SOLOPOS.COM - Joshua Oppenheimer (istimewa)

Gerakan 30 September yang berujung operasi pembersihan orang-orang yang diduga anggota dan simpatisan PKI masih menjadi perhatian Joshua Oppenheimer.

Solopos.com, SOLO — Sutradara Jagal/The Act of Killing dan Senyap, Joshua Oppenheimer, mengkritik pemerintah Indonesia di bawah Presiden Jokowi yang tetap enggan meminta maaf dan mengupayakan rekonsiliasi pelanggaran HAM akibat operasi kontra gerakan 30 September 1965.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Indonesia will never be a real democracy until it ends impunity [Indonesia tidak akan pernah menjadi negara demokrasi sebelum mengakhiri impunitas],” kicau Joshua Oppenheimer di akun Twitter, Selasa (29/9/2015).

Ekspedisi Mudik 2024

Ucapan Oppenheimer itu terkait peringatan 50 tahun gerakan 30 September 1965 yang berujung pada operasi perburuan orang-orang yang diduga anggota atau terkait Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam tulisannya yang berjudul Soeharto’s Purge, Indonesia’s Silence yang diterbitkan New York Times, Rabu (30/9/2015).

Dalam tulisan itu, dia mengingatkan kembali apa yang disebutnya sebagai genosida di Indonesia itu. Oppenheimer mengkritik ujung kasus pembantaian itu masih sama seperti genosida di Jerman dan Rwanda yang hingga kini belum diakui oleh pemerintah. “Dengan dukungan Amerika, lebih dari 500.000 orang dibunuh oleh militer Indonesia dan kelompok sipil. Setidaknya 750.000 orang ditangkap dan dikirim ke kamp konsentrasi selama beberapa dekade,” tulisnya.

Menurutnya, berakhirnya kekuasaan militer seiring mundurnya Soeharto pada 1998 tidak memberikan banyak perubahan. “Militar masih di atas hukum,” tulisnya merujuk aturan bahwa militer hanya bisa diadili melalui peradilan militer. “Atau jika parlemen membentuk pengadilan HAM, yang kadang tidak fair dan efektif.”

Indonesia memang telah beberapa kali menggelar pemilu yang mengangkat pemimpin dari kalangan sipil. Namun Oppenheimer menilai Indonesia belum menjadi negara yang benar-benar demokratis karena tidak pernah berupaya mengakhiri impunitas terhadap para pelanggar HAM. “Awal yang penting adalah proses membuka kebenaran, rekonsiliasi, dan keadilan.”

Menurutnya, Indonesia memiliki peluang besar untuk mencapai hal ini, apalagi setelah media Indonesia—yang awalnya menganggap tabu berbicara soal kasus 1965—kini sudah ada yang berani menyebut pelanggaran HAM. Dia juga menilai Presiden Jokowi menunjukkan kemauan untuk berbicara tentang kasus 1965.

“Tapi dia belum membangun komisi kebenaran, mengeluarkan permintaan maaf, atau mengambil langkah untuk mengakhiri impunitas militer,” tulisnya.

Oppenheimer juga menuntut pertanggungjawaban Amerika Serikat atas keterlibatan dalam kasus ini. Dia menyebut setidaknya AS terlibat dalam pertemuan pada April 1962 dengan pejabat Inggris yang membahas pelengseran Presiden Soekarno. “Soekarno senang dengan kebijakan yang sosialis, Washington ingin menggantinya dengan seseorang yang menghormati Barat [sebagai mitra strategis] dan kepentingan komersial.”

Pemerintah sendiri telah menyatakan tidak akan mengajukan permohonan maaf kepada keluarga anggota PKI yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan, mengatakan pemerintah tidak pernah memiliki rencana untuk meminta maaf kepada keluarga anggota PKI yang menjadi korban pelanggaran HAM berat.

“Tidak ada pikiran untuk meminta maaf. Lagi pula harus meminta maaf kepada siapa, dan memaafkan siapa, karena kedua pihak menjadi korban,” katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (30/9/2015).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya