SOLOPOS.COM - Andi Wicaksono (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Selasa (15/3/2016), ditulis Andi Wicaksono. Penulis adalah dosen Bahasa Indonesia di Fakultas Syariah IAIN Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Seiring dengan bergulirnya sistem perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dalam bidang kebahasaan setidaknya Indonesia memiliki peluang besar dalam internasionalisasi bahasa melalui program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA).

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Telah jamak diketahui bahwa bahasa dan kebudayaan negara kita mulai dipelajari oleh negara-negara tetangga, baik secara formal dalam beberapa jenjang pendidikan maupun nonformal melalui kursus kebahasaan.

Ekspedisi Mudik 2024

Berangkat dari kenyataan seperti itulah kemudian kebutuhan akan penutur asli (native speaker) sebagai pengajar Bahasa Indonesia di negara-negara tersebut semakin banyak. Inilah yang kemudian melatarbelakangi diadakannya Sarasehan Praktisi BIPA Jogja pada Jumat, 26 Februari 2016, di Universitas Negeri Yogyakarta.

Kebetulan saya ikut menghadiri acara tersebut dari awal sampai akhir dan dari acara tersebut saya bisa mencatat terdapat tantangan yang perlu diperhatikan bersama. Sebelum lebih jauh kita membahas tantangan itu perlu diketahui bahwa bahasa Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi bahasa ASEAN.

Ini terbukti, setidaknya secara berkala, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terus mengirim pengajar BIPA ke beberapa negara ASEAN, seperti Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina. Sedangkan di luar Asia Tenggara ada Australia, Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, Tunisia, dan Maroko yang juga selalu mengajukan permintaan pengajar Bahasa Indonesia. Tentu ini menjadi angin segar yang tak bisa kita lepas begitu saja.

Hal ini menandakan antusiasme masyarakat internasional untuk mempelajari bahasa dan budaya Indonesia cukup tinggi. Peluang ini kemudian disambut riuh rendah oleh para akademisi kita. Setidaknya ini terlihat dari banyaknya peserta sarasehan pada acara yang saya hadiri itu. Merek yang hadir adalah kalangan mahasiswa di Jogja dan sekitarnya, mereka begitu bersemangat untuk berperan aktif dalam kegiatan tersebut. [Baca selanjutnya: Peluang]Peluang

Jika kita melihat secara sekilas kondisi di atas, ini merupakan sebuah kesempatan emas. Ibarat pepatah, sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Di satu sisi, kita turut menyukseskan internasionalisasi bahasa Indonesia dan tidak menutup kemungkinan kesempatan untuk menjadi salah satu bahasa internasional semakin besar.

Di sisi lain, bagi para pengajar yang dikirim ke beberapa negara itu semakin bertambah wawasan mereka. Di balik peluang itu juga terdapat beberapa tantangan yang perlu diperhatikan. Pertama, dari segi kesiapan pengajar.

Mayoritas kita mengira mengajarkan Bahasa Indonesia kepada penutur asing sekadar mengajarkan fasih menyapa, menanyakan kabar, dan melakukan percakapan sehari-hari lainnya kepada lawan tutur.

Tidak demikian kenyataannya. Pembelajaran bahasa tak bisa dilepaskan dari budaya tempat bahasa itu berkembang. Dengan kata lain, bahasa dan budaya adalah dua unsur yang saling berkaitan dalam keberhasilan suatu pembelajaran bahasa.

Hal ini disebabkan bahasa adalah produk budaya dan sebaliknya perkembangan budaya suatu daerah tak bisa dilepaskan dari peran bahasa. R. Kunjana Rahardi menuliskan dalam bukunya yang berjudul Dimensi-dimensi Kebahasaan bahwa sosok bahasa diyakini selalu saling bertaut-tautan secara erat sekali dengan segala aspek indeksal dari masyarakat dan lingkungan budaya yang menjadi wadahnya.

Lantas diyakini pula bahwa belajar bahasa juga harus dikaiteratkan dengan pemahaman ihwal kelaziman, rupa-rupa tata adat, dan aneka aspek referensi serta kondisi sosiokultural lainnya di dalam masyarakat dan wadah kebudayaan itu (2006: 123).

Tidak mengherankan kemudian kita sering menemukan video dokumentasi masyarakat asing menyanyikan salah satu lagu nasional negara kita, bersandiwara dengan berbahasa Indonesia bahkan bahasa daerah, menggelar pentas tari tradisional Indonesia, hingga video proses memasak nasi kuning bak koki ternama.

Semua itu mereka lakukan dalam rangka memahami bahasa dan budaya kita. Dengan perantara produk budaya itulah mereka semakin mudah memahami bahasa Indonesia. Kedua, kita harus arif dan bijak menyikapi apa sebenarnya tujuan utama mereka berbondong-bondong mempelajari bahasa Indonesia berikut budayanya.

Perlu dipahami di wilayah Asia Tenggara saja, semisal di Thailand, beberapa perguruan tinggi telah membuka kelas Bahasa Indonesia. Di luar Asia Tenggara, misalnya di Republik Rakyat Tiongkok (China), beberapa universitasnya juga telah membuka Jurusan Bahasa Indonesia.

Mereka secara berkala selalu mengajukan permintaan tenaga pengajar BIPA kepada pemerintah Indonesia. Jika semua itu merupakan bentuk apresiasi positif mereka terhadap bahasa persatuan kita, tentu tak jadi persoalan.

Hal demikian justru berimbas positif terhadap proses internasionalisasi bahasa Indonesia. Jangan lengah, terdapat juga kemungkinan lain di balik itu. Bisa saja pihak asing ingin menguasai bahasa kita untuk dijadikan perantara agar bisa memasuki pasar Indonesia dengan lebih mudah.

Di mata mereka, Indonesia adalah pasar yang potensial. Negara kita adalah negara dengan populasi penduduk yang paling besar di Asia Tenggara. Jika mereka dapat memasuki pasarnya,  otomatis secara ekonomi mereka menguasai tanah air kita. Jika demikian, apa sikap kita? [Baca selanjutnya: Kuasai Bahasa Asing]Kuasai Bahasa Asing

Tidak ada pilihan lain, kita harus lebih membuka paradigma berpikir kita terhadap pentingnya mempelajari bahasa asing. Saat ini hampir semua jenjang pendidikan masih menganggap yang penting peserta didik menguasai salah satu bahasa internasional (biasanya bahasa Inggris atau Arab). Itu dianggao sudah cukup.

Kita luput memikirkan pentingnya menguasai bahasa negara tetangga, misalnya Melayu, Vietnam, Laos, Thailand, dan sebagainya. Pada era MEA, penguasaan bahasa-bahasa tersebut menjadi sangat vital.

Kendala berbahasa sering menjadi kendala utama para pengusaha dalam melakukan ekspansi pasar ke mancanegara. Ketika kelak datang berbondong-bondong tenaga kerja atau produk negara tetangga memenuhi pasar dalam negeri, sebaliknya dalam waktu yang sama kita pun juga bisa memasuki pasar mereka dan berkompetisi di sana.

Terakhir, kembali lagi pada program BIPA yang kini menjadi ”seksi” di mata para praktisi dan peminatnya. Untuk menjadi pengajar BIPA tidak diharuskan bergelar sarjana bahasa Indonesia. Seorang sarjana syariah tetap memiliki peluang untuk bisa bergiat di sana.

Mereka harus menguasai dasar-dasar ilmu linguistik dan kaidah bahasa baku terlebih dahulu. Jangan sampai ada pengajar BIPA yang tak bisa membedakan makna antara penembak dan petembak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya