SOLOPOS.COM - Ahmad Roafik (Istimewa)

Gagasan Solopos, Rabu (16/3/2016), ditulis Ahmad Rofik. Penulis adalah pengurus Departemen Pemberdayaan Pedesaan Ikatan Keluarga Alumni Universitas Sebelas Maret dan aktif di Pusat Telaah Informasi Regional.

Solopos.com, SOLO — Masyarakat desa ibarat anak tiri dalam ingar-bingar pelaksanaan UU Desa.  Alih-alih memberikan alokasi anggaran untuk pemberdayaan masyarakat, kebijakan terbaru dana desa justru sepenuhnya dialokasikan untuk infrastruktur.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kesejahteraan masyarakat desa selalu ”diperdagangkan” oleh pembuat kebijakan, namun tak banyak yang serius memosisikannya sebagai pilar pelaksanaan UU Desa.

Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar, pada 2016 ini merangkul semua kalangan dalam kerangka menyukseskan implementasi UU Desa.

Tiga ”regu kerja” dibentuk, yaitu Satuan Tugas Dana Desa, Forum Perguruan Tinggi Desa Membangun Indonesia, dan Kelompok Kerja Masyarakat Sipil Desa Membangun Indonesia (Pokja Desa).

Sebentar lagi Pokja Desa akan dikukuhkan.  Seberapa mendesak kebutuhan pokja ini bagi masyarakat desa sehingga mesti dibentuk secara khusus? Masyarakat desa sebagai salah satu pilar pelaksanaan UU Desa masih dalam kondisi memperihatinkan.

UU Desa menempatkan masyarakat sebagai subjek yang diharapkan mengembangkan tradisi masyarakat madani yang otonom dalam kehidupan bersama untuk berkreativitas dan berinovasi (Jimly: 2014), namun kenyataanya masyarakat desa menunjukkan sejumlah ketidakmampuan.

Pertama, ketidakmampuan berpartisipasi secara politik untuk memperbaiki tradisi berdesa.  Tradisi berdesa adalah kebiasaan masyarakat menggunakan desa sebagai institusi yang abash serta mempunyai otoritas dan akuntabilitas dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat (Sutoro, 2015).

Tradisi berdesa ini disumbang oleh tingkat partisipasi masyarakat secara politik dalam tata kelola desa, di antaranya kemampuan melahirkan pemimpin desa yang memiliki integritas dan keberpihakan yang nyata kepada masyarakat desa.

Tingkat partisipasi tertinggi, menurut Alexander Abe (2001), adalah keterlibatan dalam melaksanakan kebijakan dan mendapatkan manfaat pembangunan secara berkeadilan. Saat ini hanya sebagian partisipasi masyarakat desa yang mencapai keterlibatan dalam proses penentuan arah kebijakan.

Kenyataannya, dalam berbagai kejadian, pemerintah desa yang semula berjalan berdasarkan kepemimpinan atas mandat rakyat berubah menjadi tidak berdaya dan bahkan bisa menjadi perpanjangan tangan dari aktor-aktor (politik dan ekonomi) di luar desa dalam perebutan sumber daya (Saragih: 2016).

Kerentanan terhadap praktik korupsi dalam pengelolaan sumber daya desa dan maraknya politik uang menjadi ancaman tradisi berdesa. Kedua, ketidakmampuan mengakses potensi sumber daya di lingkungan mereka untuk peningkatan kesejahteraan.

Dari 74.754 desa di Indonesia baru 12.300 desa (16,4%) yang mampu mengidentifikasi potensi ekonomi dan mendirikan badan usaha milik desa (Kemendesa: 2016). Potensi desa justru dikuasai oleh pihak di luar desa.

Penguasaan hutan oleh kalangan swasta didominasi oleh 531 pemegang konsesi yang tersebar di 31.951 desa (Center for International Forestry Research/Cifor, 2004).  Perusahaan ini menguasai 35,8 juta hectare hutan, sementara perhutanan sosial yang dikelola masyarakat hanya 646.476 hektare.

Dalam pengelolaan air, privatisasi terjadi di mana-mana.  Di sisi lain, 15.775 desa berstatus rawan air dan 1.235 desa berstutus kering (Badan Pusat Statistik/BPS, 2014). Apa yang akan terjadi ketika ketidakmampuan menguasai desa?

Akhir September 2015 kita dikagetkan dengan terbunuhnya Salim Kancil, petani penolak tambang pasir di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Salim dianiaya di depan anak bungsunya, di halaman rumahnya.

Salim tewas di hutan sengon, tak jauh dari rumahnya. Ini adalah salah satu contoh ketidakmampuan masyarakat desa berhadapan dengan pihak luar dan ketidakmampuan pemerintah desa mengayomi masyarakat. Masyarakat desa menjadi korban.

Ketiga, ketidakmampuan mengakses dan memengaruhi kualitas pelayanan publik, bukan hanya pelayanan dasar (kesehatan dan pendidikan), namun juga pelayanan energi untuk memenuhi kebutuhuhan ekonomi.

Pada 2016, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan 12.669 desa (16,9%) tak teraliri listrik selama 24 jam dan 2.519  desa  (3,4%) sama sekali belum teraliri listrik.

Ketiadaan pasokan listrik yang memadai menghambat aktivitas ekonomi di desa dan berdampak tidak berkembangnya sektor industri olahan rakyat berbahan lokal (Saragih: 2016).  Dalam hal pelayanan ekonomi, 56% umah tangga tani hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare lahan.

Itu artinya kepemilikan tanah sebagai modal kerja tidak lagi menopang kehidupan yang wajar. Selama 2003-2013 ada 5,1 juta rumah tangga tani yang meninggalkan sektor pertanian (Badan Pusat Statistik/BPS, 2013). [Baca selanjutnya: Tugas Pokja Desa]Tugas Pokja Desa

Partisipasi masyarakat desa kadang-kadang tersandera oleh ketidaksiapan pemerintah dan pemerintah daerah. Walau sudah mendapatkan kewenangan mengelola desa dalam skala lokal, pemerintahan desa masih membutuhkan pedoman dari pemerintah di atasnya.

Lambannya penyampaian dan sosialisasi regulasi yang diterbitkan pemerintah maupun pemerintah daerah menjadi alasan aparatur pemerintah desa tidak bisa segera merespons kebutuhan masyarakat desa.

Pokja Desa sebagai mitra strategis pemerintah dalam mengimplementasikan UU Desa, terutama dalam penguatan masyarakat desa, selayaknya mendedikasikan fungsinya dalam empat agenda prioritas.



Pertama, mengembangkan model kerja sama dengan pemerintah untuk merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi rencana kerja strategis yang memiliki daya ungkit bagi penguatan masyarakat desa.

Ruang lingkupnya meliputi bidang agraria dan tata ruang, ekologi, pemberdayaan perempuan, peningkatan kualitas pelayanan publik, pengakuan masyarakat adat, pengembangan desa inklusi, lumbung ekonomi desa, penguatan demokrasi desa, dan pemanfaatan teknologi informasi.

Kedua, memperkuat dialog kebijakan implementasi UU Desa,  yaitu menjembatani antara pembuat kebijakan dengan masyarakat dan komponen masyarakat sipil yang bekerja di desa dan supradesa.

Pokja Desa menditribusikan informasi secara timbal balik antara kubutuhan riil dan fakta-fakta riil dengan kepentingan penyusunan kebijakan. Ketiga, mengembangkan model pengelolaan pengaduan.

Pengaduan masalah, baik dari masyarakat, pemerintah desa, mapun dari pemerintah daerah, perlu mendapatkan respons yang cepat.  Hal itu untuk memastikan partisipasi masyarakat yang selama ini mendapatkan hambatan berjenjang dapat segera teratasi.

Keempat, mengawal agenda reformasi agraria berbasiskan desa. Banyaknya kasus konflik agraria di desa, terutama di luar Jawa, menjadi salah satu penyebab kemiskinan yang terus-menerus melanda desa karena mayarakat desa tidak memiliki lahan sebagai modal untuk berproduksi.

Reformasi agraria tidak hanya terbatas pada redistribusi kepemilikan lahan, namun juga pemanfaatan lahan dan tata kelola serta tata niaga komoditas yang dihasilkan dari pertanian di desa.

Empat agenda prioritas tersebut untuk menguatkan masyarakat desa sehingga mampu menciptakan tradisi berdesa yang kuat, mampu mengakses sumber daya desa, dan mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik.

Tanpa kemampuan tersebut jangan berharap masyarakat desa menjadi pelaku dalam tatanan masyarakat madani, sebaliknya masyarakat desa akan selalu ”diperdagangkan” bahkan oleh pemimpin komunitas mereka sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya