SOLOPOS.COM - Thontowi Jauhari thontowi.jauhari@gmail.com Mantan Anggota DPRD Kabupaten Boyolali Wakil Ketua DPW Partai Nasdem Jawa Tengah

Thontowi Jauhari  thontowi.jauhari@gmail.com     Mantan Anggota DPRD  Kabupaten Boyolali  Wakil Ketua DPW  Partai Nasdem Jawa Tengah

Thontowi Jauhari
thontowi.jauhari@gmail.com
Mantan Anggota DPRD
Kabupaten Boyolali
Wakil Ketua DPW
Partai Nasdem Jawa Tengah

Era reformasi telah melahirkan praktik tirani dalam politik anggaran diatif, baik yang di pusat (DPR), atau di daerah (DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tirani berarti kekuasaan yang digunakan secara sewenang-wenang.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Artinya, lembaga legislatif telah berbuat sewenang-wenang dalam politik anggaran. Hak budget (anggaran) mestinya digunakan sebesar-besarnya untuk mewujudkan kesejahteraan umum dengan mendahulukan dan mengutamakan penganggaran kebutuhan publik.

Namun, anggota legislatif justru lebih mendahulukan penganggaran untuk memenuhi keinginan mereka sendiri, yang ujungnya adalah untuk bisa menambah isi kantong mereka, menambah isi rekening mereka. Tulisan ini berusaha mengelaborasi berbagai bentuk praktik tirani dalam politik anggaran tersebut.

Elaborasi dalam tulisan ini khususnya di lembaga legislatif daerah, sekaligus sebagai bentuk testimoni dan akuntabiltas agar bisa diketahui publik, karena saya pernah menjadi salah satu anggota DPRD. Tulisan ini juga dapat menjadi konfirmasi temuan survei Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan pemerintah 35 kabupaten/kota di provinsi ini belum sepenuhnya terbuka dan membuka akses untuk publik dalam penyusunan APBD.

Ketertutupan dalam penyusunan APBD berimplikasi, salah satunya, tirani anggaran. Ketika masih menjadi anggota DPRD Boyolali, saya pernah mengingatkan hal tersebut, bersamaan dengan pembahasan APBD Perubahan 2012. Ada kenaikan anggaran belanja langsung di Sekretariat DPRD  Boyolali saat itu yang menjadi Rp19,4 miliar.

Jika dirata-rata dalam satuan biaya, tiap anggota DPRD  Boyolali membutuhkan dana Rp422 juta pada 2012 itu. Biaya itu hanya untuk kegiatan-kegiatan DPRD. Itu belum anggaran untuk belanja pegawai, baik untuk gaji dan tunjangan anggota dan pimpinan DPRD, serta gaji para PNS di lingkungan Sekretariat DPRD.

Luar biasa dan–menurut saya–memalukan. Kira-kira ada kenaikan sekitar 380 persen jika dibandingkan dengan belanja langsung Sekretariat DPRD Boyolali pada 2009. Ketika itu belanja langsungnya hanya Rp5 miliar. Pada APBD Perubahan 2012 menjadi Rp19,4 miliar.

Borosnya anggaran DPRD tidak hanya terjadi di Boyolali, namun terjadi secara menyeluruh, di seluruh Tanah Air kita. Anggaran DPRD Boyolali sebenarnya masih bisa dikatagorikan ”moderat” jika dibandingkan dengan daerah lain. Banyak daerah yang anggaran kegiatan DPRD-nya mencapai bahkan lebih dari Rp30 miliar.

Sebagai contoh, APBD Kabupaten Tangerang Selatan pada tahun anggaran 2013 menganggarkan untuk DPRD dan sekretariatnya Rp67,2 miliar, turun sekitar sekitar Rp6,5 miliar jika dibandingkan dengan anggaran tahun sebelumnya yang Rp 73,7 miliar (www.klik-banten.com, diakses pada 18 Oktober 2013).

Dengan total anggaran Rp67,2 miliar tersebut bisa dipastikan belanja untuk kegiatan DPRD Tangerang Selatan bisa mencapai sekitar Rp40 miliar. Mari kita badingkan dengan keseluruhan anggaran DPRD Boyolali dan Sekretariat DPRD Boyolali tahun anggaran 2013 yang   ”hanya” Rp45,9 miliar, belanja langsungnya mencapai Rp34,9 miliar. Itu sudah termasuk anggaran belanja modal pembangunan kantor dan isinya sebesar Rp16,1 miliar.

Lantas, mengapa untuk melaksanakan kinerja para anggota DPRD membutuhkan anggaran yang demikian besar? Untuk kegiatan apa saja anggaran yang besar tersebut? Apakah anggaran yang besar tersebut efektif menunjang kinerja atau justru sebaliknya, menjadi bumerang bagi DPRD sehingga membuat lembaga ini tidak mampu melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik, terutama fungsi pengawasan?

Nuansa yang berkembang dalam rapat-rapat di DPRD Boyolali, utamanya terkait rapat anggaran untuk lembaganya sendiri, sangat kentara bahwa segala proses penganggaran tersebut adalah agar bagaimana para anggota DPRD dapat menganggarkan kegiatan-kegiatan yang ujungnya memperoleh uang dari kegiatan tersebut.

 

Beban

Hal itu diawali dengan rapat untuk memutuskan pembuatan rencana kerja (renja) tahunan. Itu sebagai dasar peganggaran dan sekaligus sebagai dasar legalitas sebuah proses penganggaran. Setidaknya ada tiga sektor anggaran, sehingga mengakibatkan DPRD boros.

Pertama, anggaran peningkatan kapasitas lembaga. Isi kegiatan tersebut antara lain workshop, bimbingan teknis (bintek), bedah rancangan peraturan daerah (raperda), dan sebagainya. Untuk tahun anggaran 2013 ini, DPRD Boyolali menganggarkan Rp13 miliar  guna meningkatkan pengetahuan para anggota dan pimpinan DPRD.

Jika dirata-rata, setiap anggota dianggarkan Rp288 juta guna melaksanakan program ini. Sebuah anggaran yang amat fantastik, setara dengan kebutuhan studi untuk memperoleh gelar doktor untuk dua orang.

Kedua, anggaran perjalanan dinas. Borosnya anggaran ini tidak bisa terbaca di dokumen APBD. Sistem dokumentasi anggaran berdasarkan kinerja ini memang cenderung menyembunyikan anggaran perjalanan dinas. Kita tidak bisa membaca kalau tidak memegang dokumen pelaksanaan anggaran (DPA). Namun, secara umum, publik sudah sangat paham bahwa wakil rakyat mempunyai banyak kegiatan terkait perjalanan.

Modusnya seperti studi banding, konsultasi, dan sebagainya. Perjalanan tersebut diprogramkan oleh seluruh alat kelengkapan DPRD, yakni komisi-komisi, pimpinan, badan anggaran, badan musyawarah, badan kehormatan, dan badan legislasi. Setiap anggota DPRD bisa menduduki lebih dari satu alat kelengkapan, sehingga kegiatan perjalanan dinas bisa tumpang tindih.

Ketiga, DPRD terlalu banyak merencanakan kegiatan di hotel-hotel berbintang. Pembahasan kebijakan umum anggaran (KUA) dan plafon prioritas anggaran sementara (PPAS) selaku dilaksanakan di hotel. Kegiatan peningkatan kapasitas pasti dilaksanakan di hotel.

Bahkan, kadang-kadang tidak masuk di nalar karena penyelenggara kegiatan oleh suatu perguruan tinggi di Semarang, tapi kegiatan dilaksanakan di Jakarta. Apa yang dicari? Dengan kegiatan ini, akan diperoleh dua hal sekaligus: uang saku perjalanan dan cash back dari penyelenggara.

Desain kegiatan lebih beraroma bagaimana memperoleh uang yang akhirnya anggaran menjadi berlebih atau boros, dan volume kegiatan  frekuensinya juga sering dilakukan. Jika kita membaca jadwal kegiatan DPRD, ternyata terlalu dijejali kegiatan kunjungan dan peningkatan kapasitas. Waktu untuk rapat-rapat komisi di kantor hanya terkait dengan persoalan pembahasan APBD.

Komisi-komisi tidak sempat rapat terkait persoalan-persoalan pengawasan pelaksanaan anggaran, atau terkait berbagai persolan yang terjadi di masyarakat. Implikasi yang paling parah, karena DPRD gagal melakukan perencananaan dan pelaksanaan anggarannya secara efesien dan efektif, itu menjadi bumerang terhadap fungsi pengawasan.



DPRD tidak  dapat melaksanakan fungsi  pengawasan pelaksanaan anggaran oleh  eksekutif, karena  secara internal  DPRD juga bobrok. Bisa-bisa, keberadaan DPRD hanya menjadi formalitas, kehilangan makna, bahkan menjadi beban bagi anggaran publik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya