SOLOPOS.COM - Dua bus rombongan peziarah parkir di depan Makam Butuh-Sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir yang terletak di Dukuh Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Sragen, Sabtu (17/9/2022). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Makam Joko Tingkir di kompleks Makam Butuh-Sultan Hadiwijaya, Dukuh Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Sragen, ramai pengunjung sejak adanya polemik lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet.

Terkini, pada Sabtu (17/9/2022) ada rombongan datang dengan dua bus memadati parkiran sebelah utara Masjid Butuh. Mereka datang untuk berziarah ke makam Joko Tingkir. Setelah melepas standar di depan gapura masuk makam, para pengunjung tersebut memasuki rumah berisi sembilan makam. Di antaranya makam Ki Ageng Butuh, Nyi Ageng Butuh, Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, saudaranya, dan pengikutnya. Mereka menggelar tahlilan dengan duduk lesehan di karpet.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Juru kunci makam, Muhammad Husen Aziz Aribowo, mengatakan rombongan dua bus itu salah satunya dari Mojokerto, Jawa Timur. Sebelum mereka, Aziz mengungkapkan hampir setiap hari ada pengunjung dari luar kota untuk berziarah ke Makam Joko Tingkir. Peziarah mulai ramai datang setelah lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet jadi polemik.

“Ada peningkatan cukup signifikan sejak 1-2 bulan terakhir, sejak adanya polemik lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet. Lagu itu kok heboh tidak boleh dinyanyikan? Ya, karena penyanyinya tidak tahu. Saya kira itu bukan kesengajaan. Sejak ada polemik lagu itu menjadi ramai pengunjung karena penasaran dengan sosok Joko Tingkir,” jelasnya.

Baca Juga: Konon Peninggalan Joko Tingkir, Sumur di Sragen Ini Tak Pernah Kering

Azis menerangkan Joko Tingkir ini merupakan Sultan Pajang yang dikenal dengan nama Sultan Hadiwijaya. Ia memerintah Kerajaan Pajang selama 40 tahun dan praktis tidak ada pemberontakan. Kepemimpinan Joko Tingkir dapat dikatakan adil, aman.

Joko Tingkir juga dikenal sebagai sosok yang sakti. Setelah selesai menjadi raja, sambung Aziz, Sultan Hadiwijaya mengasingkan diri ke Dukuh Butuh, tempat tinggal orang tuanya untuk menyatu dengan masyarakat. Joko Tingkir mengikuti ada raja-raja dulu di mana setelah lengser lantas menjadi pertapa.

Banyak Petilasan dan Makam

Seorang warga Butuh, Parno, 86, menyampaikan banyak petilasan dan makam di sekitaran Butuh dan Gedongan yang masih ada hubungannya dengan Joko Tingkir. Salah satunya makam Mbah Niti Semito  di sebelah timur kompleks Permakaman Butuh.

Parno yang juga pensiunan guru MI itu menerangkan di makam Mbah Niti Semito itu dulu ditandai dengan pohon kendal tetapi sekarang tidak ada. Makamnya juga tidak terawat.

Baca Juga: Kisah Kelurahan & Kecamatan Tingkir di Salatiga Dikaitkan dengan Joko Tingkir

“Mbah Niti ini seorang empu hebat. Pekerjaannya dulu tukang membuat gaman atau senjata bagi prajurit Joko Tingkir. Senjata yang dibuat Mbah Niti itu hanya dua jenis, yakni keris dan tombak. Kemudian ada Mbah Gedong yang merupakan cikal bakal Desa Gedongan. Secara umur, Mbah Gedong ini lebih tua dari Ki Ageng Butuh atau Ki Kebo Kenanga yang tidak lain bapaknya Joko Tingkir,” jelasnya.

Sebelum kedatangan Ki Ageng Butuh, jelas Parno, wilayah dukuh masih berupa hutan pohon puyang. Sampai sekarang ada warga yang menyebut wilayah ini sebagai Dukuh Butuh Puyang. Dia mengatakan Ki Ageng Butuh datang ke Butuh dengan cara membabat tanaman puyang itu dan dijadikan permukiman sehingga disebut Dukuh Butuh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya