SOLOPOS.COM - Teater Gidak Gidik membawakan prosa liris bertajuk Sanikem di Wedangan Rumah Nenek Laweyan, Rabu (13/11/2013) malam. (Mahardini Nur Afifah/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Teater Gidak Gidik, Rabu (13/11/2013) malam, menggelar pembacaan prosa liris bertajuk Sanikem yang diadaptasi  dramawan Solo Hanindawan dari novel Bumi Manusia garapan Pramoedya Ananta Toer. Apresiasi atas Bumi Manusia itu digelar di Wedangan Rumah Nenek, Laweyan, Solo.

Hanindawan, Dewi, dan Meta yang membacakan prosa liris itu berhasil membawa penonton hanyut ke suasana persidangan kolonial yang penuh perdebatan dan sarat ketidakadilan. Prosa liris itu mengisahkan tentang Nyi Ontosoroh atau yang dikenal dengan nama kecil Sanikem.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ia memperjuangkan haknya bersama putri semata wayangnya, Anelis, menantang sikap penjajah yang terkenal kejam dan tak pernah berpihak kepada pribumi. Sadar posisi tawar untuk mempertahankan haknya di Pengadilan Kolonial tidak menguntungkan.

Itu sangat berbeda dari kebanyakan perempuan Jawa tempo dulu yang terbiasa nrimo dan pasrah. “Saya Sanikem. Saya tidak hanya diam di rumah menjadi perhiasan. Diam, menanti, dan pasrah. Sebagai perempuan tidak ada beda dengan lakinya, bergaul, membaca, bekerja, dan tidak hanya bersuka-suka,” tandas Sanikem lantang kepada hakim yang tengah mengadilinya.

Sementara di dalam pengadilan, hakim dengan tegas membeberkan kesalahan Sanikem. Di luar tembok pengadilan, warga turut berteriak menuntut Sanikem mendapatkan peradilan yang adil. “Sanikem! Sanikem! Biar janda tapi tidak merem,” teriak warga di luar tembok pengadilan berulang-ulang.

Meskipun Sanikem dinyatakan kalah dalam persidangan tersebut, namun dukungan warga di tembok pengadilan membuktikan kalau Sanikem menang secara moril. Dalam waktu kurang dari satu jam, penonton yang sebelumnya disuguhi musikalisasi puisi dari Teater Wejang diajak menyimak pembacaan prosa dalam suasana yang santai.

Pertunjukan yang digelar di kawasan Kampung Batik Laweyan ini juga terasa spesial dengan kehadiran Wakil Wali Kota Solo, Achmad Purnomo, yang ikut tampil membacakan puisi Mari Belajar tentang Nama yang ditulis Meicha Adiyatma.

Wakil Wali Kota mengaku grogi saat didaulat panitia untuk membaca puisi. “Sejak SD sampai perguruan tinggi, saya belum pernah baca puisi seperti ini. Kalau menikmati sering. Kalau membaca belum. Tapi saya memberanikan diri untuk membacanya. Mudah-mudahan tidak mengecewakan,” kata Achmad Purnomo.

Meskipun baru kali pertama membaca puisi, namun keberanian Orang Nomor Dua di Solo ini mendapatkan apresiasi dari puluhan pengunjung dan teaterawan, Hanindawan. “Meskipun baru kali pertama, tapi pembacaannya sudah mirip Taufik Ismail. Dengan kesediaan pemangku kepentingan ikut membaca sastra, spirit Solo sebagai Kota Budaya tidak hanya menjadi slogan semata, tetapi bisa benar-benar menjadi ekspresi budaya. Termasuk pemimpinnya,” tutup Hanindawan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya