SOLOPOS.COM - Ahmad Naufel (Istimewa)

Gagasan Solopos, Kamis (19/11/2015), ditulis Ahmad Naufel. Penulis adalah peneliti di Pusat Studi Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — Serangan teror—penembakan dan bom bunuh diri—secara simultan di Paris, Prancis, pada 13-14 November 2015, yang menewaskan tak kurang 150 orang menyedot perhatian dunia untuk bersimpati dan menyeru pray for Paris.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Negara-negara di dunia tiba-tiba dirajut dalam simpati kolosal. Sesaat setalah tragedi berdarah di Paris, Presiden Prancis Francois Hollande menyatakan teror itu sebagai pernyataan perang.

Mengapa dunia begitu terbelalak dan seolah-olah ditarik dalam pusaran duka setelah tragedi itu? Di belahan dunia lain, yang diasumsikan sebagai negara dunia ketiga, setiap hari kecemasan dan prahara menghantui warganya.

Suriah, Irak, Yaman, Lebanon, Palestina, dan Somalia menjadi wilayah yang tidak pernah lepas dari konflik berdarah. Lantas, di manakah simpati kita? Mengikuti pendapat Edward W. Said dalam Orientalism (1978), Prancis di titik ini adalah Barat dan berposisi sebagai subjek.

Subjek harus stabil, sedangkan negara dunia ketiga sebagai objek yang lain, tak perlu dihiraukan. Segala sesuatu yang terjadi pada yang lain dengan demikian tidak begitu memberikan efek kejut pada dunia.

Instabilitas yang mengguncang kawasan Timur Tengah adalah serpihan pengaruh dari subjek demi menjaga stabilitas di wilayahnya sendiri. Tragedi Paris kian meneguhkan garis demarkasi antara Barat sebagai subjek yang superior dan negara-negara pascakolonial sebagai objek yang inferior.

Ironi di Paris memberikan afirmasi bahwa Barat harus identik dengan perdamaian dan tanpa harus peduli dengan apa yang terjadi di negara-negara yang berposisi objek yang lain.

Titik kulminasi hegemoni subjek terhadap objek terpancar dari intervensi Barat atas konflik di Timur Tengah. Jika hendak menghitung-hitung, invasi mereka untuk menghancurkan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) bersifat problematik dan kontradiktif karena masyarakat sipil yang tak punya dosa juga menjadi korban ambisi mereka.

Mengapa kekuatan militer mereka yang begitu dahsyat tak mampu mengalahkan militan-militan ISIS yang kekuatannya hanya secuil dari kekuatan mereka?

George W. Bush sesaat setelah tragedi 11 November 2001 pernah melontarkan argument either you are with us or you are with the terrorist. Secara implisit argumen ini hendak menyatakan bahwa dunia berada dalam posisi bipolar, yang menandakan babak baru pertarungan antara kekuatan baik dan kekuatan jahat.

Barat adalah representasi kekuatan baik yang harus melawan teroris sebagai kekuatan jahat. Persoalannya, negara-negara objek yang lainlah yang dipersepsikan sebagai episentrum tumbuhnya terorisme.

Stabilisasi di Barat sejatinya menyimpan negasi, meski agak samar-samar. Demi perdamaian di negerinya, mereka (Barat) malah dilanda kecemasan terhadap objek yang lain. [Baca: Persoalan Fundamental]

 

Persoalan Fundamental
Sebagian kalangan dengan emosional justru terperosok dalam Islamophobia. “Islam is not religion of peace, ujar Sam Harris, penulis buku The End of Faith dalam akun Twitternya.

Getaran efek domino tragedi di Paris akan sangat terasa bagi pengungsi dari Timur Tengah yang dalam beberapa bulan terahir jumlahnya sangat signifikan.

Eropa tentu waswas menerima para pengungsi karena bisa saja sel gerakan ISIS memasuki wilayah Eropa dengan jalan yang demikian, membaur dengan pengungsi.

Eropa dipilih sebagai wilayah tujuan pengungsi tak lepas dari konstruksi bahwa di Baratlah bersemayam perdamaian. Meskipun persoalan ini juga tidak lepas dari keengganan negara di Timur menerima pengungsi.

Sekalipun pengungsi diterima, namun mendapat perlakuan diskriminatif, tentu akan menimbulkan frustrasi dan memantik gelora radikalisme dalam diri mereka.

Organisasi radikal yang geraknya kian diasporik dengan memanfaatkan medium dunia maya akan mudah memancing siapa saja yang frustrasi karena mendapat diskriminasi dalam realitas kehidupan.

Sikap negara yang mengeksklusi kelompok-kelompok minoritas berpotensi besar menimbulkan gerakan radikal. Persoalannya tidak semata ideologis melainkan demi penegasan diri.

Mereka yang terdiskreditkan akan mudah bergabung dengan gerakan radikal demi orientasi penegasan diri dan misi balas dendam. Fenomena Muhammed Emwazi, seorang berkebangsaan Ingris, adalah contoh konkretnya.

Tragedi di Paris menyisakan anasir tentang tercerabutnya rasa kemanusiaan. Meskipun Barat sebagai subjek namun juga berposisi yang lain di hadapan pelaku teror.

Mereka yang dilanda kecemasan akut terhadap Barat (occidentophobia) cendrung akan bersikap agresif untuk menjaga eksistensinya. Agresivitas itu terjadi karena keengganan untuk saling mengenal.



Jadi, ada blokade yang membatasi ruang komunikasi antara subjek dengan yang lain. Operasi besar-besaran Barat melawan ISIS dan tragedi di Paris juga menujukkan ihwal tentang ketakutan.

Patologi terorisme harus dilenyapkan dan superioritas Barat sebagai subjek perlu diinstabilisasi. Inilah kulminasi dari sebuah sikap yang egoistik.

Kemudian yang terjadi adalah konstruksi-konstruksi yang menghalalkan brutalitas. Bagi para penganut gerakan garis keras, brutalitas itu dipersepsikan sebagai sesuatu yang transenden demi upah surgawi.

Mircea Iliade menyebutnya sebagai narasi nostalgia atas surga. Sementara Barat beranggapan bahwa operasi militer mereka demi tujuan humanisme dan keselamatan umat manusia.

Dtilik dari aspek historis-genealogis, ISIS muncul sebagai rentetan konsekuensi invasi ilegal Amerika Serikat terhadap Irak pada 2003. Kebencian yang dilawan dengan kebencian hanya akan melahirkan bibit-bibit kebencian baru.

Tindakan persuasif-preventif adalah syarat mutlak untuk menghentikan denyut nadi kebencian. Kehadiran negara dalam kelompok-kolompok minoritas dan marginal sangatlah penting untuk mendayagunakan mereka demi kepentingan negara.

Tak perlu ada superioritas-inferioritas dan juga tak ada subjek-objek agar riak Islamophobia dan occidentophobia pudar seiring dengan pola komunikasi yang intersubjektif demi perdamaian. Sejatinya kekuatan ISIS hanya bisa direduksi dengan defisit simpatisan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya