SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Jakarta

 

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pengaturan upah minimum kini memasuki babak baru. Pada  27 September lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani instrumen yang lebih bersifat instruksional ketimbang regulatif (norma baru), yaitu Instruksi Presiden (Inpres) No. 9/2013.

Dalam sejumlah klausulnya terpatri jelas susbtansi (mandat kerja) dan tertera pasti subjek (pemangku kerja) seperti Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan para kepala daerah (bubernur dan bupati/walikota).

Sejumlah pejabat itu diharuskan mengambil langkah-langkah yang perlu sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan mereka. Saya mencatat dua subjek jabatan yang penting dicermati. Pertama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans). Menakertrans wajib menjalankan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan nasional dengan beberapa ketentuan.

Ketentuan tersebut adalah upah minimum didasarkan pada kebutuhan hidup layak (KHL), produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi; upah minimun provinsi/kabupaten/kota diarahkan kepada pencapaian KHL; dan untuk daerah yang upah minimumnya masih berada di bawah nilai KHL, kenaikan upah dibedakan antara industri padat karya tertentu dengan industri lainnya.

Ketentuan lainnya adalah kenaikan upah pada provinsi dan/atau kabupaten/kota yang upah minimumnya telah mencapai KHL atau lebih, ditetapkan secara bipartit antara pemberi kerja dan pekerja dalam perusahaan masing-masing. Kedua, para gubernur menetapkan upah minimum sesuai kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan nasional berdasarkan KHL, produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Sejatinya, jenis upah regional yang didorong adalah satu kesatuan upah pada level provinsi yang ditetapkan secara serentak setiap 1 November. Namun, ruang bagi kabupaten/kota tetap dibuka, berdasar standar provinsi bupati/walikota menyampaikan rekomendasi kepada gubernur untuk ditetapkan.

Mencermati isi maupun konteks dinamika kelahiran Inpres tersebut, jelas tak terlihat esensi pengaturan baru atau norma tambahan atas apa yang sudah diatur UU No. 13/2003 dan regulasi turunan lainnya baik perihal mekanisme penetapan maupun perlindungan upah. Yang diatur sesungguhnya suatu penegasan atas apa yang sudah diatur dan dorongan bagi enforcement agar penerapannya efektif.

Pengaturan keterlibatan Polri terasa sebagai penegasan normatif saja, yakni sesuai garis tugasnya sebagai aparat hukum dan keamanan, bukan untuk memengaruhi penyusunan substansi keputusan. Bukan pula dalam kerangka mengemban peran sebagai alat kapital untuk memberangus aspirasi buruh/pekerja.

Dalam pembacaan demikian, jelas aneh ketika muncul protes sejumlah pihak lantaran Inpres No. 9/2013 tidak membawa suatu muatan aturan baru sehingga diskusi dan polemik yang sifatnya substantif tidaklah tepat dialamatkan kepada kehadiran Inpres ini. Saya mencatat sejumlah penegasan ulang.

Pertama, keseimbangan antara sisi bisnis dan pekerja (KHL) dalam penetapan dan/atau kenaikan upah. Inpres ini, misalnya, tidak sedang merenegosiasi 60 komponen KHL yang dipakai sebagai basis formulasi upah, bahkan malah mempertegas posisi KHL sebagai acuan.

Layaknya suatu bejana, jika KHL dipertegas maka dalam rangka menjaga keseimbangan yang inklusif dan sustainable, sisi dimensi produktivitas dan keberlangsungan usaha perlu direposisi ke titik proporsional.

Kedua, Inpres baru ini merupakan instrumen penataan kembali para pihak (otoritas) yang terlibat dalam penentuan upah dan penguatan pola tripartit. Selama ini rekomendasi Dewan Pengupahan gampang diabaikan kepala daerah, sering tanpa alasan otentik. Rekomendasi hanya dilihat sebagai usulan, boleh diambil atau bahkan dibuang.

 

Urusan Wajib Daerah

Padahal perwakilan semua unsur (tripartit plus) ada di sana sehingga sejatinya lebih bisa menjamin suatu model kebijakan yang berdasarkan konsensus, representatif, dan proses kerja penentuan rekomendasi yang relatif objektif.

Misi penataan yang diusung Inpres No. 9/2013 adalah meredam politisasi yang lebih sering menjadi ciri pengambilan kebijakan publik di daerah, yang pada sisi lain justru secara telanjang mencederai semua proses konsensus/representasi dalam cara kerja Dewan Pengupahan. Logika ”politik berkonstituen” dalam era pemilihan kepala daerah membuat kepala daerah kerap melihat gerakan buruh dalam kacamata (kalkulasi) rasional politik: kantong suara.

Atau sebaliknya, tekanan massa yang anarkistis dapat membuat nyali seorang kepala daerah ciut sehingga keputusan yang diambil pun ”dibajak” agenda/kepentingan yang didesakan dari luar jalur Dewan Pengupahan. Inpres baru ini hendak memberi katup pengaman atas politisasi yang tajam dan cenderung liar oleh para bupati/walikota dengan lebih mendorong suatu model ”satu atap” berupa upah regional (provinsi).

Kalau pun di level kabupaten/kota ada variasi upah, acuannya adalah upah provinsi dan proses penentuan tetap berada di tangan gubernur. Hal ini faktanya sudah menjadi mekanisme baku selama ini, namun suatu penegasan akan determinasi otoritas gubernur tampaknya perlu dilakukan secara aksentuatif dan eksplisit.

Selain itu, Inpres ini juga menegaskan peran lebih luas kepala daerah dari semata perkara upah menjadi pembinaan dan pengawasan tenaga kerja, serta dukungan anggaran untuk Dewan Pengupahan. Hal ini sesungguhnya masih minimalis karena kalau mengacu kepada mandat daerah dalam urusan tenaga kerja, Inpres ini mestinya lebih mempertegas pemenuhan urusan wajib atas program pengembangan usaha dan peningkatan produktivitas pekerja, penciptaan hubungan industrial, dan peningkatan kesejahteraan buruh melalui instrumen nonupah di mana pemerintah daerah memiliki bekal (fiskal) yang dilimpahkan pemerintah pusat (UU No. 32/2004 dan PP No. 38/2007).

Tulisan ini jelas menyadari kondisi kesejahteraan buruh/pekerja masih jauh dari memadai. Pengeluaran riil buruh selalu lebih tinggi dibandingkan margin kenaikan upah nominal yang mereka terima. Namun, jika ditempatkan dalam horizon kepentingan luas dan ke depan (berkelanjutan), pencarian titik imbang jelas makin mendesak hari ini.

Lonjakan upah yang membuat perusahaan sulit bernapas atau bahkan terancam bangkrut justru menjadi bumerang bagi semua kalangan, termasuk  kehidupan buruh itu sendiri. Politisasi oleh kepala daerah, termasuk memanipulasi isu  politik upah murah, menunjukkan mereka lupa akan urgensi keseimbangan perusahaan dan keberlanjutan hidup buruh maupun perluasan kesempatan kerja yang baru.

Bahkan, kewajiban konstitusional penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan rakyat jelas berada di pundak pemerintah, termasuk pemerintah daerahj yang sudah mendapatkan pelimpahan bidang ketenagakerjaan sebagai urusan wajib daerah. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya