SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar, Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI)

Ahmad Djauhar, Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI)

Menyaksikan begitu banyak serbuan produk teknologi informasi dan telekomunikasi (teknotel) yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, baik di dunia yang sudah maju maupun negara sedang berkembang seperti Indonesia, masyarakat tentu saja dibuat terbingung-bingung.

Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan

Mau memilih produk yang bagaimana? Apa manfaat paling optimal yang dapat diperoleh? Berapa harga yang harus dibayar? Serta berapa lama kemampuan bertahan peranti tersebut? Khusus untuk produk teknologi komunikasi yang keluaran perantinya begitu beragam dan sepintas saling bermiripan satu sama lain itu, masyarakat tentu memiliki kebingungan tersendiri.

Betapa tidak. Peranti jenis ini, dengan platform teknologi X, diklaim memliki kelebihan begini. Sedangkan peranti jenis itu, berplatform teknologi Y, dipromosikan memiliki kelebihan begitu, dan seterusnya.

Setiap merk yang mengusung platform teknologi pun mengeluarkan seri yang berbeda-beda lagi, makin mahal harga produk itu semakin lengkap pula fitur atau kelengkapan yang dimilikinya–dan tentu saja semakin kompleks pengoperasiannya. Bagi konsumen berduit, membeli produk yang lengkap tak jarang menjadikannya pula sebagai pembeda yakni dia ingin diakui sebagai pembeli produk canggih yang berarti berkelas.

Namun, tidak sedikit pula orang yang terjebak pada model sok pamer, yakni karena dia berkecukupan, lalu membeli produk handset atau gadget mahal, namun ternyata ujung-ujungnya ketahuan: dia hanya menggunakan peranti mahal nan canggih itu hanya untuk menelpon dan mengirim pesan singkat (sms). Kalaupun menggunakannya sebagai peranti informasi, paling banter hanya untuk ber-facebook-an. Betapa mahalnya sebuah gengsi.

Tapi, itu semua belum seberapa. Hal yang lebih membingungkan lagi adalah benarkah bangsa Indonesia sudah saatnya menyerap kesemua produk teknologi informasi dan telekmunikasi itu? Kalau melihat begitu besarnya populasi pengguna telepon bergerak di negeri kita yang kabarnya berada di kisaran angka 200 juta unit, apa benar sudah semelek teknologi itu kah rakyat Indonesia? Bagaimana bisa menjelaskan bahwa populasi pengguna media sosial terpupuler, Facebook dan Tweeter, dari Indonesia menduduki peringkat bergengsi di dunia?

Negeri kita ini memang menimati booming industri telekomunikasi. Sekarang ini tidak mengherankan lagi apabila kita menyaksikan berbagai penyandang profesi informal–termasuk di antaranya tukang ojek, penjaja sayur keliling, pedagang bakso, dan sejumlah profesi ‘tukang’ lainnya–turut menyemarakkan penggunaan handphone. Mereka mudah dihubungi oleh klien-nya. Bahkan, tidak sedikit di antara merek yang yang diasosiasikan sebagai kelompok profesi informal tadi sudah memanfaatkan keberadaan teknologi komunikasi maju Facebook untuk meningkatkan nilai usaha mereka, sehingga lebih meyakinkan konsumen masing-masing.

Fenomena ini pula yang menjawab mengapa kontribusi bisnis telekomunikasi tetap besar dalam Produk Domestik Bruto nasional. Singkat kata, “membeli pulsa henpon” kini menjadi kosa kata yang sangat populer dan sangat bermakna bagi masyarakat menengah ke bawah, bahkan boleh dikatakan sudah menjadi salah satu unsur kebutuhan ‘sembako’ bangsa Indonesia.

Tapi, sayang seribu kali sayang, seberapa besar porsi yang sebenarnya dinikmati oleh industri nasional sendiri, ternyata sangat kuecilll.. Bayangkan saja, mulai dari peranti atau gadget-nya, penikmat kue pasarnya yang sebegitu besar itu adalah produsen luar negeri. Untuk handset telepon bergerak (mobile phone), yang populasinya secara keseluruhan dikabarkan mencapai 200 juta-an unit tadi, nyaris tidak ada yang buatan anak negeri, hampir semuanya hasil impor.

Saya pernah mendengar sebuah cerita–tidak jelas, memang, apakah ini sekadar cerita olok-olok/jokes atau beneran karena belum pernah dimintakan konfirmasi–bahwa suatu ketika, belasan tahun silam, perusahaan teknologi peranti telekomunikasi Siemens dari Jerman mengundang sejumlah insinyur dan teknisi dari beberapa negara termasuk dari China (yang konon diwalili oleh Huawei) dan Indonesia (PT Industri Telekomunikasi Indonesia/Inti).

Di Jerman, mereka mempelajari hal yang sama, dari teknologi switching hingga peranti telepon bergerak. Hari ini, kita menyaksikan betapa Huawei telah menjelma menjadi salah satu raksasa industri telekomunikasi dunia, dengan kemampuannya memproduksi deretan peralatan teknologi informasi dan komunikasi, mulai dari modem, tablet, hingga switching.
Sedangkan ‘rekan satu guru-satu ilmu’ Huawei, yakni PT Inti, hingga kini masih terkesan jalan di tempat. Ia menjadi penonton keriuh-rendahan pertunjukan yang berupa booming industri telekomunikasi di dalam negeri, yang antara lain juga dinikmati oleh Huawei tadi. Kalau dibuat hitungan sederhana bahwa rata-rata harga handset ponsel sekitar Rp1 juta per unit, berarti rakyat Indonesia sudah membelanjakan Rp200 triliun kepada produsen dari berbagai negara. Sungguh suatu angka yang fenomenal tentu saja.

Hingga kini pun, industri nasional kita seakan tetap terlelap dan pemerintah hanya sibuk berteriak-teriak mengimbau ke sana ke mari agar para produsen peranti teknotel tersebut bersedia menanamkan modal di Indonesia. Konyolnya, meskipun Indonesia menjadi salah satu pasar terbesar untuk produk gadget Blackberry buatan Research In Motion (RIM), produsen asal Kanada itu malah memilih Malaysia sebagai basis produksi aneka gadget yang tentunya untuk dipasarkan ke seluruh Asia Tenggara.
Memang konon ada produk gadget bermerek Indonesia, tapi, ssst…, jerohannya ternyata dibuat di China. Termasuk kotak karton pembungkusnya malah. Produsen lokal hanya merakit dan mengemasnya, serta menempelkan label “Made in Indonesia”. kembali, industri manufaktur di Tanah Air cuma mampu menggigit jarinya hingga berdarah menyaksikan pesta besar yang bernama kecamuk pasar teknologi informasi dan telekomunikasi. Penikmat sesungguhnya ternyata berada di seberang sana. (ahmad.djauhar@bisnis.co.id)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya