SOLOPOS.COM - Novy Eko Purnomo (Istimewa)

Gagasan ini dipublikasikan Harian Solopos edisi Sabtu (25/11/2017). Esai ini karya Novy Eko Permono, alumnus Program Studi Manajemen Pendidikan Islam Pascasarjana IAIN Surakarta. Alamat e-mail penulis adalah novyekop@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Krisis multidimensional yang dihadapi bangsa Indonesia semakin pelik mana kala arus globalisasi kontemporer menjalar ke berbagai lini kehidupan. Dunia mengalami fenomena globalisasi yang kian cepat penetrasinya dan kian luas cakupannya.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Novy Eko Purnomo

Novy Eko Purnomo (Istimewa)

Anthony Giddens (1990) menyebutnya sebagai globalisasi dini, yaitu intensifikasi relasi-relasi sosial dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa lokal dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi jauh di belahan bumi seberang dan begitu pula sebaliknya.

Revolusi di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi membawa distansiasi ruang waktu sekaligus pemadatan ruang waktu yang merobohkan batas-batas ruang dan waktu konvesional.

Fenomena ini telah merestrukturisasi pola dan cara pandang kehidupan manusia yang memunculkan efek mendua. Efek inilah yang dikenal dengan istilah global paradox: positif dan negatif, peluang dan hambatan.

Globalisasi menyebabkan negara-negara di dunia berevolusi menjadi desa global dan warga dunia menjelma menjadi warga global. Indikasinya adalah bayi yang lahir pada abad XXI berubah menjadi ”manusia-manusia digital”, yaitu manusia masa kini yang sangat akrab dengan dunia teknologi informasi dan komunikasi.

Selanjutnya adalah: Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

Ilmu Pengetahuan

Dalam konteks pendidikan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan perhatian serius karena dunia pendidikan adalah sarana paling efektif dalam penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Sistem pembelajaran konvesional perlahan-lahan mulai tertinggal jauh di belakang.

Saat ini proses pembelajaran tidak hanya berkutat di dalam kelas, tetapi juga menggunakan media digital, dalam jaringan atau daring, dan telekonferensi, namun pendidikan juga harus waspada agar mampu membendung efek negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menyikapi hal tersebut guru sebagai aktor utama pendidikan tidak boleh menutup mata. Guru hari ini harus lebih pintar dan cerdas dibandingkan murid-murid dalam menyikapi perkembangan teknologi yang semakin melesat. Jangan sampai seorang guru memiliki penyakit TBC, yaitu tidak bisa computer, mengingat anak didik lebih akrab dengan dunia teknologi informasi dan komunikasi.

Yang jadi permasalahan kolektif dunia pendidikan kita saat ini adalah guru abad XX (yang lahir pada tahun di bawah 2000) masih gagap teknologi. Sedangkan murid yang dihadapi adalah manusia abad XXI yang tentu berbeda dalam asupan gizi ilmu dan teknologi.

Secara sederhan kini banyak anak didik lebih cerdas dalam dunia teknologi daripada gurunya. Kesenjangan semacam ini tidak bisa dibiarkan begitu saja agar tidak berakibat fatal dalam proses pendidikan.

Selanjutnya adalah: Guru sejak zaman Orde Baru sampai sekarang

Sampai Sekarang

Guru sejak zaman Orde Baru sampai sekarang bukan lagi seperti yang dilukiskan Earl V. Pullias dan James D. Young dalam buku A Teacher is Many Things, yaitu sebagai sosok makhluk serbabisa sekaligus memiliki kewibawaan yang tinggi di hadapan murid-murid dan masyarakat.

Sosok guru era sekarang ini lebih tepat sebagai sosok ”mimikri”, harus pandai-pandai menyesuaikan diri di tempat dan dalam situasi mereka berada. Hal itu sebagai akibat dari situasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat dominan.

Munculnya media komunikasi yang tidak hanya berbasis pesan (audio) menjadi candu bagi kaum muda sekarang, terlebih lagi aplikasi komunikasi yang dilengkapi dengan media audio visual.

Tak sedikit dari anak didik yang merupakan warga bangsa ini memperlihatkan gambar (amoral) yang menurut mereka merupakan sesuatu yang trendi. Ironisnya, guru tidak mengetahui apa yang dilakukan anak didiknya karena tidak memiliki aplikasi serupa.

Ini adalah problem yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Lewat salah satu aplikasi yang paling digandrungi, para remaja hari ini berlomba-lomba mempertontonkan foto-foto mereka yang dianggap paling bergengsi.

Sebuah aplikasi komunikasi tanpa batas akan membawa anak pada dunia yang lebih bebas dan liar. Di sana mereka akan berteman dengan para tokoh idola seperti artis Korea, artis Hollywood, dan lain-lain. Mereka menjadikan para artis itu sebagai kiblat tindak tanduk.

Ini semua akan menjadi tantangan terbesar bagi para guru. Canggihnya teknologi akan menyebabkan komunikasi antarpeserta didik dapat terjalin dengan rahasia. Ketika obrolan di dunia maya antaranak didik tanpa ada campur  tangan orang tua dan guru menjadi sangat riskan karena mereka bisa bertindak sesuai dengan nafsu jiwa muda.

Selanjutnya adalah: Nafsu jiwa muda tanpa pertimbangan

Jiwa Muda

Nafsu jiwa muda cenderung tanpa pertimbangan akal yang tentunya bisa mengakibatkan dampak negatif bagi diri mereka. Ratih Ibrahim (2012) menuturkan kemajuan teknologi berpotensi membuat anak cepat puas dengan pengetahuan yang diperolehnya sehingga menganggap apa yang diperolehnya dari Internet atau teknologi lain adalah pengetahuan terlengkap dan final.

Kualitas guru yang hampa akan teknologi tidak akan mampu menanamkan ”daya kritis” kepada murid agar menjadi manusia revolusioner sehingga mereka terhambat menggali potensi diri mereka.

Guru yang gagap teknologi atau gaptek akan menurunkan derajat kredibilitasnya di hadapan para murid sehingga murid cenderung bersikap underestimate (meremehkan), seolah-olah guru adalah orang dungu di tengah dunia metropolitan.

Ini fenomena yang sering ada dan terjadi di sekeliling kita. Guru boleh produk era 1990-an, tapi kapasitas keilmuan tidak boleh kalah dengan generasi zaman terkini.

Di mana pun dan kapan pun seorang guru harus lebih pintar daripada muridnya, tidak hanya dalam konteks pedagogik akan tetapi juga harus update (memperbarui diri) dalam segala bidang.



Guru tidak boleh malas mengakses informasi dan teknologi jika tidak mau tertinggal oleh murid-muridnya, bahkan ketika siswa memiliki akun di media sosial, tak ada salahnya guru juga memilikinya dan disarankan untuk saling berteman.

Selanjutnya adalah: Wadah untuk belajar, media berkomunikasi

Wadah Belajar

Selain sebagai wadah untuk belajar, media komunikasi, dan penyebaran informasi, keberadaan guru juga sebagai pengawas aktivitas anak didik ketika berselancar di dunia maya. Komunikasi siswa saat ini cenderung alay dan berupa simbol-simbol yang sulit dijangkau orang dewasa.

Dalam hal ini, guru harus mengetahui bahasa yang sering digunakan mereka. Terkadang dalam bahasa yang mereka gunakan terselip unsur-unsur yang menjerumus kepada tindakan-tindakan yang tak beradab.

Ada pola komunikasi yang sebenarnya adalah bullying (perisakan), diskriminasi, terkait transaksi narkoba, bahkan tentang seksualitas. Ketika guru masuk dalam dunia muridnya, akan lebih mudah bagi guru mengantisipasi hal-hal negatif yang setiap saat selalu menghantui.

Pada akhirnya, terkait momentum peringatan Hari Guru Nasional, 25 November 2017, perlu kita pahami bersama bahwa guru adalah tempat berpijak murid. Kalau guru tidak ada ghirah (semangat) untuk meningkatkan potensi dirinya, sudah pasti pada masa yang akan datang guru akan kalah dari tingkat keilmuan muridnya.

Sumber belajar saat ini sudah bertebaran di dunia maya setiap detik. Keterbelakangan guru dalam dunia ilmu pengetahuan akan menjadi bumerang yang akan memengaruhi profesionalitasnya.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya