SOLOPOS.COM - Danang Muchtar Syafi’i be_muhtar@yahoo.com Bergiat di Korps Mubalig Mahasiswa Muhammadiyah Soloraya Universitas Muhammadiyah Surakarta

Danang Muchtar Syafi’i  be_muhtar@yahoo.com  Bergiat di Korps Mubalig Mahasiswa Muhammadiyah Soloraya Universitas Muhammadiyah Surakarta

Danang Muchtar Syafi’i
be_muhtar@yahoo.com
Bergiat di Korps Mubalig Mahasiswa Muhammadiyah Soloraya Universitas Muhammadiyah Surakarta

Kata dan laku memungkinkan mengundang sensitivitas, sekalipun yang berkata dan bertingkah laku adalah seorang ulama. Kini, masyarakat lebih sensitif dalam menilai ulama. Sikap sensitif itu bisa diarahkan sebagai kontrol sosial. Saya kira Muhammad Milkhan dalam esainya, Ulama dan Kemewahan, di Solopos edisi Jumat (20/9) punya maksud ke arah itu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sementara, Ajie Najmuddin dalam esainya, Ulama Tak Harus Miskin, di Solopos edisi Jumat (27/9)–sebagai tanggapan untuk Muhammad Milkhan–menyadarkan kita bahwa ulama juga manusia. Tak ada larangan ulama kaya raya. Namun, dalam diskusi ini tentu yang dimaksud bukan ulama palsu (su’), melainkan ulama tulen (akhirat).

Ajie luput memperhatikan bahwa eksistensi ulama akhirat sejatinya hanya tampak dengan kriteria utama: berhati-hati. Kriteria utama yang harus dimiliki oleh seorang ulama, selain mendalam ilmunya (ar-rasikhuna fil ‘ilm), juga harus memiliki sikap hati-hati, tidak sembrono.

Seorang ulama harus selalu berhati-hati karena dia adalah panutan. Apa yang dia ucapkan dan dia lakukan akan berdampak luas. Sejatinya sikap tidak sembrono itu merupakan manifestasi ketakwaan dan ibadah secara bersungguh-sungguh kepada Allah SWT.

Kriteria hati-hati ini wajib dimiliki ulama (akhirat). Ulama mempunyai kedudukan tinggi di tengah masyarakat. Ulama dihormati dan disegani. Kedudukan yang tinggi itu tidak dapat dilepaskan dari janji keutamaan yang diberikan Nabi Muhammad SAW: seperti keutamaan bulan purnama dibanding bintang-bintang lainnya dan menjadi pewaris para nabi.

Sejarah panjang umat ini telah mendokumentasikan berbagai sepak terjang para ulama di masanya masing-masing, baik yang menunjukkan sikap sembrono atau yang dengan kehati-hatian. Sebagai contoh bisa kita telaah kehidupan dua t ulama yang hidup di masa pemerintahan Islam di Andalus (Spanyol) al-Mu’ayyad (abad 4 H/ 10 M).

Pertama, Syaikh Fauwaz, seorang hakim agung. Kedua, Syaikh Fasyi, seorang imam Masjid Cordova. Kedua tokoh ini sama-sama bermazhab Maliki. Namun, sejarah mencatat Syaikh Fauwaz selain fanatik dengan mazhab Maliki juga cenderung sembrono dalam menjualbelikan fatwa demi menyenangkan penguasa ketika itu.

Sedangkan Syaikh Fasyi dikenal sebagai ulama yang zuhud dan berkomitmen terhadap kejernihan pikir dan zikir. Kita perlu mengingat bahwa kemewahan ulama-umara sering kali menjadikan spiritualitas agama sebagai sistem simboliksuntuk menafsirkan tata dunia yang serba moncer. Pada titik inilah ulama yang sekaligus berperan sebagai umara akan tergoda oleh gemerlap politik.

Hal ini terjadi karena rasionalisasi tata dunia menancapkan keyakinan psikis dan terwujud dalam simbol faktual, seperti mobil mewah, sangat bisa mengarah pada ”yang politik”. Artinya, rasionalitas tata dunia kemudian bisa dimaknai sebagai pembentukan suatu psikis politik yang hendak memengaruhi emosional para ulama: ulama tulen atau ulama su’.

Keyakinan psikis ulama dalam memahami agama (Islam) seharusnya tidak berujung pada keharusan pencapaian kemewahan, atau lebih parah lagi ke arah sarwa politik. Jika sudah demikian, mentalitas ulama cenderung menuju pada peniadaan diri (self annihilation). Kesungguhan memenuhi (ekonomis) sehingga melalaikan yang pokok dari amanat seorang ulama merupakan bukti rabunnya mata hati.

Ini juga terjadi misalnya pada satu ajaran sufisme, seperti termaktub dalam al-Hikam karya Ibn ‘Athaillah: Kesungguhanmu mengejar apa yang telah ditetapkan untukmu, dan kelalaianmu atas apa yang diwajibkan atasmu, merupakan penanda bagi rabunnya mata batinmu.

Otoritas Negatif

Ulama memiliki otoritas keagamaan, karena samudera keilmuan agama yang bermanfaat bagi umat yang mereka kuasai. Ulama kemudian menjelma menjadi patron moral; tempat masyarakat mencerminkan persoalan hidupnya.

Dalam posisi ulama, otoritas diperoleh karena kualitas intelektual dan moral; teladan. Namun, harus diakui ulama sebagai manusia biasa tetap tak terhindarkan dari tindak kejahatan. Ulama masih sangat rawan terkena dosa-dosa besar; misalnya dosa besar akibat korupsi.

Penguasa selalu ingin merangkul dan memberi ”iming-iming” kepada mereka sebagai penyangga kekuasaan politik. Yang merepotkan adalah ketika ulama yang menyandang label keagamaan terjerat tindak korupsi maupun kejahatan lainnya. Masyarakat merasa ikut terluka. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan kepada ulama.

Ulama memang tak sepenuhnya berperan dalam memberantas korupsi. Korupsi mayoritas terjadi di wilayah birokrasi pemerintahan, dan aktornya pun para pejabat negara. Merekalah yang lebih mendapat tugas dan memiliki legalitas mengatur administrasi pemerintahan serta keuangan negara. Peran ulama berada di luar itu.

Ulama tidak memiliki legalitas untuk mencampuri administrasi negara. Mereka hanya bisa menyampaikan nasihat, khotbah, dan teguran moral, tetapi para ulama bukan eksekutor bidang hukum dan administrasi pemerintahan.

Meski demikian, untuk menguatkan peranannya, ulama harus ikut berjuang memberantas korupsi dengan keteladanannya; minimal mampu memberikan inspirasi kepada umat untuk tidak jadi koruptor. Sebaliknya, jika ulama tidak berhati-hati dalam mengucap dan bertindakan maka otoritas ulama yang menjadi harapan masyarakat dalam menyelesaikan persoalan umat akan bergeser ke arah negatif.

Pergeseran otoritas keagamaan Islam menjadi penanda krisis kepercayaan umat. Krisis kepercayaaan ini sulit diobati apabila ulama tidak menjaga tanda-tanda keulamaannya. Mutohharun Jinan (pembina Pondok Hj. Nuriyah Shabran) dalam risetnya yang berjudul The Impact of New Media on The Shift of Islamic Religious Authority: An Experience in Contemporary Indonesia menerangkan kepercayaan umat terhadap ulama kian terkikis, terlebih semakin canggihnya new media.

Kondisi ini memungkinkan terciptanya lingkungan sosial baru yang melegitimasi tindakan secara sendiri-sendiri tanpa memperhatikan ilmu dan nasihat ulama. Keberadaan ulama menjadi malafungsi. Implikasi lebih lanjutnya adalah krisis kepercayaan umat yang menunjukkan betapa desentralisasi agama sudah sangat jauh dan tak terkendali.

Pengaruh ulama yang begitu luas dalam masyarakat menjadi daya tarik (inspirasi) tersendiri bagi umat untuk menjadi manusia yang beradab. Di sinilah kualitas ulama akan teruji, apakah ia akan mampu bersikap hati-hati dengan fenomena kemewahan dunia, atau sembrono dalam menujukkan keberadaannya. Pilihan itu akan dinilai oleh masyarakat dan menjadi nilai untuk kualitas kealimannya.

 

 



 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya