SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Latree Manohara
Pegawai Bappeda
Provinsi Jawa Tengah
Alumnus Lembaga Pelatihan
Jurnalistik SOLOPOS (LPJS). (FOTO/Istimewa)

Seorang teman yang baru pulang dari Singapura membanggakan berat badannya yang turun empat kilogram setelah dua pekan berada di sana. Dia juga merasa lebih bugar. Itu karena selama di sana dia tanpa sengaja rutin berolahraga. Setiap hari. Bukan mampir ke gym atau ke pusat kebugaran, tapi berjalan dari halte bis ke tempat tujuannya, atau sebaliknya.

Promosi Banjir Kiper Asing Liga 1 Menjepit Potensi Lokal

Tentu saja, jika angkutan umum tertib hanya menaikkan/menurunkan penumpang di halte, penumpang bisa dipaksa sedikit berjalan antara tempat tujuan dengan halte terdekat. Meskipun jaraknya hanya beberapa ratus meter, jika itu dilakukan setiap hari, beberapa kali sehari, tetap akan menjadi latihan efektif bagi jantung dan otot tubuh.

Berjalan kaki selama lima menit akan membakar lima kalori/menit. Semakin lama waktu berjalan, semakin banyak kalori terbakar setiap menit. Sampai dengan 20 menit, bertambah lagi menjadi tujuh kalori per menit, seiring dengan pelepasan hormon epinephrin dan glucagon yang berfungsi mengatur metabolisme.

Semakin banyak berjalan, tubuh akan mengeluarkan senyawa endorphin sehingga tubuh merasa segar. Semakin banyak lemak terbakar dan insulin tentu membantu menurunkan penyimpanan lemak.  Tapi, tengoklah angkutan umum di negeri kita. Memang angkutan darat adalah angkutan yang bisa door to door.

Bahkan, angkutan darat door to door  di negeri kita sungguh keterlaluan. Angkutan perkotaan (angkot) dan bus kota bisa berhenti di mana saja, bahkan di depan pintu setiap bangunan di kanan kiri jalan. Penumpang menjadi manja dan enggan berjalan kaki walaupun beberapa puluh meter saja.

Memang di beberapa kota besar  sekarang sudah dioperasikan angkutan umum yang hanya bisa menaikturunkan penumpang di halte khusus yang disediakan. Misalnya, bus Trans Jakarta di DKI Jakarta,  bus Trans Jogja di Kota Jogja, Bus Rapid Transit atau BRT di Kota Semarang dan Batik Solo Trans atau BST di Solo.

Sebenarnya agak menggelikan, bagaimana harus diciptakan bus dengan ketinggian pintu khusus sehingga orang terpaksa naik-turun di tempat dengan ketinggian yang sama? Jika saja diperbolehkan, dan tidak wagu, mungkin orang akan membawa tangga lipat agar bisa naik dan turun di mana saja, seperti ketika naik angkutan umum biasa.

Sayangnya, halte-halte khusus yang sudah berhasil memaksa pengguna jasa angkutan umum untuk hanya naik/turun di tempat yang ditentukan ini pun masih belum didukung dengan baik oleh pelengkap seperti trotoar dan fasilitas penyeberangan.

Keengganan para pengguna angkutan umum sebenarnya terkait juga dengan kondisi trotoar  yang kurang nyaman dan kurang aman pula. Antara satu halte dengan halte yang lain belum semua dihubungkan dengan trotoar yang memadai. Beberapa selter bus malah didirikan di atas parit, butuh kehati-hatian ekstra untuk masuk ke selter.

Jembatan penyeberangan sangat sedikit. Zebra cross di mata para pengguna kendaraan bermotor seperti debu tipis di kaca depan; sedikit penghalang pandangan yang bisa diabaikan. Eksistensi zebra cross belum bisa mengajak mereka berbagi ruang dengan pejalan kaki.

Idealnya, terkait fungsi jalan bagi lalu lintas, di sisi kanan kiri badan jalan dilengkapi dengan bahu jalan dan trotoar. Bahu jalan berfungsi untuk memberi kelegaan pada pengguna jalan sehingga kapasitas jalan lebih besar. Selain itu juga menjadi tempat parkir, pemberhentian darurat, ruangan tambahan saat ada perbaikan dan menjadi struktur penyokong badan jalan.

Trotoar/side walk yang terletak di sisi luar bahu jalan menjadi ruang bagi pejalan kaki/pedestrian. Untuk keamanan pedestrian, trotoar dibuat terpisah dari jalur lalu lintas dan dibatasi dengan kerb. Lebar trotoar disesuaikan dengan kebutuhan dan kepadatan lalu lintas pejalan kaki di jalur bersangkutan.

Mewujudkan hal ideal dalam kenyataan memang tidak mudah. Jalan yang dilengkapi trotoar tidak sepadan dengan seluruh panjang jalan. Sebagai gambaran, di Jakarta, panjang trotoar baru 900 kilometer saja, sementara panjang jalan sudah 7.200 kilometer. Artinya, banyak jalan yang tidak diapit dengan trotoar (sumber: itdp-indonesia.org).

 

Berebut Ruang

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia. Pada praktiknya, di sebagian besar ruas jalan, ruang jalan didominasi oleh lalu lintas kendaraan (bermotor).  Jangankan trotoar, bahkan bahu jalan pun ”hilang” karena besarnya volume kendaraan. Akhirnya banyak bahu jalan yang kemudian dilapisi aspal dan berubah fungsi menjadi badan jalan. Walhasil, pejalan kaki harus berebut ruang dengan kendaraan bermotor.

Di ruas-ruas jalan yang sudah disediakan trotoar, masih saja pejalan kaki harus tersingkir. Trotoar telah menjadi ”ruang siap pakai” bagi pedagang kaki lima. Mulai dari sekadar meletakkan gerobak kemudian menyingkir sewaktu-waktu, sampai yang memasang tenda atau bahkan mendirikan bangunan semipermanen. Ini menambah kerumitan baru. Bahu jalan menjadi jalur konflik tiga pihak: pejalan kaki, pengguna kendaraan dan parkir kendaraan konsumen pedagang kaki lima.

Kita tentu masih ingat video di Youtube  tentang seorang perempuan yang berjalan di trotoar dan ”mengusir” para pengendara sepeda motor yang nekat melaju di trotoar. Video tersebut diberi judul Pembela Hak Pejalan Kaki. Tapi, sampai kapan sang pembela ini berjuang? Jika dia tidak berdiri di sana, apakah para pengendara motor akan dengan sukarela memberikan trotoar kepada yang berhak: pedestrian?

Permasalahan trotoar ini sebenarnya komplikasi dari banyak hal yang mencakup kesadaran manusia-manusia pengguna jalan yang meliputi pengendara atau pejalan kaki sendiri. Selain itu juga menyangkut ketersediaan angkutan massal dan sarana prasarana lalu lintas yang memadai.

Bukan hanya pemerintah yang harus terus meningkatkan kualitas dan kuantitas ruang bagi pejalan kaki, tapi diperlukan kesadaran semua pengguna jalan. Mungkin pada awalnya diperlukan paksaan baik dengan pengondisian maupun peraturan (yang ditegakkan), sebelum akhirnya tumbuh kesadaran dari diri sendiri. Selalu ada yang harus memulai. Dan kita selalu bisa memulai dari diri sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya