SOLOPOS.COM - Sabar Subardi bersama lukisannya berjudul Tenang Dalam Gejolak yang dipamerkan di Mal Ciputra, Kota Semarang, dalam rangka memperingati Hari Penyandang Cacat Internasional, Selasa (3/12/2019). (Semarangpos.com-Imam Yuda S.)

Solopos.com, SEMARANG — Pelukis tanpa tangan asal Salatiga, Sabar Subardi, menggelar pameran tunggal di Mal Ciputra, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng).

Pameran tersebut digelar dalam rangka memperingati Hari Penyandang Cacat Internasional yang diperingati setiap 3 Desember. Pameran itu digelar selama tiga hari, mulai Selasa-Kamis (3-5/12/2019).

Promosi Di BRI Microfinance Outlook 2024, Menkeu Sri Mulyani Apresiasi AgenBRILink

Ada 32 karya pelukis yang mengalami kecacatan sejak lahir itu yang ditampilkan. Salah satunya lukisan yang diberi judul Tenang Dalam Gejolak.

Lukisan itu menggambarkan sebuah batu yang berada di aliran Sungai Senjoyo, Salatiga, yang jernih. Sabar mengaku tidak akan menjual lukisan itu.

“Ini enggak akan saya jual. Buatnya susah. Meski ada yang menawar tinggi, enggak saya jual!,” tegas Sabar saat dijumpai Semarangpos.com di sela pameran.

Sabar mengaku membutuhkan waktu sekitar enam bulan untuk membuat lukisan Tenang Dalam Gejolak. Waktu paling lama baginya untuk membuat sebuah lukisan. Rata-rata dirinya hanya membutuhkan waktu sekitar enam pekan untuk menyelesaikan satu karya seni.

Sabar menciptakan karya seni hanya dengan menggunakan kaki. Dia sudah cacat sejak lahir, tanpa memiliki kaki.

Meski cacat, Sabar tak pernah putus asa. Ia bahkan mengaku sebenarnya tak memiliki bakat melukis. Hanya latihan dan dorongan orang tua serta lingkungan yang membuatnya menjadi pelukis.

Sabar Subardi bersama lukisannya berjudul Tenang Dalam Gejolak yang dipamerkan di Mal Ciputra, Kota Semarang, dalam rangka memperingati Hari Penyandang Cacat Internasional, Selasa (3/12/2019). (Imam Yuda S./JIBI/Semarangpos.com)

Bahkan berkat kemampuannya itu, Sabar mampu pergi ke luar negeri untuk menggelar pameran bersama Association of Mouth and Foot Painting Artists (AMFPA) seperti Taiwan, Singapura, Austria, Spanyol, dan beberapa negara lainnya.

“Saya belajar melukis itu sejak usia 10 tahun. Awalnya, cuma dikasih alat tulis sama orang tua terus corat-coret pakai kaki. Dari situ, banyak yang menilai lukisan saya menarik,” tuturnya.

Meski cacat, Sabar menolak disebut kaum disabilitas. Menurut Sabar, kata-kata disabilitas kerap menimbulkan stigma bahwa penyandang cacat merupakan orang yang tidak mampu.

“Kalau saya tidak mampu, kenapa saya bisa hasilkan lukisan. Saya sadar dengan kondisi saya, cukup sebut saya penyandang cacat,” imbuhnya.

Sabar Subadi dan reman-rekannya bercengkrama dengan Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Jateng, Sinoeng N. Rachmadi. (Semarangpos.com-Imam Yuda S.)
Sabar Subadi dan reman-rekannya bercengkrama dengan Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Jateng, Sinoeng N. Rachmadi. (Semarangpos.com-Imam Yuda S.)

Sabar pun meminta rekan-rekan sesama penyandang cacat untuk tidak larut dalam sebutan disabilitas. Menurutnya, seorang penyandang cacat wajib memiliki kemampuan dan kecerdasan agar bisa disejajarkan dengan orang normal.

Sementara itu, Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Jateng, Sinoeng N. Rachmadi, menilai apa yang disampaikan Sabar sangat memberi inspirasi.

“Saya setuju dengan mas Sabar. Jangan mengotak-otakan orang. Dunia kreasi bukan hanya untuk orang norman, penyandang cacat juga bisa berkreasi,” ujar Sinoeng.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya