SOLOPOS.COM - Wisnu Prasetya Utomo utama4@gmail.com Peneliti Media di Indonesian Interdiciplinary Institute, Yogyakarta

Wisnu Prasetya Utomo utama4@gmail.com Peneliti Media di Indonesian Interdiciplinary Institute, Yogyakarta

Wisnu Prasetya Utomo
utama4@gmail.com
Peneliti Media di Indonesian Interdiciplinary Institute, Yogyakarta

Salah satu hal yang mengkhawatirkan di hari-hari menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 adalah penggunaan media (khususnya televisi) untuk kepentingan politik. Apalagi kita tahu, beberapa pemilik televisi saat ini sudah mendeklarasikan diri untuk maju pada pemilu nanti. Misalnya, Aburizal Bakrie yang menjadi calon presiden, atau Hary Tanoesoedibjo yang menjadi calon wakil presiden. Belum lagi Surya Paloh dengan partainya yang untuk kali pertama maju dalam pemilu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kondisi semacam ini mengkhawatirkan karena para pemilik media cum politikus menggunakan media mereka untuk berkampanye. Caranya bisa melalui iklan-iklan politik maupun memperbanyak berita tentang sang pemilik. Akses terhadap calon-calon yang lain tidak merata. Netralitas televisi dalam pemberitaan tayangan-tayangan politik menjadi pertanyaan. Dalam melakukan siarannya, televisi menggunakan frekuensi publik yang jumlahnya terbatas.

Keterbatasan itu menjadi keuntungan karena stasiun televisi memiliki kemampuan yang lebih besar untuk masuk ke ruang-ruang privat masyarakat. Intensitas penetrasi informasi yang melimpah dengan didukung kekuatan visual membuat pengaruh televisi terhadap memori publik begitu besar. Pengaruhnya berbeda jika dibandingkan dengan media cetak atau online yang lebih terbatas jumlah pembacanya.

Jika kita menengok sejarah, televisi memang memiliki pengaruh dalam mengubah pemilihan umum di Indonesia pasca-Orde Baru. Terutama dalam hal mengubahnya menjadi panggung hiburan. Jennifer Lindsay dalam Performing in the 2004 Indonesian Elections (2005) mengungkapkan pemilihan presiden 2004 merupakan “pemilihan pesohor” yang pertama. Sejak saat itu televisi menjadi panggung di mana para politikus menjadi bintang dengan menggelembungkan citra dirinya.

Pada titik ini, sebenarnya ada satu pertanyaan yang mendasar untuk diajukan, benarkah intensitas tayang para politikus di medianya sendiri tersebut berbanding lurus dengan tingkat keterpilihannya dalam pemilu? Jawabannya, belum tentu.

Kuantitas tayang seorang tokoh memang akan meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap tokoh tersebut. Namun perlu dipahami ada perbedaan yang mendasar antara popularitas dan elektabilitas.

Popularitas berkaitan dengan tingkat keterkenalan seorang kandidat di mata publik. Intensitas tayang yang tinggi bagi para pemilik media tentu saja secara langsung akan menaikkan popularitasnya. Bayangkan jika dalam sehari Anda disuguhi berkali-kali berita maupun iklan tentang tokoh tertentu. Televisi bisa membuat seseorang yang sebelumnya bukan siapa-siapa menjadi begitu terkenal. Masyarakat, tentu saja, akan lebih mudah mengenali sang tokoh yang sering menampakkan diri di televisi.

Tapi, tingkat popularitas yang tinggi belum tentu sama dengan elektabilitasnya. Kerap kita menjumpai bagaimana popularitas seorang tokoh yang tinggi berbanding terbalik dengan tingkat keterpilihannya. Elektabilitas berkaitan dengan tingkat kepercayaan publik dalam memilih seorang kandidat untuk menduduki posisi tertentu. Hal ini membuktikan masyarakat kita sudah mulai cerdas untuk melihat isi berita-berita di televisi secara lebih kritis.

Pada titik ini, rekam jejak sang politikus akan lebih berpengaruh terhadap pilihan warga. Berita-berita di televisi ataupun media akan semakin melegitimasi pilihan warga tersebut. Sebagai contoh sederhana misalnya kita bisa melihat Jokowi. Gubernur DKI Jakarta ini dan partainya, PDI Perjuangan, tidak memiliki televisi sendiri untuk memublikasikan atau mengampanyekan berbagai kinerja yang sudah dilakukan. Namun sebagaimana kita saksikan, liputan-liputan televisi maupun media tentang Jokowi begitu luar biasa.

Beberapa media asing bahkan khusus datang ke Jakarta untuk meliput aktivitas mantan Wali Kota Solo tersebut. Tingkat popularitas sekaligus elektabilitas Jokowi membubung tinggi di berbagai survei tentang calon presiden 2014. Jokowi berada di posisi teratas di hampir setiap survei, bahkan mengalahkan para pemilik media. Padahal Jokowi belum secara resmi mendeklarasikan diri sebagai calon presiden.

Artinya meskipun media atau televisi dalam pemberitaan menjelang pemilu bersikap tidak netral dengan sering menampilkan pemiliknya, hal itu tidak serta merta akan membuat publik memilih sang politikus. Persoalan utamanya memang bukan di situ. Dalam ihwal dijadikannya televisi sebagai medium kampanye, problem terletak pada penggunaan frekuensi publik secara serampangan.

UU No. 32/2002 tentang Penyiaran, khususnya pada Pasal 36 ayat (4) mengamanatkan isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Artinya, televisi sebagai media penyiaran mesti menampilkan ruang yang seimbang bagi aktor-aktor politik yang akan tampil dalam pemilu. Sayangnya, banyak celah yang muncul dari berbagai regulasi untuk pengaturan tayangan politik di televisi ini. Sederhana saja, misalnya soal definisi kampanye.

Jika menilik UU No. 8/2012 tentang Pemilu dan Peraturan KPU No. 15/2013, yang dimaksud kampanye yaitu kegiatan peserta Pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta pemilu. Sederhananya, dengan aturan yang longgar tersebut, stasiun televisi bisa menampilkan wajah politikus pemiliknya sesering apa pun asalkan tidak berisi ajakan untuk memilihnya.

Wajar saja jika aturan tersebut gagal menjerat iklan maupun tayangan politik di televisi yang sering menampilkan dan menonjolkan politikus tertentu. Stasiun televisi bisa saja berkilah tayangan-tayangan yang mereka sajikan tidak masuk dalam definisi kampanye sebagaimana ada dalam regulasi. Beberapa stasiun televisi bahkan menolak ketika beberapa waktu lalu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengeluarkan draf regulasi tentang pengaturan pemanfaatan lembaga penyiaran untuk kepentingan politik.

Sampai di sini, kita bisa melihat betapa televisi yang “sulit” untuk diatur memiliki tendensi untuk lebih banyak memberitakan pemiliknya secara positif. Kita tentu berharap KPI bisa menegakkan aturan dengan lebih tegas agar stasiun televisi tetap menjalankan fungsi pencerahan kepada publik. Namun, jika kondisi semacam ini terus bertahan, literasi media menjadi hal yang mungkin dilakukan.

Beberapa pemilu sudah menunjukkan bahwa intensitas tayang pemilik media tidak sama dengan tingkat keterpilihan di masyarakat. Ia hanya berpengaruh pada popularitas, tetapi bukan elektabilitas. Literasi media, akan membuat masyarakat menjadi lebih kritis dalam menghadapi berita-berita di televisi. Dengan demikian publik bisa tahu mana kandidat yang mementingkan citra, mana kandidat yang menawarkan gagasan dan dengan rekam jejak yang jelas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya