SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Mulyanto Utomo

Obrolan para pangarsa di warung hik News Cafe kampung kami Minggu kemarin lumayan gayeng karena membahas berita tentang ”Solo melawan Gubernur”. Judul berita di koran pekan lalu itu aromanya memang terasa provokatif  terkait kasus pembongkaran pabrik es legendaris Saripetojo yang hendak disulap menjadi mal oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

”Lha lahan itu kan punya Provinsi to? Jadi ya tidak masalah kalau mau dibikin mal, jadi kolam renang atau apapun… suka-suka yang punya lahan kan,” kata Pakdhe Joyoharto, pebisnis sukses yang kini memiliki beragam usaha di Solo itu.

“Wooo… lha hya ndak bisa begitu Pakdhe. Di era otonomi daerah sekarang ini, pemerintah kota memiliki wewenang untuk mengatur setiap kebijakan pembangunan. Kalau Gubernur ngeyel karena merasa memiliki kekuasaan lebih tinggi, bisa mengatur pembangunan di kabupaten atau kota, bisa bubrah semua tatanan pemerintahan otonomi daerah kita,” timpal Raden Mas Suloyo, lelaki berdarah biru yang kini telah melebur hidup di kampung saya itu.

“Tapi masuk akal juga alasan Pak Gubernur untuk lebih memberdayakan perusahaan daerah yang kolaps itu. Katanya pabrik es itu hanya menghasilkan uang Rp 15 juta, yang katanya menyebabkan tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan Saripetojo mencapai Rp 350 juta,”  jawab Pakdhe Joyoharto lagi.

Ayak… apa betul hanya karena itu alasannya,” kata Denmas Suloyo maido.

“Lho kan memang begitu yang disampaikan Gubernur. Bahkan katanya pembangunan mal itu akan membuka lapangan kerja, memberdayakan masyarakat Solo agar lebih makmur dan sejahtera. Kalau ada yang menolak, kata Gubernur, itu karena provokasi pihak ketiga, misalnya pemilik supermarket, yang khawatir nanti tersaingi dan tidak laku,” tambah Pakdhe Joyoharto tak mau kalah,

“Ah menurut saya tidak sesederhana itu Pakdhe. Solo ini sekarang sudah banyak mal, jadi sementara ini Pemkot memang menghentikan dulu perizinan pembangunan mal seperti disampaikan Pak Wakil Walikota. Apalagi bangunan pabrik es Saripetojo itu bisa jadi merupakan cagar budaya yang mestinya dilestarikan. Sudahlah daripada pembangunan itu mengundang kontroversi yang kontraproduktif, lebih baik ditinjau ulang saja. Dulu waktu kampanye Pak Gubernur kan slogannya ‘bali ndesa mbangun ndesa’ jangan diubah dulu jadi ‘bali ndesa mbangun mal’,” kata Denmas Suloyo sembari terkekeh.

Mas Wartonegoro yang dari tadi menyimak perdebatan dua rekannya itu akhirnya buka suara. “Menurut saya, persoalan ini terjadi karena kurangnya koordinasi dan komunikasi yang baik antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kota. Saya juga melihat Pak Gubernur terlalu memaksakan kehendak, sementara tatanan pemerintahan di daerah sekarang ini telah berubah sejak UU No 32 Tahun 2004 diberlakukan,” paparnya.

Mas Wartonegoro juga sependapat dengan apa yang dikatakan Ketua Komisi III DPRD Solo, Honda Hendarto, bahwa sikap maupun perkataan Gubernur Bibit Waluyo terkait rencana pembangunan mal sama sekali tidak simpatik dan bahkan terkesan sangat sombong serta congkak.

“Ya seperti disampaikan Pak Honda itu, apabila Gubernur tidak setuju dengan sikap Pemkot maupun rakyat Solo, hal tersebut seharusnya bisa dikomunikasikan dengan baik. Bukan sebaliknya, dengan mengeluarkan perkataan yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai seorang pemimpin itu malah menimbulkan rasa sakit hati masyarakat,” kata Mas Wartonegoro.

Di persimpangan jalan
Begitulah. Ajang diskusi masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki kepentingan tentang sebuah kebijakan seperti di kampung saya itu, terkadang mencakrawalakan sebuah wacana yang lebih cerdas dan jujur. Termasuk mengkritisi tindakan Gubernur Jateng yang hendak membangun mal di bekas Pabrik Es Saripetojo yang kini bangunannya bahkan sebagian telah dihancurkan.

Saya mengganggap jabatan gubernur sekarang ini sesungguhnya sedang berada di persimpangan jalan. Gubernur, sesuai dengan UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah adalah seorang pejabat yang kedudukannya sebagai wakil pemerintah (pusat) di wilayah provinsi [Pasal 37 ayat (1)].  Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah itulah gubernur bertanggung jawab kepada presiden.

Konsekuensi dari kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, sesuai Pasal 38, gubernur memiliki tugas dan wewenang: a. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; b. Koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota; c. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Bahkan dalam penjabarannya di Peraturan Pemerintah No 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Darah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota disebut tentang urusan eksternalitas [Pasal 4 ayat (1)]. Eksternalitas adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Sedangkan apabila dampaknya bersifat lintas kabupaten/kota dan/atau regional maka urusan pemerintahan itu menjadi kewenangan pemerintahan provinsi; dan apabila dampaknya bersifat lintas provinsi dan/atau nasional, maka urusan itu menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Pada bagian lain juga disebut tentang kriteria pembagian kewenangan terkait dengan akuntabilitas. Dijelaskan dalam pasal itu, yang dimaksud akuntabilitas adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan dengan memperhatikan pertanggungjawaban pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tertentu kepada masyarakat.

Apabila dampak penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan secara langsung hanya dialami secara lokal(satu kabupaten/kota), maka pemerintahan daerah kabupaten/kota bertanggung jawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tersebut. Sedangkan apabila dampak penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan secara langsung dialami oleh lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi, maka pemerintahan daerah provinsi yang bersangkutan bertanggung jawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tersebut; dan apabila dampak penyelenggaraan urusan pemerintahan dialami lebih dari satu provinsi dan/atau bersifat nasional maka Pemerintah bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dimaksud.

Undang-undang dan peraturan pemerintah itu sudah sangat jelas tentang bagaimana seharusnya pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota  saling berhubungan. Peran dan fungsi gubernur sekarang ini sesungguhnya lebih sebagai pejabat yang mengoordinasikan, menyelaraskan pembangunan antarkabupaten/kota ketika terjadi dampak meluas atau terjadi disharmonisasi. Jangan sampai sebuah kebijakan dari tingkat provinsi justru mengganggu keharmonisan yang telah terbangun di tingkat kabupaten/kota. Jika ini terjadi maka gubernur memang sedang berada di persimpangan jalan…

Mulyanto Utomo
Wartawan SOLOPOS

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya