SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (15/4/2019). Esai ini karya Dina Hidayana, politikus Partai Golongan Karya. Alamat e-mail penulis adalah dinahidayana@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Gotong royong adalah tradisi lama bangsa Indonesia yang tidak akan punah, tapi tidak pernah lagi dipraktikkan dan disikapi dengan serius. Gotong royong tetap hadir, hanya jarang dimaknai secara mendalam, tidak dipelajari lebih saksama, apalagi dijadikan inspirasi dalam konteks memikirkan dan merancang aksi kolektif atau kehidupan publik yang sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Gotong royong bisa menjadi jawaban bagi virus ”politik uang” yang terus mewabah tanpa henti. Seperti yang kita ketahui dan mungkin juga sering kita praktikkan, gotong royong tidak lain dari aksi kolektif yang bersifat kolaboratif dan kerja sama dalam sebuah komunitas.

Aksi kolektif ini umumnya dalam rangka menyelesaikan kegiatan atau hajatan yang menjadi kepedulian bersama, seperti kebersihan kampung, acara pernikahan anggota komunitas, perbaikan jalan, dan lain sebagainya.

Dalam gotong royong setiap anggota komunitas atau tepatnya peserta gotong royong berkontribusi sesuai kemampuan. Tujuannya bukan hanya untuk memastikan kegiatan atau hajatan bersama yang sedang disiapkan bisa terwujud, tapi sebagai bagian dari proses penting mereproduksi komunitas itu sendiri.

Dalam hal ini setiap orang (bersedia) berkontribusi karena dia menyadari dirinya sebagaibagian dari komunitas; memiliki kewajiban untuk saling membantu antara sesama anggota komunitas; dan memiliki kepedulian bersama yang menjadi perkara bersama.

Artinya, gotong royong menegaskan pentingnya identitas kolektif sebagai basis hubungan sosial. Identitas kolektif ini dibangun melalui solidaritas, ikatan emosional, dan nilai-nilai luhur yang dijunjung bersama.

Sementara orang boleh jadi menganggap gotong royong adalah model kerja yang tidak efisien, tapi anggapan ini salah karena tujuan gotong royong bukan semata-mata berorientasi hasil. Gotong royong adalah soal membangun dan mempertahankan kebersamaan.

Ada dan Dibutuhkan

Pendapat lain menyatakan gotong royong sebagai warisan masa lalu yang mungkin sudah tidak sejalan dengan semangat zaman, terutama pada zaman ketika semua orang saling terkoneksi melalui gadget.

Pendapat ini juga salah kaprah sebab kolektivitas, kebersamaan, dan solidaritas ada dan dibutuhkan baik dalam masyarakat tradisional maupun modern. Masyarakat modern pun menginginkan dan merindukan kehidupan bersama yang mendasar seperti ini.

Lalu apa pentingnya bicara soal gotong royong saat ini? Apa gunanya mengangkat tradisi lama yang sudah telanjur taken for granted di tengah ingar bingar pemilihan umum yang sudah di depan mata?

Jawabannya, bertemu dengan gotong royong pada masa kampanye seperti menemukan oase kehidupan di tengah padang pasir politik uang.
Seperti diketahui masyarakat luas, pemilihan umum dalam beberapa periode terakhir ditandai semakin maraknya praktik politik uang.

Jumlah atau nilai uang yang dioperasikan para peserta pemilihan umum dalam rangka memenangkan suara bahkan dikabarkan terus meningkat dan mencapai angka-angka yang semakin fantastis.

Lebih parah lagi, nilai uang yang dikeluarkan, atau politik uang itu sendiri, tidak serta-merta menentukan terpilih tidaknya seseorang. Sebagian besar peserta pemilihan umum mahfum bahwa sangat sulit bertarung tanpa kekuatan finansial yang memadai.

Politik uang bisa tampil dalam berbagai bentuk, mulai dari cara menggelontorkan uang lewat sejumlah modus tertentu, tidak hanya membagi-bagi secara tunai, tapi juga membiayai program pembangunan atau operasional organisasi; sampai pembagian barang kebutuhan sehari-hari atau materi lainnya.

Tujuannya sudah tentu untuk memengaruhi si penerima uang/materi untuk menjatuhkan pilihan kepada si pemberi atau tepatnya seorang kandidat pemimpin atau wakil rakyat sejatinya sedang berusaha ”membeli” suara.

Sudah banyak teori yang digunakan untuk menjelaskan kenapa praktik politik uang masih terus terjadi. Satu hal yang selama ini luput adalah soal berubahnya tatanan sosial kemasyarakatan yang menyuburkan praktik itu.

Maksudnya, politik uang dimungkinkan karena hubungan antara peserat pemilihan umum dan pemilih telah berkembang menjadi hubungan yang tak bedanya dengan transaksi jual beli di pasar atau lebih ngetren dengan istilah transaksional.

Kolektivitas yang Memudar

Hubungan semacam ini berbasiskan hitungan-hitungan untung dan rugi sementara tanpa ikatan emosional dan solidaritas antara peserta pemilihan umum dan pemilih. Dengan kata lain, maraknya praktik politik uang merupakan sinyalemen yang paling tegas memudarnya kolektivitas dan rasa kebersamaan di tengah masyarakat kita.

Segala sesuatu tiba-tiba menjadi ada harganya. Hubungan pertemanan dan persaudaraan hanya basa-basi karena di belakangnya selalu ada kalkulasi untung atau rugi. Pada titik inilah gotong royong tampak sebagai oase.

Dalam semangat gotong royong praktik politik uang tidak mungkin terjadi. Gotong royong tidak berorientasi hasil, tapi lebih menekankan solidaritas dan kehidupan bersama yang harmonis. Berita buruknya, oase ini semakni sulit ditemukan, bahkan dalam kehidupan komunitas paling kecil yang dekat dengan kita.

Semuanya justru kian berkembang ke dalam pola-pola interaksi dan hubungan transaksional. Pemilihan umum seharusnya bisa menjadi ajang untuk menyadarkan dan mempertegas kembali buruknya praktik politik uang.



Mengatasi persoalan ini dalam jangka panjang memerlukan upaya lebih serius dalam membangun kembali kehidupan gotong royong, yakni kehidupan kolektif yang berbasiskan kebersamaan dan solidaritas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya