GEDHADHE DAB: Beda Bahasa

ilustrasi (JIBI/Harian Jogja/Hengki Irawan)

Jon Koplo yang selama ini tinggal di Jakarta sengaja meluangkan waktu untuk mengunjungi neneknya, Mbah Cempluk, di Sukoharjo. Ia mengajak anak semata wayangnya, Gendhuk Nicole, yang baru kali pertama ke rumah mbah yut-nya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sesampai di rumah nenek, mereka disambut gembira. Di meja makan telah tersedia jamuan makan siang, ada minuman teh, nasi, serta lauk pauk yang mengundang selera.

“Ayo, gek ndang dimaem!” kata Mbah Cempluk sambil beranjak masuk. Gendhuk Nicole yang tidak tahu sama sekali dengan bahasa Jawa itu hanya bisa diam.

“Ya, Mbah,” jawab Koplo. “Ndhuk, Bapak mau ke toilet dulu ya, kamu boleh ambil makan sendiri,” kata Jon Koplo kepada anaknya.

Sepeninggal Jon Koplo, Mbah Cempluk keluar membawa semangkuk besar sayur sup, semantara Gendhuk Nicole duduk dengan manisnya.

“Ndhuk, ini jangan, dimaem ya. Mbah Yut mau ambil sambel kesukaan ayahmu,” kata Mbah Cempluk.

Gendhuk pun mengambil nasi, ayam goreng dan kerupuk, lalu memakannya.

“Lho,  kok enggak pakai sayur?” tanya Koplo begitu tiba di meja makan.

“Nggak boleh sama Mbah Yut!” jawab Gendhuk sambil mecucu tanda kecewa.

“Emang kenapa nggak boleh?” tanya Koplo heran.

“Tadi Mbah Yut bilang, ini nasi, ini ayam, ini telur, ini jangan…” wadul Gendhuk kepada ayahnya.

Jon Koplo yang tanggap maksudnya malah tertawa ngakak hingga membuat Mbah Cempluk keluar.

“Ndhuk, jangan itu maksudnya sayur. Orang Jawa kalau bilang sayur itu jangan. Bukannya tidak boleh dimakan,” terang Jon Koplo sambil tertawa.

Gendhuk Nicole baru mudheng, sementara Mbah Cempluk hanya bisa ngguya-ngguyu karena ucapannya disalahartikan.

Dikirimkan ke JIBI/SOLOPOS

Oleh Muhamad Ismail

Sanggrahan, Sukoharjo