SOLOPOS.COM - Kalis Mardi Asih (Istimewa)

Gagasan Solopos, Rabu (25/11/2015), ditulis Kalis Mardi Asih. Penulis adalah peminat bahasa Inggris bergiat di Komunitas Tepi Aksara.

Solopos.com, SOLO — Beberapa waktu lalu saya mengajar “mengaji” anak salah seorang pejabat tersohor di Jakarta. Saya dituntut berbahasa Inggris secara lisan demi mengajar membaca Alquran dan pengetahuan beragama untuk anak berusia di bawah lima tahun (balita).

Promosi Selamat Datang Kesatria Bengawan Solo, Kembalikan Kedigdayaan Bhineka Solo

Ibu si anak meminjami saya beberapa buku bacaan sehari-hari yang biasa dibaca si anak. Ia bermaksud membantu saya mengukur wawasan kognitif anak itu sehingga saya dapat membuat spekulasi materi semacam apa yang harus saya berikan kepada anak usia dini tersebut.

Dalam beberapa hari saya membaca buku cerita bergambar tersebut. Kemasannya luks, sangat atraktif untuk anak-anak sebab full colour, dan desain tata letaknya sangat menarik.

Lebih dari itu, yang membuat saya tercengang adalah ketika saya menyadari bahwa saya, dengan profesi sebagai guru, merasa tidak mudah memahami buku bacaan anak tersebut.

Buku yang secara isi teramat bergizi itu menarasikan petualangan beberapa tokoh ke beberapa negara pusat peradaban tertua seperti Yunani, Mesir, dan negara-negara di Eropa. Buku berbahasa Inggris tersebut sangat tematik. Isi buku itu merangkum pengetahuan sains dan sosial.

Struktur buku tersebut dilengkapi peranti pendukung, seperti memberi warna tertentu untuk technical term serta ragam permainan kebahasaan. Menurut pengakuan si anak, buku tersebut sekadar “hiburan” di luar pelajaran sekolahnya.

Saya kurang percaya macam-macam psikoanalisis tentang bahaya mengajar anak ihwal hitungan atau membaca dalam usia yang terlampau dini.

Saya lebih sering merasa menyenangkan bertemu anak-anak usia rendah namun begitu pandai berkomunikasi, berwawasan tematik skala global, dan mengantongi imajinasi yang di luar jangkauan saya sebagai guru.

Anak-anak ajaib ini adalah gambaran masa kecil ratusan anak-anak ”ekspatriat” yang kini beramai-ramai kuliah di universitas-universitas peringkat atas dunia yang jarang diliput televisi sebab ”kotak bodoh dan membodohkan” di ruang keluarga itu lebih suka meliput manusia yang berubah jadi serigala atau harimau.

Deskripsi di atas adalah sebuah awal. Izinkanlah saya bercerita tentang sahabat-sahabat masa kecil saya di Geti Lama, Halmahera Selatan. Salah seorang kawan karib saya saat ini bertugas di sana dalam program Indonesia Mengajar. Ia memiliki sebuah ikhtiar kreatif agar anak-anak senang menulis.

Ia meminta para murid SDN Geti Lama menulis surat kepada beberapa orang di Jawa (saya salah satunya) ihwal daerah mereka serta bertanya kepada kami bagaimana kondisi di Jawa. Mereka adalah anak-anak yang masih mengalami trauma setelah kerusuhan di Maluku Utara pada 1999-2000.

Desa Geti Lama termasuk sasaran penyerangan kaum muslim ketika mereka menyerang desa-desa berpenduduk nasrani. Teman saya memiliki keinginan agar agenda saling berbalas surat dapat membangkitkan pemahaman tentang persaudaraan dan kemanusiaan dengan sedikit demi sedikit menyembuhkan pandangan anak-anak yang buruk terhadap konflik atas nama agama.

Tanpa bermaksud memandang sebelah mata atau membuat jurang perbandingan yang curam. Saya merasa bersedih hati membaca kiriman surat anak-anak yang saya terima lewat surat elektronik itu.

Tulisan anak-anak kelas V dan VI SD (yang tergolong pelajar kelas tinggi) itu jauh dari rapi dengan susunan kalimat yang sangat sederhana, beberapa bagian tak sesuai kaidah kaidah gramatika.

Butuh ketenangan serta penghayatan untuk membacanya. Mereka bercerita bahwa sehari-hari mereka “hanya” bermain di kebun dan pantai yang masih perawan. Mereka tidak membaca buku dan ingin sekali membaca buku.

Daerah mereka memang tergolong terpencil, butuh waktu sehari semalam untuk pergi ke kawasan kota tempat perpustakaan di kota menyediakan sedikit buku-buku yang layak dibaca. Perjalanan itu harus ditempuh melalui jalur laut.

Saya tidak mengecilkan aktivitas bermain di kebun dan di pantai perawan yang pasti begitu indah. Saya hanya tidak dapat membayangkan daerah-daerah terluar dan terjauh di Indonesia itu kelak hanya kembali didatangi oleh mesin-mesin untuk pembangunan hotel, tempat peristirahatan, dan pusat perbelanjaan sedangkan penduduk lokal diam tanpa perlawanan sebab mereka tak tahu bagaimana cara melawan.

Anak-anak yang hari ini tengah berbalas surat dengan saya bercerita dengan lugu. Sebentar lagi mungkin pendidikan mereka segera terhenti, kemudian melaut, minum arak, terlibat seks bebas, serta menjadi korban-korban konflik para penguasa dan pengusaha. [Baca selanjutnya: Teori Kemiskinan]

 

Teori Kemiskinan
Bukankah seharusnya mereka berhak tahu bahwa sumber daya daerah mereka itu dapat mereka olah sendiri?  Selama ini teori tentang kemiskinan menciptakan dikotomi antara kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural.

Kategori kemiskinan kultural ditujukan bagi mereka yang malas, tidak memiliki kemauan dan kemampuan melihat peluang-peluang yang tersedia untuk mengembangkan diri mencapai kemakmuran.

Singkatnya, kemiskinan kultural bersumber dari dalam diri kelas sosial tersebut. Kategori kemiskinan struktural melibatkan kesalahan alam atau kesalahan kebijakan ekonomi pejabat pemerintahan negara (Rachbini, 2003).

Sekelumit ironi yang saya artikulasikan di atas memaksa kita untuk merekonstruksi ulang posisi dua pilar tersebut. Masyarakat yang mengalami kemiskinan kultural serta sulit berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan mesti dipahami bersumber dari bencana struktural.



Kultur literer, dalam hal ini harus diketengahkan sebagai poin mendesak, adalah pekerjaan rumah yang fundamental bagi anak bangsa. Korupsi kronis yang menyelewengkan dana pembangunan daerah membuat pembangunan mandek bertahun-tahun, pembangunan hanya untuk jalan raya dan bangunan.

Konsep pembangunan tak cukup (atau tak sempat) singgah menilik “konsep” atau “kualitas” sebab masih belum selesai mengurus kebutuhan dasar. Jargon “kota berbudaya literer”, misalnya, adalah sebuah program yang butuh langkah panjang, bukan hanya butuh pengajuan proposal anggaran pembangunan infrastruktur.

Di luar survei United Nations Educational and Scientific Cultural Organization (UNESCO) pada 2012  yang melaporkan indeks membaca masyarakat Indonesia sangat rendah, yakni 0,001, yang berarti hanya satu dari 1.000 orang masyarakat Indonesia membaca buku,  tak boleh hanya ditinjau secara kultural namun juga harus secara struktural.

Di kota-kota di Eropa yang penduduknya berminat baca tinggi, seperti Turki dan Praha, perpustakaan atau museum tokoh literer dengan konsep audio-visual-teks yang berisi buku-buku begitu mudah ditemukan hingga di setiap kota-kota terpencil.

Di Rusia kita akan dengan mudah menemukan museum tentang Gorky, Dostoyevsky, Tolstoy, atau Chekov. Akses terhadap buku di perpustakaan nasional bermutu dan mutu itu merata hingga ke perpustakaan-perpustakaan skala daerah. Sebuah hak dasar yang tampak sulit diraih oleh anak-anak Indonesia.

Pada peringatan ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sekaligus Hari Guru Nasional, 25 November, saya mengajak kawan-kawan yang bergiat di bidang pendidikan untuk menyadari hal ini. Sebuah bangsa yang melek budaya keberaksaraan barangkali jauh panggang dari api.

Guru dapat mewujudkannya mulai dari diri sendiri. Guru harus mencintai buku, mendongeng, serta menulis untuk anak didik mereka. Semoga tak ada lagi guru yang mengajar ilmu-ilmu lawas dan ketinggalan konteks zaman sebab tertinggal arus bacaan 15 hingga 20 tahun.

Semoga program Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan untuk menghadirkan perpustakaan di dinding-dinding ruang kelas tak  sekadar program. Tentu tonggaknya ada pada guru. Budaya literer adalah kunci!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya