SOLOPOS.COM - Sujito (JIBI/Harian Jogja/Andreas Tri Pamungkas)

Sujito (JIBI/Harian Jogja/Andreas Tri Pamungkas)

Sebelum gempa, kegiatan berkesenian di Pandeyan sudah ada. Tapi belakangan mati bermula dari dicurinya peralatan gamelan. Sempat mulai kembali digerakan, tapi bencana gempa membuat langkah itu terhenti. Sejak 2008, warga menghidupkannya melalui kampung wisata. Warga bersemangat apalagi dengan adanya pembangunan XT Square.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pandeyan adalah kampung yang terletak di seberang persis proyek mercusuar pusat kerajinan di Jogja tersebut dengan memanfaatkan lahan bekas terminal lama Umbulharjo, Kota Jogja.

Dari berbagai sumber, nama Pandeyan berasal dari kata Pande, yang artinya sebutan orang yang memiliki keterampilan untuk membuat berbagai peralatan seperti belati, pisau, pedang, tombak, mata bajak, sabit, bahkan perangkat gamelan Jawa yang terbuat dari besi atau perunggu.

Muhammad Sujito, pengurus Kampung Wisata dan Budaya Pandeyan mengatakan, terakhir bukti keberadaan adanya perangkat gamelan dan wayang kulit itu dimiliki oleh seorang carik (sekretaris desa) di RW 3, namun seperangkat alat gamelan tersebut hilang setelah dititipkan kepada seorang tukang becak sewaktu carik tersebut mulai menetap ke luar kota.

“Saat itu, tahu-tahu ketika latihan mau diintensifkan lagi, alat gamelan itu sudah tak ada ditempatnya. Dugaannya dicuri oleh penjaga itu dan dijual,” kata Sujito kepada Harian Jogja, Selasa (15/5).

Tapi untungnya ada seorang warga, pembuat gamelan di RW 4, Harjono yang tergerak hatinya meminjamkan peralatan gamelan. Walau sempat surut akibat gempa, warga berusaha untuk membangkitkan kegiatan berkesenian tersebut untuk sekaligus mencukupi kebutuhan sehari-seharinya terutama warga di RW 3.

Tercatat terdapat 170 kepala keluarga (KK) yang berada di RW tersebut. Sujito mengatakan rata-rata bekerja sebagai wiraswasta. Melihat lokasi kampungnya yang berada di depan persis pembangunan XT Square, warga berharap banyak pertumbuhan kawasan ekonomi mengena sampai kampungnya.

Oleh karenanya, latihan-latihan sekarang mulai rutin dilakukan setiap minggunya. Untuk seni pendhalangan digelar Kamis malam dan seni rebana Sabtu malam. Dan masih ada kesenian lain seperti ketoprak mataram, karawitan, dan seni tari yang juga rutin digelar di setiap minggunya. Bahkan untuk membuat semakin apik kegiatan tersebut, mereka juga melibatkan pelajar dari ISI dan SMKI. ”Mau tak mau, wilayah kami menjadi garda paling depan sehingga perlu kita siapkan semuanya,” ungkapnya.

Tapi belakangan, seakan menjadi tidak ada kepastian setelah pembangunan XT Square yang menjadi temuan BPK karena menelan kerugian sekitar Rp2,4 miliar tersebut, pusat kerajinan tersebut tak juga dioperasionalkan. ”Nggak tahu itu kapan, padahal sudah berharap banyak,” keluhnya.

Sujito sendiri juga telah mengincar XT Square untuk menjual produknya berupa baju batik, tapi kelurahan pun tak dapat memastikannya kapan. Didik Setiadi, Lurah Pandeyan mengakui ketidaktahuan apa permasalahannya, dan bahkan paguyuban yang dibentuk untuk menampung keinginan warga terhadap XT Square, terpaksa vakum.

Walau begitu, Didik berupaya fokus terutama untuk kampung wisata. Tahun ini, kelurahan mendapatkan dana PNPM Rp70 juta untuk merintis kampung wisata. Rencananya, pelatihan guide dan pembelian peralatan akan menggunakan dana tersebut.
”Kalau bisa launching tak usah menunggu XT,” ungkapnya.

Toh sejauh ini, berbagai kegiatan kesenian ini sudah dapat dinikmati oleh pengunjung di sebuah pendopo milik Mulyana, meski pengunjung masih bersifat insidental. Pagelaran wayang per orang ditarif Rp60.000, atau pagelaran komplit bisa sampai Rp3,7 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya