SOLOPOS.COM - Suasana Kompleks Gedoeng Djoeang ‘45, Jl. Mayor Sunaryo, Kelurahan Kedunglumbu, Pasar Kliwon, Solo, Jumat (20/9/2019). (Solopos-Mariyana Ricky P.D.)

Solopos.com, SOLO — Gedung Djoeang ’45 menjadi saksi bisu perjuangan Kemerdekaan Indonesia 77 tahun silam di Kota Solo, Jawa Tengah.

Bangunan yang terletak di Kelurahan Kedunglumbu, Kecamatan Pasar Kliwon ini juga merupakan salah satu bukti perkembangan Kota Solo yang melaju pesat di akhir abad ke-19. Gedung Djoeang ’45 juga pernah menjadi salah satu bangunan pendidikan elit di Pulau Jawa dan tempat istirahat para Perwira tinggi Belanda yang saat itu berdinas di Kota Solo.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dibangun pada tahun 1876 dan baru selesai pada tahun 1880, fungsi utama dari Gedung Djoeang ’45 adalah sarana pelayanan bagi tentara Belanda. Saat itu nama jalan di daerah Pasar Kliwon adalah Cantinestraat.

Bukan tanpa alasan bangunan itu berada di tengah kota dan strategis. Dalam Jurnal Morfologi Kota Solo: Tahun 1500-2000 terbitan Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Kristen Petra, menyebut awal abad 18 banyak pendatang dari Eropa, yakni Belanda dan Inggris hingga Timur jauh, yaitu Cina, Arab, India.

Ekspedisi Mudik 2024

Maka, kebutuhan bangunan meningkat. Belanda, saat itu melihat Cantinestraat merupakan lokasi strategis untuk perkantoran dan perdagangan. Memasuki pertengahan abad 19, transportasi juga berpengaruh terhadap perkembangan Kota Solo.

Baca Juga : Gedung Djoeang 45 Saksi Kemerdekaan Indonesia di Solo, Ini Ceritanya

Kapal yang melewati Sungai Bengawan Solo mulai ditinggalkan dan berganti dengan kereta api yang mempermudah aksesibilitas dan membuat perkembangan Kota Solo mulai menjauh dari Sungai Bengawan Solo. 

Dalam buku berbahasa Belanda dengan judul Djokja Solo, Beeld van de Vostensteden, yang disusun M.P van Bruggen dan R.S Wassing e.a, tahun 1998 menjelaskan lebih sepsifik mengenai bangunan Gedung Djoeang ’45 dan bangunan di sekitarnya.

Gedung Djoeang ’45 saat itu primadona bagi angkatan bersenjata Hindia Belanda atau KNIL yang terdiri dari setengah kompi dengan tugas berbeda. Ada yang bertugas menjadi bagian penjagaan Benteng Vastenburg, ada juga yang menjadi Pengawal Cavalen dengan tugas pengawalan para Sultan Keraton.

Gedung Djoeang ’45 tidak bisa diakses oleh sembarang tentara. Hanya perwira tinggi yang bisa mengakses gedung tersebut sebagai lodji untuk bersantai dan membahas strategi pengamanan di Kota Solo. Kondisi itu mulai dari tahun 1880 hingga 1942.

Bangunan ini kemudian berubah menjadi rumah sakit kelas enam dan sempat menjadi barak sementara ketika Benteng Vastenburg tak mampu menahan pasukan yang semakin banyak.

Baca Juga : Jejak Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Solo, Bangunan Ini Jadi Saksi

Ketika Jepang masuk ke Indonesia, Gedung Djoeang 45 berubah menjadi Solo Boarding School, terpanya pada Maret 1942. Tak lama, gedung tersebut menjadi kamp pengungsian, tepatnya awal Mei 1942. Tercatat 1.300 anak-anak, wanita, dan pria yang mengungsi di gedung tersebut untuk menanti kesempatan pulang. Beberapa di antara mereka berhasil namun banyak yang tidak bisa kembali ke Belanda.

Gedung Djoeang ’45 menjadi saksi perempuan dan anak-anak keturunan Belanda ditahan setelah Kemerdekaan Indonesia. Bangunan itu berubah menjadi Sinkokan pada 26 November 1945. Selain Gedung Djoeang ’45 terdapat lokasi kamp lain, seperti De Unie en De Harmonie Clubs di Boyolali.

Dalam catatan indischekamparchieven, mereka yang ditahan hidup dengan tidak layak. Makanan yang diberikan sangat buruk, toilet juga tidak layak digunakan. Tidak heran banyak dari mereka yang sakit dan dievakuasi ke Semarang atau Batavia.

Bangunan Gedung Djoeang ’45 sempat terbengkalai sebelum akhirnya kembali digunakan sebagai panti asuhan. Kini, Gedung Djoeang ’45 berstatus Bangunan Cagar Budaya (BCB) di Kota Solo.

Monumen Laskar Putri Surakarta yang berada satu kompleks di area Gedung Djoeang 45 dibangun sebagai penanda sejarah keikutsertaan kaum wanita dalam perjuangan serangan 4 hari tanggal 7-11 Agustus 1949. Salah satu anggota Laskar Putri Surakarta adalah Siti Hartinah atau akrab disapa Tien, istri Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto.

Baca Juga : Rekomendasi Wisata Gedung Lawas di Solo, Cantik-Cantik Lho Lur….

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya