SOLOPOS.COM - Ketua RW Dusun Bakalan, Suryanto, menunjukkan tempat pengolahan limbah cair produksi tahu menjadi biogas di Dusun Bakalan, Kecamatan Ngadirojo, Wonogiri, Jumat (27/1/2023). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Para perajin tahu beromzet jutaan rupiah di Desa Mlokomanis Wetan, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Wonogiri, ternyata sudah sadar lingkungan. Mereka tak sembarangan membuang limbah produksi yang berpotensi mencemari udara dengan bau tak sedap.

Para perajin tahu itu memanfaatkan air limbah produksi tahu dan mengubahnya menjadi biogas. Selain ramah lingkungan, perajin bisa memanfaatkan biogas itu untuk kebutuhan rumah tangga.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Sekretaris Desa Mlokomanis Wetan, Anjar Budi Prasetyo, mengatakan ada puluhan usaha tahu skala industri rumahan di desa tersebut. Mereka memproduksi tahu mulai dari puluhan hingga ratusan kilogram/hari.

Dia tidak mengetahui secara pasti sejak kapan banyak usaha tahu ada di Desa Mlokomanis Wetan, Ngadirojo, Wonogiri. Menurutnya usaha tersebut sudah ada sejak dulu. 

Usaha tersebut bertahan lama karena dinilai menguntungkan dan menjadi sumber pendapatan bagi sejumlah warga desa. Sayangnya, industri itu berkontribusi pada pencemaran lingkungan. Limbah cair hasil produksi tahu menyebabkan bau tidak sedap di lingkungan sekitar.

“Sekarang sudah ada beberapa perajin yang mengolah limbah cair itu dengan cara diproses menjadi biogas. Terutama mereka para produsen tahu skala menengah,” kata Anjar saat berbincang dengan Solopos.com di Kantor Desa Mlokomanis Wetan, Jumat (27/1/2023).

Meski belum semua perajin tahu di Mlokomanis Wetan, Wonogiri, mengelola limbah cair itu digunakan sebagai biogas, sekarang efek pencemaran lingkungan itu sedikit banyak sudah berkurang. Beberapa perajin sudah mempunyai alat untuk mengubah limbah cair hasil produksi tahu menjadi biogas.

Sehingga tidak ada lagi limbah cair yang menimbulkan bau menyengat. Salah satu perajin tahu di Dusun Bakalan, Desa Mlokomanis Wetan, Mulato, mengaku memproduksi tahu dengan bahan kedelai sebanyak 100 kg/hari.

Sejak tiga tahun lalu ia sudah mengubah limbah cair hasil produksi tahu menjadi biogas. Sebelum itu, dia mengaku membuang limbah cair ke tanah pekarangan. Akibatnya bau tidak sedap dari limbah itu menyeruak ke lingkungan sekitar.

Hemat Pembelian Elpiji

Kondisi lingkungan pun menjadi tampak kotor. “Sekarang hampir tidak ada limbah yang mengganggu. Limbah yang yang dihasilkan pun tidak berbahaya karena sudah diproses terlebih dulu untuk dibuat biogas,” ucap Mulato di sela-sela membuat tahu di rumah produksinya di Dusun Bakalan.

Biogas itu dimanfaatkan Mulato untuk keperluan dapur rumah tangga. Selama tiga tahun terakhir semua keperluan dapur yang membutuhkan kompor sudah disuplai menggunakan biogas.

Oleh karena itu perajin tahu di Mlokomanis Wetan, Wonogiri, itu pun bisa menghemat lebih kurang Rp70.000/pekan karena tidak perlu membeli membeli elpiji lagi. Mulato menyadari tidak semua perajin mampu untuk membuat sistem pengelolaan limbah seperti dia.

Sebab butuh modal yang cukup besar untuk membangun pengolah limbah menjadi biogas. “Tergantung ukurannya, kalau kecil seperti punya saya ini, dulu buatnya Rp30 juta,” katanya.

Pantauan Solopos.com di dapur rumahnya, kompor di dapur itu langsung tersambung dengan pipa pengolahan limbah menjadi biogas di belakang rumah produksi. Kompor itu pun dengan mudah dinyalakan.

Warna api pada kompor berwarna biru. Menandakan suhu api tersebut lebih dari 1.500 Celcius. Sementara itu, berdasarkan pantauan Solopos.com di perajin tahu lain yang belum mempunyai sistem pengolah limbah cair menjadi biogas, Sukiman, tampak perbedaan cukup mencolok.

Di sana limbah cair hasil produksi tahu langsung dibuang pekarangan belakang rumah. Bau tidak sedap pun tercium di sekitar pembuangan limbah cair itu. Sukiman memproduksi tahu dengan bahan kedelai sebanyak 25 kg.

Ukuran itu relatif kecil untuk industri skala rumahan. Dia mengaku tidak menggunakan sistem pengelolaan limbah menjadi biogas karena pembangunan sistem pengelolaan itu mahal. Apalagi dengan ukuran produksi tahu yang masih sedikit. “Harganya mahal kalau itu. Apalagi di sini produksinya tergolong sedikit, cuma 25 kg kedelai/hari,” kata Sukiman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya