SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

‘di tengah saja nggak ada olang, kak bujel
eh kok banyak gambal olang’
‘itu gambar orang kurang kerjaan trinil…’
‘??????’
‘Mohon doa restu contrenglah kamiiii…’
(Panji Koming, Kompas 15/3)

Alkisah dalam kartun Panji Koming , Kompas 15/3, sepertinya gambar para calon legislatif (caleg) yang betebaran di pinggir jalan saat-saat menjelang Pemilu 2009 ini menjadi perhatian tersendiri. Dengan gambar-gambar itu tersirat maksud untuk ‘mohon doa restu’,dan  harapan  untuk ‘mencontreng’ mereka. Perbincangan Bujel dan Trinil seperti di atas sepertinya menyampaikan sindiran politik itu.
Akan tetapi, sama sekali bukanlah maksud sindir-menyindir itu yang bakal saya paparkan dalam tulisan ini. Biarlah hal itu menjadi perhatian orang lain. Saya justru tertarik pada bentuk persona ‘kami’ yang ditulis ‘kamiiii’ pada kartun itu. Tentu maksudnya secara semantis adalah untuk ‘penyangatan’. Jadi, maksudnya  adalah ‘kami’, harus ‘kami’, jangan sampai ‘orang lain’, melainkan ‘kami’, pokoknya harus ‘kami’. Saya rasa begitu kalau saya bahasakan secara harfiah maksud ‘kamiiii’ yang disampaikan para caleg via gambar-gambar itu.
Nah, siapa di antara pembaca budiman yang pernah memerhatikan bagaimana ‘Google’, salah satu mesin pencari (searching machine)  superpintar alias mesin pencari ‘apa pun’ di Internet ditulis? Dalam tampilannya yang wajar dan standar, tentu ‘Google’ dengan ‘o’ yang jumlahnya dua  selalu muncul. Dengan jumlah ‘o’ dua itu lidah kita yang pernah mengecap kata-kata bahasa Inggris, pasti akan melafalkannya menjadi ‘u’ seperti pada ‘cook’, ‘book’, ‘look’.
Lalu, kalau Anda memiliki jumlah laman yang banyak di Internet, huruf ‘o’ pada ‘Google’ akan mengikuti jumlah laman Anda itu. Katakan saja laman Anda berjumlah 7, maka ‘o’ akan mengikutinya menjadi 7 juga, sehingga bentuknya menjadi ‘Gooooooogle’.  Hal demikian itu sepertinya tidak terjadi pada mesin pencari serupa, katakanlah ‘Yahoo!’, ‘MSN’, atau ‘Cuil’. Artinya, ‘Google’ berinovasi dengan bentuk penyangatan, seperti halnya yang lazim berlaku dalam bahasa Indonesia.
Nah, bentuk demikian inilah yang dalam beberapa tulisan lalu saya sebut sebagai bentuk ikonik. Bentuk yang memiliki makna afektif, bentuk yang memiliki nilai rasa yang lebih. Dalam bahasa Jawa, Anda pasti kenal baik dengan bentuk yang dilafalkan ‘dhuwuuur’ yang merupakan bentuk bermakna ‘sangat’ dari kata Jawa ‘dhuwur’. Kalau makna ‘sangat’ itu dinyatakan secara lebih serius, akan berubah menjadi ‘dhuuuwwwuuurrr’ alih-alih ‘dhuwur banget’.
Masih dalam kata bahasa Jawa, tentu Anda mengenal kata ‘pinter’ yang maknanya ‘pandai’ atau ‘pintar’ dalam bahasa Indonesia. Bentuk itu akan berubah menjadi ‘pinteeeeer’ bila yang dimaksud adalah ‘pinter banget’ dalam bahasa Jawa. Dalam wujud lain, khususnya bagi yang berasal dari wilayah Jawa Timur, bentuk itu akan muncul berbeda, yakni menjadi ‘puinter’.
Demikian pula bentuk yang dibunyikan ‘dowo’ yang artinya ‘panjang’, akan menjadi ‘duowo’ yang  tentu maknanya dalam bahasa Indonesia adalah ‘panjang sekali’. Dalam bahasa Jawa  dialek standar Jogja-Solo, bentuk sangat itu akan menjadi ‘dowoooo’ atau ‘dowiiii’ atau ‘dowuuu’.
Jadi kita mengerti sekarang, bahwa bunyi bahasa, sesungguhnya sangat menentukan makna. Pemahaman banyak orang sepertinya kurang tepat bila mengatakan bahwa bahasa Inggris saja yang makna bahasanya ditentukan oleh bunyi, dan dimensi-dimensi yang lainnya seperti tekanan, lagu kalimat atau intonasi.
Dalam bahasa Jawa ternyata dimensi bunyi dan unsur-unsur seperti yang disebutkan di depan itu sangat kentara menentukan makna. Bukti lain bahwa bunyi bahasa memang menentukan makna dalam bahasa Jawa adalah bunyi ‘e’ seperti pada kata ‘ember’ yang selalu mengonotasikan makna jelek atau tidak baik. Kata bahasa Jawa ‘tekek’ pasti  berkonotasi  sangat jelek. Tidak ada orang yang mau dikatakan ‘rupamu persis tekek’. Demikian pula kata ‘kelek’, ‘mblekek’, ‘eek’, ‘suwek’, pasti semuanya berkonotasi makna sangat jelek.
Mari kita lihat kata yang lain dengan bunyi ‘a’ dan bunyi ‘I’. Kata dengan bunyi ‘a’ pasti bermakna besar, sedangkan kata dengan bunyi ‘I’ pasti berkonotasi makna kecil. Coba bandingkan, misalnya saja, kata bahasa Jawa ‘krakal’ dan ‘krikil’. Pasti ‘krakal’ lebih besar daripada ‘krikil’. Demikian pula kata Jawa dengan bunyi ‘o’, pasti berkonotasi besar seperti ‘gong’, ‘bokong’, ‘gorong’, ‘bolong’, ‘bodong’.
Pernah pulakah Anda mencermati bahwa semua kata yang mengandung ‘r’ dan ‘l’ dalam bahasa Jawa pasti berkonotasi makna getar atau gerak? Coba lihat dan rasa-rasakanlah kata ‘pres’ seperti bunyi saat Anda menebang pohon pisang. Juga kata ‘greg’ ketika bumi dan rumah kita bergonjang lantaran ada gempa bumi.
Lalu, ‘breg’ ketika rumah roboh setelah digoyang gempa yang luar biasa cepat seperti terjadi beberapa tahun silam. Ketika Anda minum jamu, atau minum yang lain, pasti bunyinya adalah ‘gleg-gleg-gleg-gleg’. Bunyi bel  biasanya adalah ‘kring-kring’ atau mungkin  juga ‘kling-klong’. Jadi benar bukan, bahwa kata yang ada bunyi ‘l’ atau ‘r’-nya dalam bahasa Jawa pasti berkonotasi getar.
Nah, bagaimana dengan kata bahasa Indonesia ‘gratiissss’ pada ‘voucher punya Indosat’. Juga bentuk ‘teruuusss’ pada iklan selular XL. Beberapa waktu lalu juga muncul kata-kata ‘sampai doweeerrr’ pada iklan selular serupa. Bagaimana Anda memaknai  bentuk-bentuk kebahasaan itu?
Siapa yang tidak kenal ‘Pak Bondan’ di acara kuliner televisi, karena dia selalu memakai bentuk ikonik ‘mak nyuuss’. Kalau Anda terkena air panas, pasti Anda akan mengilustrasikannya dengan ‘mak nyas’ atau ‘mak nyos’. Akan tetapi, jika Anda masuk ruang berpendingin di siang yang sangat panas, Anda mengatakan ‘mak nyes’.
Juga, ketika Anda sedang bertemu dengan orang yang sedang Anda idolakan dan sedang Anda harap-harapkan, tentu Anda akan mengatakan ‘wah mak nyes’, bukan ‘wah mak nyus’ atau ’wah mak nyas’.  Semakin Anda panjangkan bunyi ‘e’, ‘o’, ‘u’ atau ‘a’ pada kata-kata Jawa di atas, maknanya pasti akan bertambah.
Terakhir, silakan cermati kata Jawa yang berkaitan dengan pemanfaatan mata kita, seperti ‘mlirik’, ‘mlerek’, ‘mlorok’, ‘mleruk’. Kata yang dengan bunyi ‘I’ itu pasti berbeda makna dengan kata yang menggunakan bunyi ‘e’. Demikian pula kata dengan bunyi ‘o’ dan bunyi ‘u’, pasti memiliki makna berbeda lagi. 
Jadi, inilah potensi-potensi yang mahahebat dalam kerangka pengembangan makna kata di dalam bahasa. Bahasa Indonesia mutakhir sepertinya mulai banyak memanfatkan potensi-potensi makna kata daerah seperti ini, khususnya untuk maksud-maksud persuasif seperti  dalam iklan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

R. Kunjana Rahardi
Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya