SOLOPOS.COM - Anton A Setyawan (JIBI/Dok)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (4/7/2017). Esai ini karya Anton A. Setyawan, doktor Ilmu Manajemen dan dosen di Program Studi Manajeman Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta. Alamat e-mail penulis adalah anton.setyawan@ums.ac.id.

Solopos.com, SOLO–Momentum Hari Raya Idulfitri yang disertai cuti bersama pada akhir Juni lalu berdampak positif bagi perekonomian nasional. Liburan panjang biasanya diisi masyarakat dengan kunjungan wisata sesuai dengan minat dan anggaran mereka.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kota Solo merupakan kawasan yang menjadi tujuan wisata masyarakat yang melakukan aktivitas mudik, baik dari Jakarta, Surabaya, maupun kota-kota besar lain di Indonesia. Salah satu wisata unggulan yang menjadi daya tarik bagi wisatawan atau pemudik di Kota Solo adalah wisata kuliner.

Berbagai tawaran wisata kuliner mulai dari makanan dan jajanan khas Kota Solo sampai dengan menjamurnya tempat nongkrong berupa kafe wedangan menjadikan kota ini ”surga” bagi penikmat kuliner.

Ekspedisi Mudik 2024

Membeludaknya jumlah kunjungan wisata kuliner di Kota Solo pada satu sisi menggairahkan bisnis kuliner di kota ini, namun demikian pada sisi lain momentum ini dimanfaatkan oleh pedagang kuliner untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

Strategi yang diterapkan pedagang kuliner di Kota Solo untuk memanfaatkan momentum Idulfitri adalah dengan menerapkan ”harga khusus Lebaran” yang lebih mahal daripada harga normal.  Penetapan harga yang melebihi normal ini yang kemudian dikeluhkan oleh konsumen.

Fenomena penerapan ”harga khusus Lebaran” yang jauh dari harga normal ini bahkan menjadi viral di media sosial. Keluhan konsumen adalah harga yang ditetapkan oleh pedagang kuliner jauh dari harga normal dan tidak ada pemberitahuan kepada mereka tentang perubahan harga tersebut.

Fenomena tentang ”harga khusus” seperti ini bukan hal yang baru dalam bisnis kuliner. Pada umumnya pedagang kuliner di kawasan wisata juga melakukan ”strategi bisnis” yang sama. Mengapa para pedagang kuliner yang sebagian besar adalah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melakukan ”strategi bisnis” yang justru merugikan mereka dalam jangka panjang?

Sebagian besar para pedagang kuliner ini menjalankan bisnis mereka dengan bermodalkan keahlian mereka tentang produk kuliner (baca: masakan) yang mereka buat, tanpa pemahaman tentang aspek pemasaran dan layanan konsumen.

Selanjutnya adalah: Siklus bisnis mereka menunjukkan pola…

Siklus Bisnis

Mereka mempunyai anggapan bahwa siklus bisnis mereka memang menunjukkan pola yang tidak konstan. Pada saat hari libur dan hari besar mereka mengalami peningkatan jumlah pengunjung yang signifikan.

Hari-hari tersebut dipergunakan sebagai momentum untuk menutup kerugian pada hari-hari reguler yang cenderung lebih sepi, namun dalam jangka panjang ”strategi bisnis” semu seperti ini akan merugikan bisnis para pedagang kuliner tersebut.

Relationship marketing adalah konsep pemasaran modern yang dikembangkan pada dekade 1990-an oleh beberapa konsultan dan peneliti di bidang pemasaran berdasarkan perubahan industri global yang bergerak ke arah bisnis berbasis jaringan.

Relationship marketing adalah sebuah usaha untuk menjaga, memperkuat, dan mengembangkan hubungan pertukaran yang sukses (Morgan dan Hunt, 1994). Ada beberapa elemen dasar dari relationship marketing.

Pertama, konsep janji. Perusahaan yang mampu memenuhi janji sama dengan mencapai kepuasan konsumen, pembelian kembali oleh konsumen, dan keuntungan finansial dalam jangka panjang. Kedua, kepercayaan. Kepercayaan didefinisikan sebagai kesediaan untuk menggantungkan diri pada mitra yang bisa dipercaya (Morgan dan Hunt, 1994).

Definisi ini mempunyai arti harus ada keyakinan bahwa mitra bisa dipercaya sebagai hasil dari keahlian, konsistensi, dan niat. Definisi ini melihat kepercayaan sebagai sebuah perilaku niat atau perilaku yang merefleksikan kondisi menggantungkan diri  pada mitra dan melibatkan ketidakpastian dan kerentanan dari pihak yang dipercaya.

Komitmen

Ketiga, komitmen. Menurut Fullerton (2005), komitmen adalah perasaan keterikatan secara terus-menerus. Komitmen dalam beberapa penelitian perilaku konsumen merupakan konstruk pembentuk loyalitas (Wood, 2002; Fitzgibbon dan White, 2005). Komitmen juga merupakan sebuah konsep dalam menjamin adanya hubungan jangka panjang dengan konsumen (Cooper et al, 2005).

Dalam konteks penguatan strategi bisnis bagi pedagang kuliner di Solo, pemahaman terhadap konsep relationship marketing ini sangat penting. Ada dua hal yang harus dipahami sebagai dasar strategi pemasaran, yaitu para pedagang kuliner harus mempunyai tujuan bahwa bisnis mereka bertahan dalam jangka panjang dan mempertahankan pelanggan lama lebih murah biayanya dibandingkan dengan mencari pelanggan baru.

Faktanya dalam konteks bisnis jasa, pelanggan lama memberikan kontribusi profit 80% dibandingkan dengan pelanggan baru (Stenroos dan Jaakkola, 2012). Dalam praktik pedagang kuliner melakukan tiga hal yang praktis.  Pertama, memperkuat nilai bisnisnya. Nilai bisnis adalah sesuatu yang akan disampaikan pada konsumen, misalnya keunikan rasa masakan atau suasana di warung dan restoran mereka.

Selanjutnya adalah: Nilai sama dengan janji pada konsumen…



Janji Konsumen

Nilai ini sama dengan sebuah janji pada konsumen. Pada saat nilai bisnis sudah ditetapkan, pedagang kuliner harus konsisten menyampaikan nilai bisnis tersebut. Secara teknis hal ini terkait dengan standar kualitas, yaitu bahan baku, rasa, dan cara penyajian.

Kedua,menjaga kepercayaan konsumen. Konsistensi penetapan harga dan standar layanan merupakan elemen penting untuk menjaga kepercayaan konsumen. Ketiga, memperkuat komitmen untuk memberikan layanan terbaik kepada pelanggan. Standar layanan, di dalamnya standar waktu penyajian dan prosedur penanganan keluhan pelanggan, adalah cara praktis sebagai bentuk komitmen terhadap pelanggan.

Masalah penetapan harga produk UMKM memang merupakan masalah tersendiri. Secara teoretis penghitungan harga berdasarkan struktur biaya (yang terdiri atas biaya tenaga kerja, biaya bahan baku, dan biaya overhead) ditambah dengan tingkat keuntungan yang dikehendaki produsen.

Penetapan harga juga memerhatikan segmen pasar serta tingkat persaingan bisnis. Pada dasarnya penetapan harga produk UMKM berada di bawah titik impas. Hal ini terjadi karena sering kali UMKM mengabaikan biaya tenaga kerja, terutama jika pedagang kuliner tersebut tidak mempunyai karyawan atau karyawan berasal dari anggota keluarga.

Harga Khusus

Penetapan harga dengan mengabaikan salah satu komponen biaya berarti para pedagang kuliner tersebut bisa jadi mengalami kerugian. Fenomena ”harga khusus” pada momentum liburan pada produk kuliner di Kota Solo sebenarnya menunjukkan dua hal, yaitu minimnya pemahaman mereka tentang orientasi jangka panjang dalam berbisnis dan perlunya peningkatan kapasitas sumber daya manusia UMKM, terutama jenis usaha kuliner di Kota Solo.

Jika hal ini dibiarkan, dalam jangka panjang pedagang kuliner akan ditinggalkan pelanggan dan hal ini bisa mengancam citra Solo sebagai kota wisata kuliner. Pemerintah Kota Solo harus bergerak cepat menata bisnis kuliner, terutama yang termasuk dalam UMKM.

Kebijakan yang dilakukan bukan dengan penetapan harga, melainkan menyediakan dan memfasilitasi pelatihan dan pendampingan terhadap UMKM kuliner terkait dengan penetapan harga produk dan standar pelayanan kepada pelanggan.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya