SOLOPOS.COM - Muhammad Sholahuddin (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (29/11/2017). Esai ini karya Muhammad Sholahuddin, dosen di Universitas Muhammadiyah Surakarta dan kandidat doktor bidang ekonomi di International Islamic University Malaysia. Alamat e-mail penulis adalah muhammad.sholahuddin@ums.ac.id.

Solopos.com, SOLO — Beberapa waktu terakhir ini beredar isu bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan menghapus tanggungan pendanaan delapan penyakit, yaitu penyakit jantung, kanker, gagal ginjal, stroke, talasemia, sirosis hati, leukimia, dan hemofilia.

Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan

Isu tersebut sangat meresahkan masyarakat. Kalau isu itu benar, berarti siapa yang terkena penyakit itu harus menanggung sendiri biaya pengobatannya. Kekhawatiran merebak di tengah masyarakat dan memicu komentar dari berbagai pihak.

Anggota Komisi IX DPR, Okky Asokawati, berpendapat wacana tersebut perlu dipertimbangkan kembali.  Menanggapi hal tersebut, direksi BPJS menyatakan informasi itu tak sepenuhnya benar.  Kepala Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan Nopi Hidayat mengeluarkan siaran pers terkait isu tersebut.

Ia menceritakan awal mula munculnya informasi salah yang kemudian beredar di masyarakat.  Kesalahpahaman berawal dari sebuah diskusi yang digelar pada Kamis lalu (23/11). BPJS Kesehatan diminta memaparkan perkembangan pengelolaan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).

Dalam pemaparan tersebut ditampilkan gambaran di Jepang, Korea Selatan, Jerman, dan negara-negara lainnya yang menerapkan cost sharing.  Ia menjelaskan sampai saat ini BPJS Kesehatan tetap menjamin biaya pengobatan delapan penyakit tersebut sesuai ketentuan yang ditetapkan regulasi pemerintah.

Selanjutnya adalah: Sebelum muncul isu mengenai

Muncul Isu

Sebelum muncul isu mengenai delapan penyakit itu, BPJS Kesehatan diberitakan mengalami defisit. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan defisit yang saat ini tercatat sebenarnya di bawah Rp7 triliun. Sebenarnya anggaran telah dibuat selalu seimbang antara pengeluaran dan pendapatan.

Caranya dengan menghitung pengeluaran, prediksi pemanfaatan rata-rata per orang, lalu dihitung pendapatan yang ideal dengan iuran serta pengeluaran tersebut. Kenyataannya iuran yang dipungut tidak sesuai dengan hitungan aktuaria, misalnya pengeluaran Rp23.000 dan iuran peserta Rp20.000 yang berarti ada gap Rp3.000.

Untuk kelas III, pengeluaran Rp53.000 tapi iuran Rp45.500 yang berarti ada gap Rp7.500. Ada ketidakcocokan antara pemasukan dengan pengeluaran. Fachmi mengatakan pembiayaan perawatan penyakit katastropik selama ini cukup menguras kantong BPJS Kesehatan. Setidaknya ada delapan penyakit katastropik yang akan dipilih untuk dibiayai dengan skema cost sharing.

Delapan penyakit itu adalah jantung, gagal ginjal, kanker, stroke, sirosis hepatitis, talasemia, leukemia, dan hemofilia. Untuk penyakit jantung, misalnya, sepanjang Januari-September 2017 ada 7,08 juta kasus dengan total klaim mencapai Rp6,51 triliun.  Pada 2016, ada 6,52 juta kasus dengan total biaya Rp7,48 triliun. Sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini ada 10,80 juta kasus dari delapan penyakit katastropik yang menguras biaya BPJS Kesehatan senilai Rp12,29 triliun.

Selanjutnya adalah: Jumlah itu setara dengan 19,68% 

Setara

Jumlah itu setara dengan 19,68% dari total biaya pelayanan kesehatan yang dijamin BPJS Kesehatan hingga September 2017.  Adapun permasalahan filosofis fundamental ihwal defisit dana kesehatan masyarakat di sini adalah mengenai kerangka berpikir dan kebijakan pemerintah yang berasumsi bahwa kesehatan masyarakat ditanggung renteng oleh masyarakat sendiri.

Negara hanya membantu mengelolanya dengan ”baik” dan “benar”.  Mengacu pada UUD 1945, menurut Okky Asokawati, negara harus hadir di dalam urusan kesejahteraan rakyat. Jangan sampai kemudian masyarakat diminta membayar dan menanggung sendiri biaya pengobayan penyakit tertentu tersebut.  Kalau masyarakat harus membayar sendiri berarti negara tidak hadir untuk menyejahterakan rakyat.

BPJS Kesehatan terus mencari jalan untuk mengatasi defisit keuangan. Salah satu caranya dengan melibatkan peserta BPJS mendanai biaya perawatan (cost sharing) untuk penyakit yang butuh perawatan medis lama dan berbiaya tinggi (katastropik).

Fachmi masih belum memerinci porsi pendanaan perawatan yang akan dibebankan kepada peserta BPJS Kesehatan. Hingga kini BPJS Kesehatan masih menghitung perincian beban yang akan dibagi bersama peserta JKN. Cost sharing ini tidak akan berlaku bagi seluruh peserta BPJS Kesehatan.

Cost sharing hanya akan berlaku bagi peserta JKN dari golongan mampu atau peserta mandiri. Sekali lagi, mengacu filosofi fundamental dalam UUD 1945 bahwa negara harus hadir di dalam urusan kesejahteraan rakyat. Model cost sharing dan pembayaran kesehatan masyarakat dengan model tanggung renteng itu kurang sesuai dengan semangat UUD 1945.

Dalam model itu artinya masyarakat diminta membayar dan menanggung sendiri biaya pengobatan penyakit tertentu tersebut. Kalau pun sebagian yang ditanggung oleh pasien, lalu yang sebagian lagi itu apakah ditanggung dengan uang negara atau uang rakyat dengan model tanggung renteng?

Selanjutnya adalah: Memanfaatkan kekayaan alam yang sudah tersedia



Kekayaan Alam

Kenapa tidak memanfaatkan kekayaan alam yang sudah tersedia maupun kekayaan alam yang perlu penggarapan? Bukankah Indonesia memiliki kekayaan alam luar biasa yang dapat dijadikan dana likuid untuk mendanai urusan kesehatan, keamanan, dan pendidikan rakyat dengan lebih baik dan berkualitas? Bukankah hal tersebut lebih sesuai dengan amanat UUD 1945?

Terobosan lain yang bisa ditembuh adalah dengan cara meningkatkan kolektibilitas iuran peserta dan memudahkan mereka membayar iuran. Direktur Keuangan BPJS Kesehatan Kemal Imam Santoso mengatakan salah satu kemudahan pembayaran itu antara lain dengan membuat Tabungan Sehat bersama BNI, serta Go-Bills dengan Go-Jek.

Cara lainnya untuk mengatasi defisit adalah menyesuaikan iuran bulanan berdasarkan hitungan aktuaris, mengurangi manfaat yang diberikan, serta menambah dana dengan mengambil persentase dari cukai rokok.

Di antara opsi tersebut, yang paling memungkinkan adalah mengambil beberapa persen dari cukai rokok untuk digunakan sebagai dana kesehatan.

Seorang anggota DPR menyarankan agar pengelola kesehatan masyarakat lebih menekankan transparansi dalam hal keuangan, transparan ketika membuat rencana kerja anggaran tahunan dan transparan dalam membuat perjanjian-perjanjian dengan penyedia pelayanan kesehatan maupun pelayanan obat.

Di samping itu, BPJS Kesehatan harus berkoordinasi dengan Kepala Negara melalui Kementerian Kesehatan sebelum memutuskan kebijakan tersebut.

Hal yang lebih penting lagi adalah masyarakat perlu diubah pola pikirnya.  Selama cara berpikir masyarakat itu masih kuratif, bukan preventif, yaitu kalau mereka sakit ada yang mengobati dan bukan memprioritaskan cara hidup yang benar dan baik, selama itu pula kita akan kebobolan.

Walhasil, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk senantiasa menjaga kesehatan, menjaga lingkungan yang bersih, bebas dari kekumuhan, agar jangan sampai mudah terserang penyakit.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya