SOLOPOS.COM - Bambang Hermanto (Istimewa)

Gagasan Solopos, Selasa (23/6/2015), ditulis Bambang Hermanto. Penulis adalah Ketua Forum Lintas Aktivis Sukoharjo dan bergiat di Omah Tulis.

Solopos.com, SOLORudy, Seno, Wardoyo Mulus. Demikian judul berita Solopos edisi Sabtu (20/6/2015). Tiga orang itu berturut-turut adalah wali kota dan bupati di Kota Solo, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Sukoharjo.

Promosi Tragedi Simon dan Asa Shin Tae-yong di Piala Asia 2023

Mereka juga menjadi calon wali kota dan calon bupati yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam pemilihan kepala daerah di tigadaerah itu pada Desember mendatang.

Mereka tinggal menunggu rekomendasi resmi dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP untuk benar-benar mulus sebagai calon wali kota dan calon bupati untuk tiga wilayah di Soloraya itu.

Nama terakhir adalah Wardoyo Wijaya yang sekarang masih menjabat sebagai Bupati Sukoharjo periode 2010-2015. Tanggal 9 desember 2015 merupakan hari politik pemilihan kepala daerah untuk seluruh Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan.

Wardoyo merupakan calon bupati incumbent untuk berkompetisi merebutkan kursi Bupati Sukoharjo. Ia akan merebut masa jabatan periode kedua. Ia akan menjadi calon bupati Sukoharjo bila telah mendapatkan rekomendasi dari DPP PDIP.

Wardoyo sangat beralasan diunggulkan dalam hitungan politik, bahkan bisa dipastikan akan bisa menduduki kursi bupati kembali dengan hitungan angka kursi PDIP di parlemen daerah Sukoharjo.

Di DPRD Kabupaten Sukoharjo, PDIP mendapatkan 22 kursi. Syarat minimal partai politik di Sukoharjo untuk mengusung calon bupati harus mendapat minimal 10 kursi. Di Sukoharjo hanya PDIP yang bisa memenuhi syarat tersebut.

Satu hal lagi yang membuat PDIP Sukoharjo kian percaya diri adalah sinyal kuat akan bergabungnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai politik yang lain harus berkoalisi bila ingin mengusung calon bupati.

Pada awal Mei 2015 Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang masing masing memperoleh lima kursi di parlemen Kabupaten Sukoharjo akan mengusung calon bupati dan calon wakil bupati, namun dalam proses politik yang berjalan strategi yang dirancang itu mengalami berbagai kendala.

Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PAN Sukoharjo terindikasi dekat atau mendekati Wardoyo sebagai calon bupati incumbent.  Dengan kata lain, PDIP sangat mungkin akan merasa nyaman didukung PAN dan PKB, meski dalam proses politik  strateginya bisa saja berubah hanya dalam hitungan menit.

DPD II Partai Golkar Sukoharjo terbelit masalah internal, masih ribut masalah kepengurusan. kepemimpinan Aburizal Bakrie dan Agung Laksono menjadi diskusi mengasyikkan dalam proses hukum. Di Sukoharjo muncul dualisme kepemimpinan DPD II Partai Golkar, yaitu dipimpin Sugiyarto dan Sarjono.

Koalisi Partai

Setidaknya, hingga pekan ketiga Mei 2015 kepengurusan DPD II Partai Golkar Sukoharjo belum bisa menentukan berkoalisi dengan PAN atau partai politik lain untuk mengusung calon bupati dan calon wakil bupati.

Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang di DPRD Sukoharjo memperoleh lima kursi tampak masih tenang dan landai, belum menentukan harus berkoalisi dengan partai politik mana agar memenuhi syarat minimal mendapar 10 kursi di DPRD Sukoharjo untuk bisa mengusung calon bupati dan calon wakil bupati.

Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Demokrat yang masing masing memperoleh dua kursi di DPRD Sukoharjo juga tampak tenang karena tidak memiliki daya tawar kecuali hanya menjadi partai tambahan bila tidak ingin dikatakan partai pelengkap pengusung calon bupati dan calon wakil bupati dalam sebuah koalisi.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) hanya memiliki satu kursi di DPRD Sukoharjo. Sekalipun hanya memiliki satu kursi, PKS juga tidak bisa dipandang sebelah mata karena punya konstituen di tiap wilayah kecamatan di Sukoharjo. Konstituen ini bisa diberdayakan untuk menggalang dulungan ketika PKS bergabung dengan partai politik atau koalosi partai politik pengusung calon bupati dan calon wakil bupati.

Bila saja Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Nasdem, dan PKS berkoalisi tentu bisa mengusung calon bupati dan calon wakil bupati karena jumlah total kursi di DPRD Sukoharjo memenuhi syarat minimal.

Mampukah empat parpol ini bersatu dalam satu kepentingan: untuk siapa dan mendapat apa? Dari partai politik mana yang diajukan sebagai calon bupati dan dari partai politik mana yang diusung menjadi calon wakil bupati?

Ini tentu menjadi perhitungan tersendiri demi kepentingan di masa depan. Ataukah justru dari koalisi empat parpol tersebut  tidak mengusung calon bupati dan calon wakil bupati? Ada dua kemungkinan, bisa saja calon bupati bukan dari partai politik sementara calon wakil bupati dari partai politik atau sebaliknya.

Ini akan menjadi seni berpolitik yang akan dimainkan para politikus empat partai politik. Dengan demikian, empat partai politik masih bemain dan berhitung untuk mengusung calon bupati dan calon wakil bupati.

Peluang bagi calon bupati dan calon wakil bupati dari jalur nonpartai politik atau independen telah ditutup 16 Mei 2015. Warga Sukoharjo tinggal menunggu hingga pertengahan Juli 2015. Calon bupati dan calon wakil bupati dari PDIP setelah mendapat rekomendasi DPP PDIP akan berkompetisi dengan calon dari gabungan Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Demokrat dan PKS minus PAN dan Partai Golkar.

PAN mempunyai perhitungan tersendiri dan Partai Golkar mempunyai problem internal. Sejauh ini masyarakat Sukoharjo diam, tak begitu antusias merespons pemilihan kepala daerah.  Para politikus di Sukoharjo seakan-akan juga kurang gumregut menggelar strategi.

Mengapa masyarakat Sukoharjo cenderung tak antusia dan para politikus juga tak kelihatan greget mereka? Ada beberapa hal yang mengakibatkan  kondisi demikian. PDIP berada di atas angin dalam pemilihan kepala daerah Sukoharjo.



Para politikus non-PDIP yang hendak berkoalisi kurang bergairah karena banyak hal hal yang menjadi perhitungan, matematis dan nonmatematis. Masyarakat menanggapi pemilihan kepala daerah secara biasa saja seperti halnya pemilihan gubernur dan pemilihan presiden. [Baca: Partisipasi Warga]

 

Partisipasi Warga
Kalau ada wong Sukoharjo yang ingin bersuara atau menyampaikan gagasan demi ikut ambil bagian dalam pemilihan kepala daerah terbentur:  tidak memiliki wadah. Wong Sukoharjo yang ingin berpartisipasi dalam proses pemilihan kepala daerah demi menghasilkan kepala daerah yang berkualitas tak tahu caranya.

Wong Sukoharjo kebingungan harus bagaimana dan dengan cara apa agar pemilihan kepala daerah pada Desember mendatang menghasilkan pemimpin daerah yang diharapkan sesuai kehendak masyarakat secara umum. Akibatnya, secara umum masyarakat akan menggunakan cara mereka sendiri.

Pada 9 Desember 2015 saat wong Sukoharjo memilih calon bupati sesuai harapan mereka, itulah cara termudah bagi mereka untuk berpartisipasi memilih calon kepala daerah dengan harapan masing-masing atau kelompok sangat berbeda.

Sebuah upaya memahamkan masyarakat Sukoharjo tentang ”memilih” calon bupati dan calon wakil bupati harus menjadi perhatian serius. Ini demi mewujudkan pembangunan daerah yang lebih baik daripada hari hari kemarin.

Apakah Wardoyo Wijaya sebagai calon bupati incumbent bila kelak mendapat rekomendasi dari DPP PDIP  akan menjadi tolok ukur sebagai Bupati Sukoharjo 2015-2010? Apakah masyarakat juga memiliki cara memilih atau tidak memilih calon bupati incumbent?

Secara faktual calon bupati incumbent diuntungkan banyak hal, namun setidaknya banyak wong Sukoharjo yang menilai baik dan tidak sedikit pula yang menilai belum baik atas jabatannya sebagaiu Bupati Sukoharjo periode 2010-2015. Tentu penilaian itu menurut tolok ukur individu-individu wong Sukoharjo.

Masyarakat Sukoharjo bebas menilai, entah golongan masyarakat apa dan di mana. Setiap individu, mungkin lembaga, atau instansi wajib berperan aktif dalam pendiikan politik yang baik dan benar demi mendapatkan kepala daerah yang berkualitas.

Apakah akan ada calon bupati boneka dalam proses pemilihan kepala daerah Sukoharjo? Bisa saja terjadi karena pergeseran kepentingan sangat rentan dalam dunia politik. Terlebih para politikus memilki perhitungan sendiri tanpa harus melibatkan konstituennya.

Ada beberapa fakta membuktikan koalisi partai politik atau gabungan partai politik bukan jaminan memenangi pemilihan kepala daerah sekalipun jumlah konstituen/pemilihnya lebih banyak dibanding partai politik pemenang pemilihan umum yang mengusung sendiri calon bupati dan calon wakil bupati, atau bisa juga terjadi sebaliknya.

Bila muncul calon bupati boneka artinya terjadi kemunduran kualitas demokrasi dan politik. Masyarakat Sukoharjo yang menjadi korban permainan manipualtif demikian.

Bila pada pertengahan Juli ada kepastian calon bupati dan calon wakil bupati yang diusung PDIP tidak punya kompetitor, sudah pasti pemilihan kepala daerah akan diundur. Setidaknya masih ada dua kemungkinan, yaitu gabungan partai politik memunculkan dua calon bupati dan calon wakil bupati atau hanya satu calon bupati dan calon wakil bupati.

Pemilihan kepala daerah Sukoharjo mungkin diikuti tiga pasang calon bupati dan calon wakil bupati.  Para politikuslah yang menentukan ada tiga pasang calon bupati dna calon wakil bupati, dua pasang calon bupati dan calon wakil bupati, atau hanya satu pasang calon bupati dan calon wakil bupati. Masyarakat Sukoharjo harus cerdas menghadapi pemilihan kepala daerah dan strategi para politikus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya