SOLOPOS.COM - Didik G. Suharto (Istimewa)

Gagasan Solopos, Rabu (22/7/2015), ditulis Didik G. Suharto. Penulis adalah Kepala Program Studi Magister Administrasi Publik Universitas Sebelas Maret dan konsultan penyusunan raperda mengenai desa.

Solopos.com, SOLO — Mulai tahun ini, secara bertahap, dana desa meningkat signifikan. Hingga pada tahun anggaran 2017 mendatang pengalokasian anggaran dana desa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sudah mencapai 10% dari anggaran transfer ke daerah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Peningkatan signifikan dana yang mengalir ke setiap desa tersebut pada hakikatnya ialah dalam rangka bagaimana pembangunan desa lebih berkembang cepat, merata, dan berkeadilan.

Kehadiran UU No. 6/2014 tentang Desa semangatnya antara lain juga untuk memajukan pembangunan desa. Pemberlakuan UU No. 6/2014 bisa dikatakan menjadi era baru pembangunan desa. Pembangunan desa diarahkan benar-benar dari bawah.

Perubahan pendekatan pembangunan desa dengan cara langsung menyasar ke bawah (desa) tentu membawa konsekuensi yang besar, khususnya bagi objek atau sasaran. Secara logika, desa—baik pemerintahan maupun masyarakatnya—akan memainkan peran penting dalam pembangunan model bottom-up semacam itu.

Sebagai pelaku utama pembangunan, mau tidak mau desa harus berdaya alias memiliki kemampuan untuk membangun wilayahnya. Pembangunan yang langsung di desa boleh jadi merupakan jawaban atas kegagalan model pembangunan selama ini yang lebih banyak melibatkan stakeholders di desa sebatas sebagai objek.

Model pendekatan pembangunan trickle down effect pada masa lalu tampaknya hingga sekian lama tidak kunjung memberikan efek menetes ke bawah. Artinya, manfaat pembangunan tidak sampai ke desa.

Pendekatan pembangunan yang sekarang dicoba diaplikasikan di desa juga belum tentu terjamin efektivitasnya. Bagaimanapun persoalan pembangunan desa merupakan persoalan yang sangat kompleks. Banyak sisi yang bila tidak diperhatikan bisa berpotensi menjadi ganjalan implementasinya. [Baca: Titik Krusial]

 

Titik Krusial
Terdapat beberapa aspek yang bisa diulas melalui tulisan ini menyangkut perkembangan ”era baru” pembangunan desa yang sekarang sedang dijalankan.

Pertama, berkaitan dengan kesiapan regulasi. Kelengkapan peraturan perundang-undangan sebagai payung hukum pembangunan desa menjadi salah satu persoalan yang banyak muncul di kalangan stakeholders di daerah/desa.

Hingga kini setidaknya baru ada dua peraturan pemerintah dan sembilan peraturan menteri untuk mengimplementasikan UU No. 6/2015. Banyak ketentuan lanjutan yang penting dan ditunggu-tunggu daerah/desa tapi tak segera disusun pemerintah pusat, seperti struktur organisasi dan tata kerja dan kedudukan keuangan kepala desa/perangkat desa.

Sementara regulasi lanjutan yang sudah disusun pun kadang kala justru membingungkan pelaksana di tingkat bawah, terutama akibat adanya ”rivalitas” antara Kementerian Dalam Negeri dengan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Masih bolong-bolongnya regulasi secara langsung atau tidak langsung memengaruhi pelaksanaan pembangunan di desa. Sebagai contoh, pemerintahan desa kurang berjalan maksimal karena tidak sedikit jabatan di pemerintahan desa sekian lama kosong menunggu turunnya perangkat aturan dari pemerintah pusat atau daerah.

Kedua, kelemahan dalam hal perencanaan pembangunan. Menurut pandangan saya, sebagian besar persoalan krusial pembangunan desa berada di bagian perencanaan pembangunan. Silang sengkarut perencanaan pembangunan desa bersifat multidimensi.

Persoalan utamanya, desa memiliki keterbatasan dalam menyediakan perencana-perencana yang andal. Selama ini banyak desa yang penyusunan perencanaan pembangunan yang cenderung bernuansa elitis.

Pemikiran banyak didominasi kepala desa dibantu sebagian kecil perangkat dan tokoh masyarakat yang sangat terbatas jumlahnya. Eksistensi musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes) pada masa lalu sesungguhnya cukup ideal dalam mengelaborasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat di tingkat bawah, namun karena beberapa sebab (misalnya karena tidak cukup tersedia anggaran) maka musrenbangdes seperti kehilangan makna.

Bagaimana dengan era sekarang? Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 114/2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa. Bila dicermati, peraturan tersebut sangat memadai dari perspektif transparansi dan pelibatan partisipasi masyarakat.

Ironisnya, untuk tataran desa, model perencanaan yang diatur dalam permendagri itu sangat rumit dan terlalu bertele-tele yang justru bisa mendorong stakeholders di desa lama-kelamaan apatis dan terjebak hanya sekadar memenuhi aspek administratif prosedural.

Permendagri No. 114/2014 dengan rigid mengatur secara terperinci tahapan perencanaan dan pelaksanaan serta pengawasan pembangunan. Mekanisme perencanaan pembangunan-–baik berupa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa), Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa), maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa)–di dalam permendagri boleh dibilang tidak cukup sederhana bagi desa yang kemampuan sumber daya manusianya relatif terbatas.

Dalam persoalan ini, desa membutuhkan tenaga pendamping yang menguasai perencanaan maupun penyusunan anggaran. Di bagian lain, kemampuan aparat pemerintah desa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pembangunan mutlak harus ditingkatkan, termasuk kemampuan manajerial dan kemampuan teknis (misalnya keahlian teknologi informasi dan administrasi). Harus disadari bahwa para aparat pemerintah desa sampai sekarang masih menjadi tumpuan dan penghela laju pembangunan desa. [Baca: Komitmen dan Kemampuan]

 

Komitmen dan Kemampuan

Ketiga, kemampuan menyusun prioritas desa. Masih berkaitan dengan perencanaan pembangunan, secara khusus desa semestinya mampu dan memiliki komitmen untuk menyusun rencana pembangunan berdasar prioritas, terutama dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan desa pada umumnya.



Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi  No. 5/2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2015 sebenarnya telah memberikan gambaran dan menggariskan dengan detail prioritas penggunaan dana desa.

Penerapan peraturan tersebut memerlukan komitmen dari para pengambil kebijakan di desa, mengingat sumber daya dana yang tersedia terbatas sedangkan kebutuhan anggaran sudah pasti jauh lebih besar.

Ketersediaan anggaran yang ada seyogianya lebih diutamakan untuk kepentingan masyarakat dan bukan justru banyak tersedot untuk kebutuhan internal pemerintahan desa. Apabila penyusunan anggaran dilakukan secara tepat berdasar prioritas yang dibutuhkan dalam pemberdayaan masyarakat dan peningkatan ekonomi desa secara berkelanjutan niscaya akan lebih memberikan manfaat bagi pembangunan.

Keempat, sinergisme pembangunan antartingkat pemerintahan. Problem klasik pembangunan di negara kita ialah kurangnya sinergisme dan koordinasi antartingkat pemerintahan, dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat.

Setiap level pemerintahan mempunyai program masing-masing yang sering kali tidak saling melengkapi dan mendukung. Program pembangunan, baik yang bersifat kewilayahan maupun sektoral, terkesan berjalan sendiri-sendiri dan tidak terkoordinasi.

Pada masa mendatang, sinergisme pembangunan desa perlu lebih dikembangkan. Peran pemerintah daerah dan pusat dalam meluncurkan program pembangunan desa masih tetap diharapkan walaupun kini sebagian alokasi pendanaan telah dialihkan ke desa secara langsung.

Terakhir, titik krusial pembangunan desa berkaitan dengan eksistensi masyarakatnya. Masyarakat pada dasarnya satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pembangunan desa.

Apalagi dalam undang-undang tegas diamanatkan bahwa masyarakat selalu dilibatkan dalam setiap proses pembangunan desa. Masyarakat diberi tempat dan harus terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan kegiatan, serta pengawasan pembangunan desa.

Situasi tersebut menuntut masyarakat aktif dan mampu terlibat dalam pembangunan desa bersama-sama pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Sejauh mana efektivitas pembangunan desa tampaknya tergantung pada seberapa jauh kontribusi yang diberikan masyarakat dalam setiap tahapannya.

Berdasar pemahaman itu maka kapasitas dan peran serta masyarakat perlu lebih dikembangkan. Semakin banyak elemen masyarakat yang terlibat, pembangunan desa diharapkan semakin representatif dan akseleratif.

Sebagai penutup, tidak ada salahnya kita memahami kembali esensi dari pembangunan desa. Seperti disebutkan UU No. 6/2015 Pasal 78, pembangunan desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

Mengacu pemahaman tersebut, sangat diyakini bahwa membangun desa bukanlah persoalan mudah. Regulasi telah cukup memberikan arah, sekarang giliran bagaimana segenap stakeholders desa menyikapinya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya