SOLOPOS.COM - Buku Geger Pacinan yang mengisahkan perlawanan Jawa dan Tionghoa terhadap VOC.

Solopos.com, SOLO -- Siapa bilang dalam sejarah etnis Jawa dan Tionghoa selalu berselisih. Kedua etnis besar di Nusantara ini pernah punya catatan manis bersama-sama melawan pasukan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) alias Kompeni.

Tepat 35 windu lalu pada 1740, Kota Solo dan sekitarnya menjadi saksi sejarah perang terbesar yang berlangsung di Pulau Jawa berjuluk Perang Sepanjang atau Geger Pecinan. Penulis buku Geger Pecinan, R.M. Daradjadi, yang juga Kerabat Pura Mangkunegaran, mengatakan rentetan peristiwa yang bermula di Batavia itu meluas dan berkobar selama beberapa tahun.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

VOC, kongsi dagang bentukan Belanda melakukan pembantaian terhadap keturunan Tionghoa yang bermukim di Batavia. Alasannya, kondisi perekonomian warga Tionghoa yang tangguh sementara pada saat yang sama VOC mengalami kesulitan.

Mitos Jokowi Lengser Jika ke Kediri, PAN: Kan yang Dukung Banyak

VOC kemudian melarang warga keturunan Tionghoa melakukan aktivitas jual beli dengan ancaman dibuang ke tengah laut. Ancaman tersebut menimbulkan ketakutan. Mereka mempertahankan diri dengan berkumpul serta mempersenjatai diri untuk melawan Belanda. Beberapa di antaranya melarikan diri sampai ke Keraton Kartasura, yang saat itu dipimpin oleh Paku Buwono (PB) II.

“PB II sangat terkejut melihat keberadaan orang Tionghoa, mereka sebenarnya tidak berani perang, kok ini berani perang. Lalu Keraton bekerjasama dengan mereka melawan VOC. PB II menyerukan perang sabil, dia menyebarkan ajakan kepada seluruh rakyat Kartasura [Mataram] untuk bersama warga keturunan Tionghoa melawan Belanda. Gayung bersambut dan diterima oleh bupati dan kadipaten sekitar. Pedagang Melayu, India ikut melawan. Ada di antaranya ulama-ulama,” kata Daradjadi, saat berbincang dengan Solopos.com di Sasono Gondopuri, Jumat (24/1) sore.

Jokowi dan Mitos Angker Kediri, Demokrat Bandingkan dengan SBY

Dalam perang tersebut, terdapat salah satu pertempuran yang dipimpin tokoh bernama Said Ali di Semarang yang menjadi titik balik. Tentara gabungan Jawa, Tionghoa, Melayu, dan Arab mengalami kekalahan yang telak.

Belanda melihat itu sebagai kesempatan lalu mengabarkan kekalahan itu dengan mengancam PB II. “Jika Keraton ikut membantu warga Tionghoa melawan VOC, maka PB II akan diturunkan paksa oleh VOC,” kata Daradjadi.

Pengkhianatan PB II

Asal-Usul Mitos Angker Kediri Bisa Lengserkan Presiden RI, Percaya?

Ancaman tersebut membuat PB II menyerah, dari sebelumnya mendukung warga Tionghoa berbalik menyerukan agar membantu VOC dengan membunuh orang Tionghoa pada awal 1742. Namun, para bupati tidak ada yang mengikuti perintah PB II. Hal itu, sambungnya, terungkap dari catatan Patih Mataram Notokusuma.

“Notokusuma menulis, 'Saya di dalam kebimbangan. Sebagai abdi saya diperintah PB II untuk membunuh orang Tionghoa. Tapi sebagai orang beriman, tindakan itu akan diperhitungkan di akherat. VOC adalah kejahatan, bekerja sama dengan orang jahat adalah suatu kejahatan. Lebih baik saya tidak mengikuti PB II',” kisahnya.

Mitos Jokowi Lengser Jika ke Kediri, PAN: Kan yang Dukung Banyak

Warga keturunan Tionghoa, para bupati, dan rakyat yang tidak terima dengan keputusan PB II merasa sakit hati. Dipimpin oleh R.M. Garendi, cucu penguasa Kartasura periode 1702-1705, Amangkurat III, mereka bergabung dengan Laskar Tionghoa yang dipimpin Kapitan Sepanjang dari Batavia dan Tan Sin Ko alias Singseh dari Jawa bagian tengah.

Gabungan ketiganya bersama menyerang keraton. Mereka berhasil menguasai Keraton Kartasura dan membuat PB II terusir ke Ponorogo.

“RM Garendi yang berjuluk Sunan Kuning atau Amangkurat V dinobatkan jadi raja. Tapi, PB II dan VOC terus bergerilya merebut kembali Keraton. Keduanya meminta bantuan Laskar Madura, pimpinan Cakraningrat. Dalam perang pada akhir 1742 itu, RM Garendi terusir dan lari sampai akhirnya tertangkap di Jakarta lalu dibuang ke Srilanka. Kapiten Sepanjang masih meneruskan perlawanan terhadap VOC, kemudian menyeberang ke Bali,” tutur Daradjadi.

Prabowo Subianto Jadi Menteri Terbaik Versi Indobarometer, Setuju?

Setelah PB II kembali menguasai Keraton Kartasura yang hancur, dia memindahkan pusat kasunanan di Surakarta dengan dibantu Belanda. Berbekal dari pengalaman buruk tahun-tahun sebelumnya, Belanda membatasi gerak orang keturunan Tionghoa hingga menimbulkan segregasi antara warga pribumi dan keturunan.

Belanda sangat menaruh kecurigaan pada orang keturunan Tionghoa sehingga meminta mereka membangun permukiman di area yang mudah dipantau.

“Maka, muncul kawasan pecinan di kota besar yang dikuasai Belanda. Di Solo, kawasan itu berada tak jauh dari pusat aktivitas Belanda, yakni sekitar Pasar Gede. Kalau dilihat, lokasinya juga dekat sekali dengan Beteng Vastenburg, karena dekat dengan jangkauan meriam. Belanda terus mengawasi komunikasi antara orang Tionghoa dengan pribumi. Keadaan itu terus dilanggengkan selama beratus tahun, meski sebelum segregasi itu, warga keturunan Tionghoa sebagai pendatang dan pribumi sudah hidup rukun,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya