SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

“Mau intip kucing bermain? Rp 30.000 cukup,” tawar Iman (bukan nama sebenarnya-red), germo dan pemilik sebuah panti pijat.
Seperti profesional lainnya, Iman tak segera menunjukkan cara bagaimana mengintip kucingnya bermain. Dia masih berahasia. Saat Espos menolak tawarannya, Iman pun bicara meski tetap tak menunjukkan lokasinya.
“Caranya melihat melalui lubang intip. Tapi lubang intipnya itu rahasia. Beri Rp 30.000 nanti saya beri pertunjukan,” kata dia kepada Espos.
Iman mengaku mendapat tambahan penghasilan dari menyewakan lubang intip.
Begitu vulgarnya transaksi esek-esek di panti pijat ini menjadi keprihatinan pendamping Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang juga aktivis di LSM Mitra Alam, Taholi Laila. Pasalnya, panti pijat esek-esek sekarang ini terkesan justru dilindungi Pemkot.
Dulu, sambung Taholi, urusan panti pijat dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Sekarang, urusan itu dipindahkan ke Dinas Kesehatan Kota (DKK).
Lucunya lagi, sambung Taholi, DKK mengategorikan panti pijat sebagai balai pengobatan. Sehingga, panti pijat esek-esek bisa melenggang dengan sertifikat.
“Menurut saya fenomena sekarang ini sangat aneh dan lucu. Kalau memang DKK bersikukuh panti pijat 100% murni balai pengobatan lantas kenapa ada layanan mobile VCT untuk pemeriksaan HIV/AIDS. Itu artinya kan DKK tahu kalau di tempat itu banyak yang berpotensi terserang HIV,” jelasnya.
Penutupan resos Silir malah jadi ironi karena panti pijat justru menjamur. “Saya yakin lebih banyak panti pijat di  Kota Solo ini yang menawarkan jasa plus-plus atau bukan balai pengobatan. Lantas apa bedanya ini dengan lokalisasi?”
JIBI/SOLOPOS/Ayu Prawitasari

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya