SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

F Suryadjaja, Dokter di Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali

Maraknya kejahatan kemanusiaan membuang bayi belakangan ini bisa dibaca sebagai pertanda bergesernya pola asuh anak ke arah titik nadir. Kehadiran bayi baru lahir (neonatus) bukan lagi sebagai anugerah atau titipan Sang Pencipta, namun telah menjadi ”momok” yang perlu disingkirkan dari lingkungan keluarga. Ungkapan banyak anak banyak rezeki telah tertelan zaman. Anugerah berupa paras bayi yang lembut dan lucu bila ditatap tidak kuasa lagi untuk mengurungkan niat orangtua untuk membuang bayi kandungnya sendiri.
Dinamika kehidupan manusia dalam suatu komunitas memang memiliki polarisasi. Tatkala satu pasangan nikah mengalami infertilitas (sulit punya keturunan), kehadiran bayi mungil amat didambakan. Dengan berbagai upaya pertolongan medis ditempuh, termasuk metode bayi tabung yang rumit dan berbiaya mahal. Predikat anak begitu fenomenologis sebagai anak mahal dan overprotektif menaungi perjalanan hidup sang anak. Logis, predikat anak kandung setinggi itu sulit dijumpai dalam lingkungan keluarga dengan fertilitas tinggi (mudah mendapat anak).
Fenomena membuang bayi juga dapat dipandang sebagai pertanda eksistensi silsilah (genealogi) keluarga bukan lagi substansi yang perlu dilanggengkan terkait harkat eksistensi manusia dan kemanusiaan. Baru tersadari sebagai pengalaman pahit jika kelak seorang bayi menjadi orang dewasa dengan popularitas yang fenomenal dan penelusuran silsilah akan bias dalam penyusunan biografinya. Andaikan orangtua berpaling untuk kembali mengakuinya sebagai anak, perlu ditebus dengan mahal melalui bantuan uji deoxyribonucleid acid (DNA).

Promosi Iwan Fals, Cuaca Panas dan Konsistensi Menanam Sejuta Pohon

Bukan Jenazah
Membungkus tubuh neonatus dengan lembaran kain bukan analogi dari pemulasaraan jenazah. Neonatus masih memiliki jiwa dan masa depan. Periode kehidupan neonatal merupakan awal dari rentang panjang perjalanan hayat dengan umur harapan hidup sekitar 70 tahun di Indonesia. Membuang bayi prematur yang lahir sekalipun dengan berat badan normal sekitar 2.500 gram di tempat terbuka, tetap merupakan tindakan berisiko dari aspek perawatan medis neonatus. Meski berbekal daya tahan tubuh dari sang ibu sedari dalam kandungan, tubuh neonatus tetap rentan akan serangan penyakit infeksi, bahkan fatal.
Asah-asih-asuh terhadap anak merupakan proses jangka panjang yang menyita waktu belasan tahun. Pertumbuhan dan perkembangan bayi atau anak tidak dapat diinstanisasikan. Menginstankan perkembangan anak pada usia dini untuk meraih prestasi yang diidamkan orangtua berpotensi memunculkan kekerasan psikis anak, bahkan fisik, meskipun itu merupakan apresiasi tersendiri untuk martabat dalam pergaulan sosial keseharian orangtua. Orangtua sudah merasa melakukan investasi yang tepat bagi perkembangan anak.
Sosok bayi atau anak merupakan individu yang unik. Anak bukanlah orang dewasa mini. Mengasuh anak berarti memutuskan memilih mengarungi relasi kehidupan antara orangtua dengan bayi atau anak. Sebagai pihak yang berposisi superior perlu kematangan mental yang adaptif. Kesiapan mental yang semata bermodalkan pola komunikasi otoriter, riskan akan konflik terbuka antara orangtua dengan anak. Meskipun anak berada pada posisi inferior, orang tua tidak berdaya andaikan anak melakukan tindakan pemutusan hubungan kekerabatan (PHK).
Konsekuensinya, anak lebih memilih untuk mengadopsi relasi positif dengan lingkungan luar rumah dan membangun relasi negatif internal dengan orangtuanya. Pengalaman empiris konflik frontal seperti ini sudah jamak menjadi ”model” kekinian kehidupan rumah tangga. Ini tidak jarang menimbulkan masa-masa sulit (beban trauma psikologis) bagi orangtua dalam mengasuh anak yang berujung pada penolakan keberadaan anak dalam keluarga.

Ekspedisi Mudik 2024

Ancaman MDG’s
Data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menunjukkan angka kematian bayi 34 per 1000 kelahiran hidup. Dengan demikian, Indonesia masih perlu berjuang keras untuk meraih target Millennium Development Goals (MDG’s) untuk angka kematian bayi 23 per 1.000 kelahiran hidup pada 2015.  Sepanjang kurun dekade 1990-an, penurunan angka kematian bayi hanya tercapai sebesar 5% per tahun. Maknanya, butuh waktu 20 tahun untuk menurunkan angka kematian bayi menjadi 17 per 1.000 kelahiran hidup terhitung sejak 2007.
Masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia merupakan kendala ekstra untuk menurunkan angka kematian bayi. Dalam kelompok miskin, angka kematian bayi masih berkutat pada angka 61 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan dalam kelompok mampu secara ekonomi, angka kematian bayi sudah mencapai 17 per 1.000 kelahiran hidup. Merujuk data ini, program Jaminan Persalinan (jampersal) digulirkan oleh pemerintah sejak 2011.
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2007 (Riskesdas 2007), angka kematian neonatal merupakan penyumbang terbesar bagi angka kematian bayi di Indonesia. Parahnya, dalam periode 2002–2007, angka neonatus yang meninggal tidak pernah mengalami penurunan. Tiap tahun, sekitar 20 neonatus berusia 0-12 hari terenggut nyawanya dari 1.000 kelahiran hidup. Pada neonatus usia 0-6 hari, gangguan pernapasan menyumbang 37% angka kematian neonatus dan 7% oleh hipotermia (suhu tubuh di bawah normal).
Fungsi pengatur suhu tubuh (termoregulasi) neonatus amat jauh dari optimal lantaran organ otak belum berkembang sempurna. Mudah dipahami ketika tubuh bayi baru lahir yang ditelantarkan di tempat-tempat umum saat kegelapan malam amat mudah menggigil kedinginan. Apalagi dibuang dalam kondisi tubuh tidak terbungkus kain atau pakaian yang memadai. Selain rentan mengalami trauma kecelakaan fisik juga riskan terserang infeksi (sepsis) yang sering berakhir fatal, meski sempat terbantu oleh perawatan medis beberapa hari di rumah sakit.
Air susu ibu merupakan sumber nutrisi utama bagi bayi hingga usia enam bulan. Meski bayi yang dibuang kelak diasuh oleh pihak lain, hak untuk memperoleh ASI ekslusif tetap tidak terpenuhi. Secara keseluruhan, di Indonesia pencapaian ASI eksklusif masih memprihatinkan. Pemberian ASI eksklusif pada neonatus (bayi berusia 0-28 hari) masih berkutat pada angka 45,4%. Padahal, bayi yang mendapatkan ASI eksklusif memiliki harapan untuk meraih kualitas pertumbuhan dan perkembangan yang lebih optimal saat dewasa kelak sebagai calon orangtua. Sekian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya