Dia menilai dalam perkara tersebut berlaku asas ne bis in idem karena kasus dugaan korupsi senilai Rp11,2 miliar sudah inkracht, pelaku sudah dieksekusi dan mengembalikan kerugian negara.

“Saya yakin Kejaksaan akan kesulitan membuktikan itu [keterlibatan Agus Fatchur Rahman dalam kasus korupsi kasda]. Perkara ini sudah diputuskan atau sudah inkracht. Pada saat itu sudah ada pesertanya [tersangka], masa ini penonton malah mau dijadikan peserta. Kan lucu, jadi Kejaksaan ini kurang kerjaan,” ucap Zamzam saat ditemui wartawan seusai sidang.

Zamzam juga menilai ada kejanggalan pada penerbitan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dalam perkara tersebut. Menurutnya, SPDP tersebut diterima Agus pada 5 Desember 2018, namun pada SPDP tertulis tanggal penerbitannya 6 Desember 2018.

“Prosedur penyitaan alat bukti itu juga diabaikan Kejaksaan. Alat bukti yang sah itu seharusnya dokumen surat asli, bukan fotokopi. Walaupun sudah konfirmasi dari pihak-pihak terkait, kalau tidak memenuhi standar UU maka [bukti] itu tidak ada gunanya dan tidak berarti apa-apa. Barang bukti itu harus sudah disita sebelum ditetapkan tersangka, hla ini ditetapkan tersangka dulu baru dilakukan penyitaan barang bukti,” papar Zamzam.

Dalam sidang itu, Arif menjelaskan pengertian mengenai SPDP, pengertian tersangka, syarat keabsahan barang bukti, dan lain sebagainya sesuai dengan KUHAP. Menurutnya, SPDP itu sifatnya imperatif atau wajib, bukan fakultatif.

Konsekuensi dari penerbitan SPDP yang tidak sesuai aturan, kata Arif, bisa membatalkan penyidikan. Arif juga menjelaskan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka setelah terpenuhi bukti permulaan, bukan atas dasar prasangka atau perasaan.

Dia menjelaskan KUHAP tidak mendefinisikan arti dari bukti permulaan itu. Namun, berdasar putusan MK, penetapan tersangka itu harus didukung sekurang-kurangnya dua alat bukti yang cukup.

Dia menilai dokumen surat yang asli lebih valid daripada dokumen surat dalam bentuk fotokopi. “Surat dalam bentuk fotokopi memang belum valid, tapi bukan berarti itu tidak berguna. Itu bisa dijadikan bahan untuk mencari alat bukti lain. Bukti surat fotokopi itu masih perlu dikonfirmasikan lagi dengan pihak pemberi dan pembawa surat,” jelasnya.

Saat ditemui wartawan seusai sidang, perwakilan penyidik Kejari Sragen sekaligus Kasi Perdata dan Tata Usaha Negera (Datun), Langgeng Prabowo, enggan berkomentar terkait fakta di persidangan tersebut. Dalam sidang itu, penyidik Kejari Sragen meminta kesempatan menghadirkan saksi ahli dalam sidang berikutnya, Rabu (3/7/2019).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya