SOLOPOS.COM - Arif Budisusilo (Istimewa/Dokumen pribadi).

Menjelang tutup bulan Ramadan tahun ini, saya ingin berkisah tentang seorang pemuda inspiratif. Namanya Mas Edi. Sebut saja begitu. Saya malah tidak tahu nama lengkapnya. Usia Mas Edi masih terbilang muda. Baru awal kepala tiga. Namun semangatnya luar biasa. Bisa menjadi kado spirit yang memompa sikap optimistis untuk bangkit.

Sejak akhir tahun lalu, Mas Edi memulai usaha kecil-kecilan. Bikin minuman berbasis rempah-rempah Jawa. Brand yang ditawarkan bernama Ombenanku. Dalam bahasa Indonesia, itu berarti Minumanku.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

"Perkenalan" saya dengan Mas Edi boleh terbilang tiba-tiba begitu saja. Seorang teman bercerita, ada satu pemuda desa, yang pernah merantau ke kota, lalu kini gigih berusaha dengan cara yang tidak biasa. Teman saya ini memang hebat cara mempromosikannya. Sampai saya kepincut untuk cari tahu siapa sebenarnya Mas Edi ini.

Terus terang, hingga saat saya menulis kisah ini, belum pernah bertemu langsung dengan Mas Edi. Hanya bercakap via "moda komunikasi" berbasis teknologi: aplikasi pesan Whatsapp.

Uniknya, saat saya coba sapa, Mas Edi bercerita dengan perantara voice note. Saya jadi ingat saat baru jadi wartawan dua dekade silam. Ini mirip wawancara dengan rekaman kaset, lalu diputar ulang.

Saya lantas dengarkan celotehannya. Lalu dilanjutkan dengan chat. Saya chat dengan Mas Edi bukan cuma sekali saja. Beberapa kali putus nyambung sejak sekitar dua bulan terakhir ini, di sela kesibukan saya sendiri.

Hingga kemarin Selasa (11/5/2021), saya mencoba chat agak panjang dengan Mas Edi, dan justru terkaget-kaget sendiri, begitu obrolan sampai pada detailnya.

Sebenarnya baru pada November 2020 lalu, saat puncak pandemi Covid-19, Mas Edi punya ide untuk berwirausaha. Pilihannya jatuh pada minuman jamu berbasis rempah-rempah. Sebulan kemudian, ia mulai eksperimentasi produksi. Kemudian testing produk, mencoba berbagai komposisi rasa dan aroma.

Pasalnya, minuman berbahan aneka rempah untuk jamu, rasa dan aromanya harus disiapkan ekstra hati-hati. Butuh feedback dari relasi dan jaringan teman-temannya.

Karenanya, Mas Edi tidak langsung “masuk pasar”, tetapi justru menyiapkan 100 paket gratis untuk mendapatkan feedback. Paket tanpa merek. Maka, Mas Edi mendapatkan banyak umpan balik. Mulai dari aroma, hingga kemudian kemasan untuk branding produknya.

Semula, Mas Edi sempat mau memakai brand Ramuan Keraton. Dalihnya, minuman rempah itu adalah minuman kasta tinggi di era Keraton Jawa. Tapi dia tidak merasa "klik di hati" dengan ide brand tersebut. Akhirnya justru pakai kata-kata yang sering diucapkan saat orang Jawa minum: ombenanku. Jadilah ide branding itu digunakan, sampai saat ini.

***

Bagi Mas Edi, rempah Jawa yang dulu berjaya di era kerajaan, enggak boleh diremehkan. Minuman ramuan rempah di zaman dulu adalah minuman orang berkelas. Bahkan para majikan dibuatkan minuman rempah oleh para pembantunya.

"Saya lihat video Pak Jokowi ternyata beliau juga gemar minum ramuan rempah-rempah. Dapur Istana tiap pagi harus menyajikan minuman rempah untuk Pak Jokowi," tuturnya.

Lalu soal strategi harga. Tatkala ia memperkenalkan Ombenanku dengan harga yang relatif tidak murah, sekitar Rp150.000 per paket, Mas Edi banyak mendapatkan komplain dari teman-temannya. "Kok larang timen [mahal sekali], kan cuma jamu?" Begitu kira-kira.

Namun, justru di situlah kunci strategi marketing Mas Edi. "Saya tidak ingin Ombenanku hanya sekadar jualan jamu. Tapi orang harus sedikit demi sedikit kembali kepada kesadarannya, bahwa konsumsi rempah itu karena berkasta [berkelas]," begitu celotehnya.

Satu lagi strategi komunikasi pemasaran yang menjadi andalannya. Dalam bahasa komunikasi, dia pakai third party endorser alias dukungan pihak ketiga. Beberapa dokter dan pejabat disambanginya. Ia presentasi langsung selain menggunakan sosial media. Lalu masuk dengan DM (direct message) dan akhirnya mereka order.

Kuncinya, Mas Edi tidak berpromosi seolah menjual. "Saya mempromosikan manfaat dan kekayaan rempah-rempah yang luar biasa."

Ia menyebut produknya unggul pada diferensiasi dan kemasan. Produknya sendiri sempat mengandung kecurigaan, jangan-jangan sudah menggunakan alat canggih dan full machine untuk berproduksi. "Padahal diproduksi secara tradisional di rumah," ujarnya.

Anda tentu pengin tahu, berapa omzet Mas Edy setelah lima bulan ini menjalankan "usaha jamu" itu. Dia mengelak menyebut angka, namun mengakui penjualannya terus menanjak naik.

Saya hitung sendiri saja, dengan mengambil pengiriman selama sebulan terakhir, yang mencapai 3.000 paket ke berbagai kota. Ini lonjakan luar biasa, mengingat sebulan sebelumnya baru bisa mengirim 1.000 paket.

Kalau setiap paket dijual ke agen seharga Rp110.000, omzet Mas Edi sudah lebih dari Rp300 juta selama sebulan terakhir ini. Agen melalui reseller menjual paket seharga Rp150.000, atau selisih keuntungan untuk agen Rp40.000 per paket. Dengan kata lain, Mas Edy memberikan penghasilan ke agen sejumlah Rp120 juta sebulan.

Padahal usahanya baru mulai efektif tak lebih  dari lima bulan.

Coba, bandingkan dengan pendapatan Anda!

***

Jangan salah kira. Mas Edi bukan seorang sarjana teknologi pertanian, atau sarjana manajemen. Juga bukan lulusan magister bisnis, apalagi MBA.

Bahkan, Mas Edi tinggal di sebuah pelosok desa, di wilayah Ngawi, di lereng Gunung Lawu. Kebanyakan warga sekitarnya adalah petani.

Yang saya kaget, pemuda ini juga hanya jebolan sekolah menengah pertama. Namun kreativitas, inovasi dan keuletannya luar biasa.

Selepas lulus dari SMP, pemuda kelahiran April 1990 itu mengaku sempat bekerja di sebuah perusahaan elektronik, namun tak sampai setahun ia berhenti.

Mas Edi kemudian banyak menjalani proses bekerja sambil belajar. Ia bertekad mencari pekerjaan yang jenjang kariernya cepat. Mulai dari tempat foto kopi, konter HP bekas, bahkan percetakan. Terakhir, Mas Edi menggeluti aktivitas multilevel marketing sejak 2011 hingga 2019.

Perjalanan hidup dan pengalaman itulah yang tampaknya menempa karakter kuat Mas Edi. Mau belajar, berusaha dan pantang menyerah. Tampaknya itu pula yang mendasari titik terang bisnis barunya saat ini.

Setelah memiliki 6 agen tunggal di 3 kota, kini Mas Edi bertekad terus memperluas jangkauan keagenan di lebih banyak kota. Perluasan produksi juga dilakukan bertahap. Semuanya masih ditanganinya sendiri, dan belum melibatkan pihak lain.

Saya kok membayangkan, jika usaha Mas Edi ini sudah mendapatkan sentuhan modal yang lebih besar untuk memperkuat lini produksi dan pemasaran, tentu peluang menciptakan pekerjaan bagi para petani pemasok bahan baku akan lebih besar.



Setidaknya akan membantu tambahan penghasilan bagi petani sekaligus mengurangi pengangguran. Ini sejalan dengan prinsip Mas Edi sendiri, saat menangani sendiri lini produksinya. "Supaya ada aktivitas setiap hari. Jadi nggak terbuang waktu hanya untuk nongkrong sama pemuda-pemuda pengangguran."

***

Kisah Mas Edi ini sengaja saya tulis, setidaknya untuk menggugah spirit dan menginspirasi kita semua. Mendengar kisahnya, saya merasa seperti memperoleh hadiah Lebaran, yang akan dirayakan oleh umat Muslim esok pagi.

Seraya menghaturkan Selamat Lebaran, sekaligus Permohonan Maaf Lahir Batin untuk Anda, para pembaca, saya sekali lagi ingin menyampaikan bahwa Lebaran kali ini patut disyukuri dengan sebesar-besarnya rasa syukur.

Terlebih bagi kita semua, yang masih dikaruniai kesehatan dan terus berjuang untuk terhindar dari virus corona dan melawan penyebarannya. Dan tentunya, kita bersyukur masih bisa bertahan dari dampak krisis ekonomi akibat pandemi.

Buat saya, di tengah pandemi seperti saat ini, orang-orang seperti Mas Edi inilah bantalan kuat bagi ketahanan ekonomi Indonesia. Tidak ada kata menyerah. Terus berusaha dan bangkit.

Dan saya yakin, masih banyak lagi orang-orang seperti Mas Edi di luar sana. Mereka ini mampu menghidupkan perputaran ekonomi dengan spirit entrepreneurship yang bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya.

Spirit inilah yang rasanya, perlu ditularkan terus-menerus ke seluruh masyarakat Indonesia. Agar bangsa ini menjadi semakin kuat. Bukan sebaliknya, terjebak sebagai bangsa yang terus berkutat pada aneka kegaduhan politik yang tidak bermanfaat.

Nah, bagaimana menurut Anda? (*)







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya