SOLOPOS.COM - Algooth Putranto (Istimewa)

Gagasan Solopos, Kamis (15/10/2015), ditulis Algooth Putranto. Penulis adalah alumnus Program Pascasarjana Universitas Paramadina dan pernah menjadi Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi Unika Soegijapranata.

Solopos.com, SOLO — Awal pekan ini Kota Solo menjadi saksi sejarah ditetapkannya 12 Oktober sebagai Hari Komunikasi. Penetapan tersebut dilakukan sebagai salah satu rangkaian Konferensi Nasional Komunikasi 2015 yang diselenggarakan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pencanangan Hari Komunikasi di Solo sangat membanggakan karena melengkapi gelar kota ini sebagai rumah bagi wartawan seluruh Indonesia, yang ditandai dengan pendirian Monumen Pers Nasional untuk memperingati Hari Jadi Pers, yaitu hari pertemuan para wartawan seluruh Indonesia dan pendirian Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 9 Februari 1946 yang juga disebut sebagai Hari Pers Nasional.

Tentu saja saya tidak akan membahas alasan mengapa 12 Oktober ditetapkan ISKI sebagai Hari Komunikasi, maaf Nasional, karena tanggal 17 Mei sudah sejak 49 tahun lalu ditetapkan sebagai Hari Komunikasi Sedunia.

Ekspedisi Mudik 2024

Biarlah semangat penetapan tanggal tersebut pararel dengan usaha-usaha memperbaiki kondisi pengajaran Ilmu Komunikasi di perguruan tinggi. Terdapat hal yang pasti tertinggal dan mungkin tak terpikirkan pascaseremoni yang mendapat bantuan dana dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tersebut, yaitu masih kacaunya manajemen pendidikan tinggi (PT) yang tentu saja berimbas pada pengajaran Ilmu Komunikasi.

Mengapa? Bukankah kini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti)yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), sempat juga disebut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendibud), dipisah dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menegah (Dikdasmen) lalu digabungkan bersama Kementerian Riset Teknologi (Kemenristek), yang kini menjadi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi?

Betul, tujuan dari penggabungan itu seperti penjelasan Forum Rektor, saat itu dipimpin Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM)  Pratikno, adalah untuk memperkuat manajemen riset dari kalangan peneliti  lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang tentu saja diharapkan  menghasilkan produk riset berkualitas sekaligus menghemat anggaran.

Usulan yang bukan baru, karena di masa Presiden Soekarno Dikti dan Dikdasmen terpisah, itu kemudian disetujui oleh Presiden Joko Widodo dengan persoalan yang menyertai. Mengapa demikian? Tanpa banyak diketahui, hingga pertengahan 2013 ternyata Dirjen Dikti Kemendiknas baru sanggup meakreditasi dan mereakreditasi 120 perguruan tinggi dari 3.218 perguruan tinggi swasta (PTS), 93 perguruan tinggi negeri (PTN), 614 perguruan tinggi agama negara dan swasta, serta perguruan tinggi negeri kedinasan.

Persoalan itu kian menumpuk, termasuk 5.012 program studi yang proses akreditasi dan reakreditasinya belum diproses. Apa hambatannya? Keterbatasan dana dan jumlah asesor yang dimiliki Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT).

Jika kini marak kabar kampus bodong atau wisuda jadi-jadian, itu merupakan akibat dari keruwetan warisan di masa Kemendiknas. Persoalan semaki bertambah setelah pemerintah dengan semangat membara melakukan alih status sejumlah PTS menjadi PTN.

Sekilas ini sungguh keputusan yang berpihak pada peningkatan kualitas pendidikan tinggi di daerah. Faktual, terdapat dampak dari kebijakan tersebut, yaitu status kepegawaian para dosen dan pegawai PTN baru tersebut.

Mengapa? Rupanya mereka tidak bisa serta-merta menjadi pegawai negeri sipil (PNS) karena bertentangan dengan Undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang membatasi umur pengangkatan PNS yaitu 35 tahun. Jumlahnya? Dari data yang saya dapat ada sedikitnya 4.358 dosen dan pegawai PTN baru yang nasibnya tak jelas. [Baca: Guru Besar]

 

Guru Besar
Hal tersebut diperparah persoalan klasik sistem pendidikan di Indonesia yang belum menempatkan dosen sebagai pekerjaan yang menjanjikan secara finansial dan profesional. Jika dihitung, pendapatan seorang dosen dengan kualifikasi strata dua (S2) jauh lebih rendah dibandingkan pekerjaan di bidang komunikasi, misalnya wartawan pemula berkualifikasi strata satu (S1).

Tak hanya itu, syarat akreditasi untuk mendapatkan nomor induk dosen nasional (NIND) untuk dosen PTN dan nomor induk dosen khusus (NIDK) untuk dosen swasta menyebabkan administrasi yang ditetapkan justru menciptakan kerumitan baru.

Dosen dituntut prima dalam mengajar, mengabdi, dan meneliti sekaligus memiliki cukup waktu menyegarkan intelektualitasnya. Sungguh dahsyat orang-orang yang memilih profesi sebagai dosen.

Akibat dari tidak menarik dan rumitnya pekerjaan sebagai dosen, sejumlah dosen memilih meninggalkan pekerjaan itu. Indonesia mengalami defisit dosen untuk mengabdi bagi 8.649 program studi (prodi) di PTN, PTS, dan lembaga pendidikan instansi.

Itu belum termasuk dosen yang sibuk dengan urusan di luar kampus untuk mengejar kecukupan finansial melalui proyek penelitian hingga berwiraswasta. Cermin dari tidak menariknya dan kerumitan yang membebani dosen Ilmu Komunikasi adalah minimnya jumlah profesor atau guru besar di bidang ini.

Bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan riset ilmu komunikasi di Indonesia jika ternyata hanya memiliki 24 profesor, satu d iantara mereka adalah Profesor Pawito yang mengajar di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.

Dari 24 profesor itu, yang makin menyedihkan ternyata tiga di antara mereka telah masuk status pensiun yaitu Profesor Alwi Dahlan (Universitas Indonesia), Profesor Harsono Suwardi (Universitas Indonesia), dan Profesor Rusdi (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI).

Mengapa profesor Ilmu Komunikasi penting? Hanya profesor yang memiliki kewenangan untuk membimbing calon doktor. Minimnya jumlah profesor artinya minim pula produksi doktor Ilmu Komunikasi di Indonesia.

Di luar persoalan besar tersebut, bagaimana dengan pengajaran Ilmu Komunikasi di Jawa Tengah? Harus diakui, Ilmu Komunikasi adalah program studi (prodi) yang seksi. Mahasiswa berjubel-jubel berebut masuk prodi Ilmu Komunikasi.

Di PTN tentu terdapat keterbatasan daya tampung. Problem PTN ini yang dilihat sebagai peluang bisnis bagi PTS! Untuk wilayah Jawa Tengah saja, sejak 2009 hingga 2014 terdapat 14 PTS yang memiliki Program Studi Ilmu Komunikasi.

Kota Solo punya PTS terbanyak yang menyediakan Program Studi Ilmu Komunikasi, antara lain Universitas Slamet Riyadi, Universitas Surakarta, Universitas Sahid Surakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan satu kampus di Kabupaten Sukoharjo yaitu Universitas Veteran Bangun Nusantara (Univet Bantara).



Bagaimana kualifikasi Program Studi Ilmu Komunikasi di PTS-PTS di Jawa Tengah? Berkutat di kualifikasi B dan C! Bagaimana dengan rasio antara dosen dan mahasiswa? Di luar Universitas Boyolali dan Universitas Peradaban (Brebes) yang belum mendapat satu mahasiswa pun, banyak Program Studi Ilmu Komunikasi yang masuk kategori tidak ideal.

Mengapa? Syarat ideal rasio dosen dan mahasiswa ilmu sosial adalah 1:40. Artinya seorang dosen maksimal mengajar 40 mahasiswa. Yang terjadi ada kampus yang rasio dosen dan mahasiswanya ternyata mencapai 1:99, alias satu dosen mengajar 99 mahasiswa!

Belum lagi, rahasia umum, ada modus PTS meminjam ijazah individu bergelar S2 untuk didaftarkan ke Dirjen Dikti, sementara pemilik ijazah S2 tersebut ternyata sama sekali tak pernah mengajar. Akal-akalan pinjam nama tersebut menjadi cermin sulitnya mencari dosen.

Sulitnya mencari dosen Ilmu Komunikasi bergelar S2 dapat dilihat dari fakta banyaknya dosen di sejumlah kampus di Jawa Tengah yang masih sekadar sarjana (S1). Dari 14 PTS di Jawa Tengah, tercatat masih ada enam kampus yang dosennya hanya lulusan S1.

Yang menyedihkan, dari 14 PTS itu ternyata hanya satu kampus yang memiliki dosen berkualifikasi doktor (S3) yaitu Univet Bantara Sukoharjo! Dengan persoalan-persoalan tersebut, menjadi pertanyaan besar terkait visi dan misi sebuah universitas mendirikan Program Studi Ilmu Komunikasi.

Apakah sekadar mencapai tujuan pragmatis yakni menyediakan tenaga kerja terampil bagi sektor industri? Visi utama universitas adalah untuk mencari veritas (kebenaran), justitia (keadilan), dan libertas (kebebasan).

Meski demikian, tentu saja, sangat positif dicanangkannya Hari Komunikasi Nasional di Solo oleh ISKI. Ini bisa berdampak positif, yakni menjadi momentum perbaikan kualitas pendidikan Ilmu Komunikasi yang semakin jenial namun humanis. Semoga saja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya