SOLOPOS.COM - Ilustrasi ekskavator pengeruk tanah. (Solopos/Dok)

Solopos.com, SRAGEN — Kepala Desa (Kades) Sepat, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, yakni Mulyono, ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Satreskrim Polres Sragen dalam kasus dugaan penambangan galian golongan C pada kegiatan normalisasi embung di desa setempat.

Kasat Reskrim Polres Sragen, AKP Guruh Bagus Eddy Suryana, mengatakan Mulyono berperan sebagai penanggung jawab kegiatan normalisasi embung di desa setempat yang dimulai beberapa bulan terakhir. Menurutnya, pengerukan embung yang tanahnya dijual kepada masyarakat itu tidak memiliki izin dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah.

Promosi Siap Mengakselerasi Talenta Muda, Pegadaian Lantik Pengurus BUMN Muda Pegadaian

Keren! MTsN 1 Klaten Juara Lomba Wajah Bahasa Tingkat Nasional

"Yang bersangkutan tidak memiliki izin resmi sehingga pajak pertambangan tidak masuk kas negara," terang Guruh kepada Solopos.com, Selasa (27/10/2020).

Dilaporkan

Mulyono dilaporkan oleh Dinas ESDM Jateng. Ia dijerat Pasal 158 UU No. 3/2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Setelah memeriksa sejumlah saksi dan terlapor, Mulyono akhirnya ditetapkan sebagai tersangka pada Kamis (22/10/2020).

Menanggapi hal itu, sang kades Sepat Sragen itu mengaku tidak habis pikir dengan penetapan dirinya sebagai tersangka. Dia menjelaskan kegiatan normalisasi embung seluas 5.000 meter persegi itu merupakan hasil musyawarah warga dan kelompok tani.

Menurutnya, para petani menyesalkan keberadaan embung yang tidak bisa dimanfaatkan maksimal untuk menyimpan cadangan air karena terjadi pendangkalan.

"Lahan pertanian di Desa Sepat itu tadah hujan. Supaya petani bisa panen padi dua kali dalam setahun, pasokan air harus tercukupi. Mereka lalu bermusyawarah sehingga muncul lah keputuhan untuk menormalisasi embung itu," kata Mulyono kepada Solopos.com.

Setelah musyawarah itu, Mulyono lantas berkoordinasi dengan Bupati Sragen, Kusdinar Untung Yuni Sukowati, dan Sekretaris Daerah (Sekda), Tatag Prabawanto. Bupati kemudian membuat surat disposisi yang mengizinkan kegiatan pengerukan sedimen di dasar embung tersebut.

"Sesuai instruksi Pak Sekda, izin galian C diperuntukkan untuk lahan minimal lima hektare. Ini luas lahannya tidak lebih dari 1 hektare sehingga kami tidak mengurus izin," ujar Mulyono.

Berbekal surat disposisi itu, Mulyono kemudian membentuk tim pelaksana pengerukan sedimen embung. Kegiatan pengerukan sedimen itu sama sekali tidak menggunakan dana dari Pemdes Sepat, Pemkab Sragen, maupun Pemprov Jateng.

Biaya sewa ekskavator diambil dari hasil penjualan tanah kepada masyarakat. Sisa tanah yang dikeruk itu kemudian dipakai untuk membuka jalan baru sepanjang 600 meter. Kebetulan, warga sudah menyerahkan lahan itu untuk dibangun jalan baru.

"Kegiatan pengerukan embung itu untuk bantu petani, tanahnya dipakai untuk membuka jalan baru. Sepeser pun tidak ada uang dari hasil penjualan tanah itu yang masuk ke kantong saya. Saya tentu heran mengapa malah ditetapkan jadi tersangka," ucap Mulyono.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya