SOLOPOS.COM - Espos/Tri Rahayu Sesepuh Kampung Turi, Ngadiman, mengenakan pakaian reog berdoa kepada Tuhan agar pelaksanaan kirab tradisi di Sendang Joko Pitutur, Turi, Sine, Sragen, berjalan lancar, Minggu (10/10/2021).

Solopos.com, SRAGENKampung Turi secara administrasi masuk wilayah Kelurahan Sine, Kecamatan Sragen Kota, Sragen. Warga di kampung yang terdiri atas empat rukun tetangga (RT) ini memiliki kreativitas yang unik dan mampu mendatangkan warga dari luar Sragen.

Para warganya membuat acara yang mampu menyedot ratusan pengunjung. Mereka mengolah potensi lokal menjadi destinasi pariwisata yang menarik.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Awalnya warga Turi berinisiatif membuat Festival Kuliner Temp Dulu yang digelar di jalan utama Turi yang menjadi batas wilayah Sine, Sragen Kota, dengan Guworejo, Karangmalang, pada 2019. Sejak pandemi Covid-19, festival itu diliburkan sampai 2021.

Baca Juga: PPE 2021 Jadi Ajang Promosikan Sport Tourism di Indonesia

Saat masa pandemi, warga Turi kembali membuat gebrakan wisata lokal dengan konsep Turi Garden Flowers, yakni wisata taman bunga. Semua warga di empat RT kompak membuat tanaman hias dan masih berjalan sampai sekarang.

Pasar Kuliner Tempo Dulu muncul dengan atraksi wisata berupa Gerebeg Jembulan Turi mencuat sejak sebulan terakhir yang puncaknya dilakukan setiap Sabtu Pon. Namun, Gerebeg Jembulan Turi kali pertama digelar pada Minggu (10/10/2021) dengan mengambil momentum hari libur.

“Gerebeg Jembulan Turi itu nanti rutin setiap Sabtu Pon, yakni hari lahirnya Turi yang diambil dari weton Sendang Joko Pitutur Turi. Kalau pasar kuliner tempo dulu sudah rutin setiap Sabtu dan Minggu. Konsep wisata lokal ini menjawab tantangan dari Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Dispora) Sragen untuk membuat konsep wisata berkelanjutan,” ujar Ketua Karang Taruna Wijaya Kusuma Turi, Hari Suriyanto, saat berbincang dengan Solopos.com, Minggu siang.

Baca Juga: Penuhi Nazar, Guru Honorer Jalan Kaki Klaten-Jogja setelah Lolos PPPK

Konsep wisata lokal kali ketiga itu ternyata cukup berhasil menjadi magnet bagi warga di luar Turi. Para penduduk Turi yang berjualan pun bisa mendapatkan tambahan penghasilan dari event wisata lokal itu.

“Ada 23 orang warga yang berjualan kuliner tempo dulu. Saat Minggu bisa omsetnya Rp300.00-Rp700.000/orang. Kalau Sabtu hanya dapat sekitar 33%nya,” kata Hari.

Hari mengungkapkan tiga gunungan jembulan itu memiliki makna dan merupakan tradisi leluhur Turi. Hari menyampaikan tradisi jembulan itu sebenarnya ada sejak zaman Belanda tetapi hilang sejak 1970.

Baca Juga: Kisah Supriyadi, Lolos PPPK setelah 16 Tahun Mengabdi Jadi Guru Honorer

“Setelah hilang 51 tahun, kemudian kami munculkan kembali. Tiga gunungan itu diketahui setelah kami menggali keterangan dari para sesepuh Kampung Turi. Yang wajib itu gunungan pisang seribu dan dua gunungan hasil bumi. Semua gunungan itu setelah didoakan kemudian menjadi jarahan ramai-ramai,” katanya.

 

Wujud Syukur

Sesepuh Kampung Turi, Ngadiman, 76, menyampaikan jembulan hasil bumi itu merupakan wujud syukur kepada Tuhan dan melestarikan tradisi leluhur dulu. Ngadiman mengungkapkan tradisi tersebut juga mengingatkan kepada para generasi muda bila leluhur Turi itu memiliki tradisi gunungan tersebut.

“Dengan melestarikan tradisi itu maka nilai-nilai budaya tempo dulu tidak punah dimakan zaman. Ketika bicara tradisi maka jangan dikaitkan dengan syariat. Ya, pisang seribu itu wajib, sebagai simbol sendang, yakni Sendang Grojokan Sewu Joko Mulyo Pitutur,” katanya.

Baca Juga: Terbanyak, 38 Desa di Wonogiri Dapat Bantuan Proyek Saluran Irigasi

Lurah Pasar Kuliner Temp Dulu Turi, Hari Nodem, 38, menambahkan pedagang di kompleks sendang ada 23 orang yang murni jualan jajanan tempo dulu. Dia melanjutkan untuk pedagang di luar sendang ada 32 pedagang yang berjualan jajanan modern.

“Jualannya macam-macam, ada getuk, tiwul, pecel gendar, wedang wuh, wedang cemoi, wedang jahe, dawet, utri, cenil, ketan, dan seterusnya. Biasanya jam 10.00 WIB sudah habis. Peredaran uang cukup banyak mencapai Rp30 juta per hari,” katanya.

Seorang pengunjung, Painem, 71, warga Kroyo, Karangmalang, Sragen, datang bersama teman-temannya setelah senam. Ia datang dengan mengendarai sepeda angina. “Saya beli makanan tradisional. Hampir setiap Minggu saya datang ke Turi. Kadang bersama cucu. Kalau tidak ke Turi yak e Taman Puro,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya