SOLOPOS.COM - MEMRIHATINKAN -- Kondisi perkampungan pengungsi di kawasan pusat Kota Monrovia yang memrihatinkan. (Pralangga.org)

Seperti apa rasanya bertugas di daerah-daerah konflik di luar negeri? Pertanyaan ini mungkin bisa terjawab dengan mengikuti penuturan dari Luigi Pralangga, WNI yang lumayan berpengalaman bertugas di berbagai wilayah konflik sebagai staf PBB. Penuturan ini diambil dari blog yang dikelolanya, Pralangga.org, yang banyak berisi kisah seputar pengalaman para warga Indonesia yang bertugas di wilayah-wilayah konflik di dunia. Kisah berikut ini adalah penuturan utuhnya yang diambil dari blog tersebut.

Dalam banyak kesempatan berinteraksi dengan karib kerabat dan sanak famili, apalagi saat cuti mudik, sederet pertanyaan itu terus menguntit. si Ondel-ondel ini faham benar bahwa mereka di kampung halaman senantiasa mencari kepingan-kepingan informasi guna menyatukannya dalam satu gambaran kefahaman akan tema:

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

“Mengapa si Si Ondel-ondel Kampret ini kok mau-maunya betah bekerja jauh di daerah yang nggak jelas (Baca: Pasca Konflik) sih?”. Dari pertanyaan standard seputar situasi keamanan, iklim dan alam, yang terus berbuntut pada “isi dompet.”

BELANJA -- Menata isi kulkas seusai berbelanja. (Pralangga.org)

Nah, menghadapi pertanyaan seperti itu, kita bisa memilih untuk membuka isi dompet lalu memaparkannya atau mengindikasikan sumber informasi yang bisa ditengok pada situs resmi yang memuat informasi perihal Staff Pay and Benefitssehingga mereka bisa mencari tahu langsung. Acapkali, rasanya tidak sedikit rekans yang merasa kurang berkenan berbagi begitu saja informasi perihal yang satu ini.

Namun, perihal apakah kompensasi finansial itu menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk memilih karir pada bidang ini berpulang pada orientasi individu dan value reference pribadi masing-masing. Terlepas dari itu, memang harus diakui bahwa bagi badan-badan internasional baik itu swasta komersial dan organisasi nirlaba, bagi para staffnya yang bertugas ditempatkan di medan penugasan hazardous/highly dangerous assignment, tunjangan kebahayaan (Hazard Allowances) acapkali menyaingi atau melebihi gaji pokok sekalipun. Jadi bisa terbayang berapa besaran yang diperoleh seseorang dengan bidang profesi spesialis daerah konflik?. :p

Terlepas dari apakah si staf yang bersangkutan pandai mengatur keuangan dan menjaga pengeluaran pribadinya, itu bergantung pada tabiat pribadi masing-masing. Bercerita perihal karakter individu yang menyangkut tabiat pembelanjaan, si Ondel-ondel ini bisa menggolongkan ada 3 macam kelompok ekstrim:
1. Staf Expat pengeluaran ala Expat
2. Staf Expat pengeluaran ala Ikan Sepat
3. Staf Expat pengeluaran moderat

SEMRAWUT -- Suasana kawasan pusat Kota Monrovia, Ibukota Liberia. (Pralangga.org)

Mengapa disebut Expat? Jelaslah semua staf warga negara asing pada seuatu penugasan misi lazim disebut Expat, sebab staf Lokal adalah mereka warga negara setempat yang ikut tergabung dalam komponen mission, secara administratif dan jenis kontraknya mempunyai skala gaji yang berbeda besaran dan tunjangannya.

Nah, sekarang tinggal bagaimana mereka menjalani keseharian mereka selama di daerah mission agar supaya (biaya hidupnya) tidak kebablasan dan tetap bisa menjaga kelangsungan hidupnya. Okelah, tidak usah mengulas yang kelompok nomor tiga itu, sebab mereka-mereka ini adalah termasuk kelompok yang cukup pandai dan faham sekali bagaimana bisa menjaga keseimbangan antar menikmati kehidupan saat berada di mission area dimana saat mereka perlu mengeluarkan biaya untuk menjaga eksistensi social well-being dan welfare activities mereka, maka dengan mudah dan tanpa banyak perhitungan rumet (Baca: Rumit dan Mumet).

Seberapa baik seorang staf misi bisa sukses mengatur pengeluarannya sehingga ia berhasil menabung dan memaksimalkan “perolehan” yang bisa dikatakan worthwhile terhadap pengorbanan-nya bekerja jauh dari tanah air dan keluarga ditempat yang mengandung resiko dan bahaya?, itu semua bergantung pada gaya hidup yang bersangkutan.

Si Ondel-ondel ini, sebenarnya bukanlah pribadi yang cukup konsisten dalam urusan hemat dan menabung. Dia gemar sekali memanjakan diri akan hal-hal yang menyenangkan: Belanja (bahan makanan bulanan + mengisi kulkas dan lemari bahan makanan). Lalu, berlibur, memasak atau makan di restoran bersama sahabat, dan lain-lain.. namun demikian (Gusti Alloh memang maha adil dan faham sekali akan karakter masing-masing hamba-Nya)atas Rem-Pakem dan Program Waskat (Baca: Pengawasan Melekat) yang terapkan oleh istri, maka anggaran pengeluaran pribadi selama hidup di mission area dan jumlah yang bisa ditabung terjaga ketat dan termonitor.

Di sisi lain, si Ondel-ondel ini juga melihat beberapa contoh ekstrim oleh rekan/kolega sesama staff mission yang menjalankan pola hidupnya pada kondisi yang belum tentu si Ondel-ondel ini mampu menjalaninya perihal gaya hidup di mission.

Sebutlah dia dipanggil dengan nama: Sanjay Medhite Singh, asli dari Gujarat, India. Dia beberapa tahun lebih tua dari si Ondel-ondel ini, dia adalah salah satu karib mission dan beberapa kali banyak membantu bila ada problem IT dan kerusakan sistem pada komputer staf. Tidak banyak dari kita yang faham dimana dia tinggal selama bertugas, meski sudah bertahun-tahun bertugas bersama di Monrovia. Mengapa?, karena dia memilih akomodasi kontrakan diluar beberapa Staff Compounds yang selama ini banyak dari kita memilih untuk berkumpul dalam satu kompleks akomodasi komunal.

Ada kabar kita dengar bahwa ia baru saja terserang Malaria dan setelah cari tahu sana-sini akhirnya kita cukup faham akan daerah dimana dia menyewa apartment. Kita memutuskan untuk menengoknya. Hari itu hari Minggu, hujan mengguyur Monrovia secara merata dengan derasnya.. ini berarti kebanyakan jalan-jalan agak sepi dari lalu-lalang kendaraan dan taksi kuning busuk itu yang kerap membuat macet jalan karena gemar double-parking alias ngetem mencari penumpang.

Saat itu sudah menjelang jam 4 sore, langit sudah mulai menampakkan rona kuning keemasan menandakan hari akan segera berakhir. “Hello.. Sanjay… we are heading to your place.. and now at the intersection between Benson Street and Carrey.. where is exactly you place is?”

“Ouw, you are coming now… but, I am not ready… in 10 minutes ok..? There is no electricity in the building now.. I will have to call the Genset-man..”

Seterusnya kita dijelaskan via telepon akan arah yang mesti diambil

“Wah, udah mah ini hari libur… listrik pun tidak menyala di apartemen-nya!. Gimana itu rasanya berada didalam apartemen dalam cahaya matahari yang mulai redup senja begini?“ gumam si Ondel-ondel ini dalam hati.

KAMPUNG -- Suasana perkampungan pengungsi yang diambil dari jendela apartemen. (Pralangga.org)

Urusan mati listrik, buat kita – staff missions, sudah bukan barang baru.. namun di hari Minggu dimana kebanyakan dari kita berada di ruang akomodasi masing-masing, rasanya agak sulit menjalaninya. Karena biasanya pada kebanyakan rumah akomodasi staff itu, si genset dibiarkan menyala 24 jam terus menerus selama akhir pekan meski padam, hanya hitungan 5-10 menit saja untuk berganti ke mesin genset kedua.

Akhirnya kita tiba di depan gedung apartment si Mamang Medhite itu. Lokasinya masih terbilang downtown Monrovia. Namun sisi “elit”-nya daerah downtown ini jauh dari arti dan kesan kawasan Elit yang sesungguhnya. Di sekeliling gedung apartment si Mamang Medhite ini, tidak lain hanya berkisar gedung-gedung kosong dan hancur sisa konflik Liberia dan gubuk-gubuk liar beratapkan helai terpal plastik berwarna biru menghiasai pemandangan sejauh mata memandang dan kabel-kabel listrik yang semrawut berseliweran menyeberangi antar gedung.

Nampaknya si gedung itu sendiri tidak mempunyai sumber penerangan listrik mandiri melainkan penghuni mesti “mengimpor” aliran listrik dari gedung sebelah atau pada “juragan kontrakan” dengan mesin genset kapasitas besar yang dijual secara eceran per daya-ampere kepada para penghuni apartemen hingga beberapa blok jauhnya dari si sumber mesin pembangkit tadi. Jadi kebayang khan betapa rumet dan sumpeknya pemandangan itu.

Dari ceritanya pun, tidak ada staff UNMIL yang tinggal satu gedung dengan-nya, kecuali warga lokal setempat (Baca: Orang Liberia), itulah mengapa saat kita masuk menaiki tangga menuju lantai 4, anak tangga dan lorongnya nampak gelap dan agak bau pesing yang kentara jelas menyengat. Juga khas pintu masing-masing apartment yang tidak luput diperkuat dengan grendel atau gerbang pintu besi.

MEMRIHATINKAN -- Kondisi perkampungan pengungsi di kawasan pusat Kota Monrovia yang memrihatinkan. (Pralangga.org)

Entah, apa karena gedung itu tidak dilengkapi dengan penjagaan personel keamanan yang cukup shift-nya atau bagaimana. Kurang lebih seperti rumah tahanan saja si gerbang masing-masing apartment itu kesan-nya.

Bicara soal biaya sewa apartemen, dan bagaimana dia menemukan hunian macam ini panjang lebar diceritakannya. Dengan US$200/bulan dan penerangan listrik dari jam 7pm-7am adalah biaya yang harus dibayarkannya agar bisa bertempat disana. Untuk standard di Monrovia, biaya sewa tersebut adalah cukup murah dengan fasilitas apa adanya (harus terima).

“Buat saya, ini sudah lebih dari cukup, saya sering pulang larut malam dari shift sore, jadi pulang hanya untuk mandi dan tidur saja.. I just need a place to crash and get ready the next morning.. luxury would the one I enjoy back home..” papar Si Mamang. “For me, I am here for 3-4 months with bare-minimum living.. however, the family back home is living in comfort.. and we are currently building our 2nd home..”.

Jelaslah sudah, bahwa pepatah ‘Bersakit-sakit dahulu.. bersenang-senang kemudian‘ sudah menjadi pedoman bagi si Mamang Medhite itu dan secara konsisten ia menjalankannya dan rela memilih gaya hidup ‘paket hemat agak sengsara‘ demi menabung mati-matian membangun di kampungnya.

Sembari ngobrol-ngobrol ngalor-ngidul, si Ondel-ondel ini pun diijinkan untuk bebas menjepret interior apartmentnya, dan inilah hasil jepretan-nya. Bisa dikatakan, hunian rumah indekost atau apartment yang disewanya bukanlah tergolong kelas hunian yang nyaman. Hidung ini pun mulai mabuk menghirup perpaduan antara bau asap dupa (Maksudnya: Lidi aroma yang dibakar dan berasap wangi khas India) dengan bau apek si sofa yang diduduki teman-teman yang datang dan entah seperti bau kelek saat melintas menjepret ruang kamar tidurnya. Meski jendelanya dibuka lebar tetap saja semilir itu semacam bau kelek khas rempah-rempah kari itu santer menyentak saraf penciuman ini. Maka buru-buru deh pergi ngacir keluar dari kamarnya usai jeprat-jepret.

Dalam obrolannya, ia menambahkan dengan senda gurau. “Kamu tahu?, saya memiliki pemandangan indah tiap pagi hari disana…“ – seraya menunjuk pada sebuah pojok tidak jauh dari gubuk-gubuk kumuh itu. “Pemandangan indah sebelah mana?, itu tidak lain dari pemukiman kumuh pengungsi Liberia…“ – kilah si Ondel-ondel ini, namun melihat raut wajah si Mamang Medhite yang terus tersenyum, ia kemudian berkata sembari menggeleng-gelengkan kepalanya khas orang India saat berbicara.

Sejauh pandangan kebawah ini mengamati, pemandangan indah yang cukup mendapat perhatian dan bidikan lensa ini adalah potret muram kehidupan para tuna wisma dan mereka kaum marjinal Liberia yang sudah cukup lama hidup di perkampungan kumuh. “Wait for just few minutes, then you will agree to what I have said…“ – maka kita semua menunggu sambil bertengger di jendela apartementnya yang dibuka seluas-luasnya itu. Dan memang benar.. dalam hitungan menit saat matahari mulai berlindung dibalik cakrawala.. ada sosok berbalut sepotong handuk saja kemudian masuk ke pojok sana.. dan barulah si Ondel-ondel ini kini faham bahwa “pemandangan indah” yang dimaksud si Mamang Medhite itu adalah kamar mandi tanpa atap yang dipakai oleh para penghuni perkampungan pengungsi itu.

Jelaslah dari kejauhan – pemandangan hiburan itu kini bisa dinikmati. Kita semua tertawa lantang saat si empunya handuk mulai dilepas dan digantungkan. Beberapa kopi dan biskuit suguhan ala kadarnyapun habis dinikmati. Hari sudah mulai gelap dan aliran listrik tidak kunjung datang. Sanjay bercerita kadang ia harus menelpon berkali-kali agar listrik di apartmentnya bisa menyala, mungkin karena banyaknya kabel yang harus disambung ulang jika ada yang terputus diantara sambungan antar gedung yang melintas dari sumber. Wah, sungguh kondisi keseharian yang menyengsarakan, kata si Ondel-ondel ini.



Falsafah hemat, tentunya berbeda penerapannya dari satu individu ke berikutnya. Namun, kita semua mungkin masih akan menjumpai mereka yang rela menjalani hidup di rantau dengan menderita agar supaya mampu memberikan jumpstart bagi penghidupan di kampung halaman-nya.

Potret ekstrim lainnya bisa dikatakan cukup baik dilukiskan oleh Mario Doogemsmith. Anak berumur tanggung asli dari Indiana, AS ini memang bertugas di mission ini murni mencari pengalaman dan keriangan. Bisa dikatakan bahwa apa yang diperolehnya dari penghasilan dan tunjangan staff, kurang lebih sukses dihabiskannya untuk biaya hidup selama di mission: Sewa Akomodasi, Biaya Hidup, Jalan-jalan pelesir pada tiap kesempatan cuti RnR, Berlibur, Baju ala fashion dan gadget terkini serta acapkali terlihat nangkring pada beberapa tempat kedai minuman di hotel-hotel di mana expat itu berkumpul… kesemuanya itu kita selalu mendengar dari celotehnya saat duduk bersama makan siang di kafetaria gedung markas besar mission, bahwa bulan lalu ia baru saja usai pelesir ke negara ini dan itu serta dengan semangatnya bercerita bahwa minggu lalu ia baru saja membeli handset ponsel model anyar, dan lain sebagainya.

Masih ingat si Ondel-ondel ini akan kalimat yang pernah disampaikannya secara ceplas-ceplos, saat ada satu kawan yang duduk bersama-sama makan siang waktu itu bertanya apakah ‘menabung’ _ pernah melintas menjadi pertimbangan hidupnya. Dengan rasa Pede ia berkilah,“Wealth is in the mindset.. for me, I got rich by traveling, gaining experience and being able to enjoy… and have some fun …”

Itulah kemudian yang membuat si Ondel-ondel ini tidak lagi pernah menayakan hal serupa kepadanya. Dari sudut pandang kacamata masing-masing individu, tidak ada kata benar atau salah, mengingat apapun yang mereka hasilkan, bila hendak di simpan/tabung atau dihabiskan sekaligus adalah konsekwensi masing-masing pribadi. si Ondel-ondel ini yakin bahwa tiap-tiap dari kita punya skala prioritas yang berbeda dan apa yang menjadi personal enjoyment.

Saat ini dan kedepan, bagi si Ondel-ondel ini: Skala prioritas adalah menabung untuk masa depan anak-anak sembari menikmati kebersamaan secara bijak.

Satu hal yang ia kini hanya merasa bersyukur, kalau tidak ada istri yang berperilaku bak auditor internal, maka tidak ayal ia bisa-bisa bertitelkan:“Gaji Ikan Sepat Pengeluaran Expat”. Ayo, bagaimana dengan ceritamu di belahan ujung dunia di sana…?

bas/*







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya