SOLOPOS.COM - Hendrat Puryanto (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (29/10/2015), ditulis Hendrat Puryanto. Penulis adalah mantan mahasiswa program S3 Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret dan mantan Ketua Majelis Pengawas Notaris Sukoharjo.

Solopos.com, SOLO — Sengketa tanah di kawasan Taman Sriwedari menjadi kasus yang akhir-akhir ini banyak diberitakan dan didiskusikan. Sengketa kepemilihan lahan ini tampaknya semakin seru dan menarik untuk dikaji.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Bagaimanakah hukum di Indonesia menyelesaikan kasus ini? Hendak dibawa ke mana (quo vadis) sengketa lahan Sriwedari ini? Mari kita ikuti bersama sambil mengawal tegaknya hukum di Indonesia.

Menurut pengamatan saya, tanah di kawasan Taman Sriwedari yang menjadi sengketa tersebut awalnya adalah tanah hak Eigendom (Recht Van Eigendom) Verp. No. 295 yang setelah lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) pada 24 September 1960 dikonversi menjadi tanah hak guna bangunan (HGB) dengan jangka waktu 20 tahun.

Setelah berakhir jangka waktu 20 tahun maka HGB menjadi hapus (Pasal 40 huruf a UUPA) dan tidak diperpanjang oleh pemegang hak, dalam hal ini Wiryodiningrat. Status tanah tersebut kembali menjadi tanah negara, yaitu tanah yang dikuasi langsung oleh negara, dalam putusan Mahkamah Agung No. 3000K/SIP/1981 ahli waris Wiryodiningrat berhak atas penguasaan tanah Sriwedari sampai 23 September 1980.

Setelah menjadi tanah negara, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Solo menerbitkan sertifikat hak pakai (HP) No. 11 dan No. 15 atas nama Pemerintah Kota (Pemkot) Solo. Penerbitan sertitikat HP oleh BPN atas nama Pemkot Solo inilah yang kemudian menjadi sengketa.

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang juga disetujui oleh Mahkamah Agung (MA) tentang membatalkan sertifikat HP No. 11 dan No. 15 atas nama Pemkot Solo. Dengan pembatalan sertifikat HP oleh Mahkamah Agung tersebut maka secara otomatis tanah yang menjadi objek sengketa di Sriwedari ini kembali menjadi tanah negara.

Kekuasaan negara terhadap tanah tersebut menjadi lebih luas dan lebih penuh karena tanah tidak lagi dipunyai seseorang, yang dalam kenyataannya memang telah lama dipelihara (dikelola) oleh negara, dalam hal ini oleh Pemkot Solo, untuk sarana dan kepentingan umum dan juga telah dimasukkan ke dalam daftar aset milik Pemkot Solo.

Kalau kemudian ahli waris Wiryodiningrat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Solo agar Pemkot Solo mengosongkan lahan Sriwedari (pengosongan lahan yang menjadi objek gugatannya, bukan permohonan hak tertentu atas lahan/tanah tersebut), menurut saya, dapat dipastikan gugatan akan ditolak.

Di tanah/lahan tersebut telah berdiri sarana dan prasarana untuk kepentingan umum yang jauh lebih bermanfaat daripada diberikan kepada perseorangan, sedangkan HGB dapat dicabut dengan alasan untuk kepentingan umum (Pasal 40 huruf d UUPA). Ternyata gugatan tersebut telah diputus oleh Pengadilan Negeri Solo dengan amar putusan: gugatan ditolak.

Saya tidak tahu mengapa hakim di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung mengabulkan gugatan pengosongan lahan Sriwedari? Bagaimana dengan status tanah (lahan) Sriwedari tersebut? Tentu masih tetap menjadi tanah negara karena telah lama dikelola atau dipelihara oleh Pemkot Solo atas nama negara untuk sarana dan kepentingan umum.

Bagaimana nantinya keputusan hakim di Mahkamah Agung dalam amar putusan untuk mengadili peninjauan kembali (PK) yang diajukan Pemkot Solo? [Baca: Penguasaan Oleh Negara]

 

Penguasaan Oleh Negara
Dalam susunan kalimat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan jelas dinyatakan: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ini diulangi lagi dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih terkenal dengan UUPA. Pasal ini menyatakan: Bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

lstilah ”dikuasai” dalam ayat ini bukan berarti ”dimiliki”. lstilah ”dikuasai” ini berarti negara sebagai organisasi kekuasaan bangsa Indonesia diberi wewenang untuk melakukan berbagai hal berkenaan dengan tanah. Pemerintah sebagai wakil negara dapat mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.

Kekuasaan negara yang dimaksud dalam Pasal 2 UUPA ini mengenai semua bagian bumi, air, dan ruang angkasa. Kekuasaan ini mencakup tanah yang dihaki oleh seseorang maupun yang tidak.

Terhadap tanah-tanah yang sudah dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum dengan suatu hak tertentu sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf h UUPA, semuanya termasuk dalam wewenang kekuasaan negara.

Berkenaan dengan kekuasaan negara atas tanah-tanah yang sudah dipunyai oleh orang-orang tersebut hubungannya adalah berlainan dengan tanah-tanah negara bebas. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak tertentu dibatasi oleh isi dari hak itu atau sampai seberapa jauh negara memberikan kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya.

Sampai di situlah batas kekuasaan negara. Misalnya, penggunaan tanah HGB dengan pemberian kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk jangka waktu 20 tahun maka kekuasaan negara atas tanah tersebut dibatasi oleh kekuasaan yang mempunyai hak sampai berakhirnya jangka waktu 20 tahun.

Jangka waktu 20 tahun tersebut atas permintaan pemegang hak. Mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktunya dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun (Pasal 31 ayat (2) UUPA). Terhadap jangka waktunya berakhir 20 tahun tersebut hanya merupakan salah satu sebab hapusnya HGB.

Selain itu, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 40 UUPA HGB hapus karena (1). Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; (2). Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; (3). Dicabut untuk kepentingan umum; (4). Ditelantarkan; (5). Tanahnya musnah.

Dalam Pasal 36 ayat (2) ada ketentuan orang atau badan hukum yang mempunyai HGB dank arena sesuatu hal tidak lagi menjadi warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, maka dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak ini kepada pihak lain yang memenuhi syarat.

Mencermati kasus tanah Sriwedari yang awalnya merupakan tanah hak Eigendom kemudian dikonversi menjadi tanah HGB dengan jangka waktu 20 tahun, setelah jangka waktunya berakhir tidak dapat diperpanjang lagi karena sejak semula tanah tersebut telah digunakan untuk kepentingan umum.



Walaupun ada upaya-upaya hukum dari ahli waris Wiryodiningrat untuk berusaha menguasai tanah di Sriwedari dengan gugatan-gugatan mereka, jangka waktu HGB sudah berakhir dan tanah tersebut, sudah bukan rahasia umum lagi, telah lama dikelola Pemkot Solo atas nama negara untuk kepentingan umum.

Tanah yang dimaksud tidak akan diberikan lagi kepada orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum dengan suatu hak tertentu, untuk dipunyai, termasuk kepada ahli waris Wiryodiningrat.

Menurut Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama dalam bukunya yang berjudul Tafsiran Undang-Undang Agraria, dalam hal kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat maka kepentingan perseorangan harus tunduk kepada kepentingan umum.

Dengan demikian status tanah Sriwedari saat ini menjadi tanah negara bebas. Hal tersebut dipertegas putusan Mahkamah Agung yang menyetujui pembatalan permohonan sertifikat HP No. 11 dan No. 15 atas nama Pemkot Solo. Perlu dipertegas, yang dibatalkan adalah sertifikat HP No. 11 dan No. 15, bukan penghapusan aset tanah tersebut dari posisi aset (neraca) Pemkot Solo.

Dengan status tanah Sriwedari sebagai tanah negara bebas, Pemkot Solo atas nama Negara dengan dasar untuk kepentingan umum dapat menguasai tanah negara tersebut dengan lebih luas dan lebih penuh dan juga mempunyai kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya (Pasal 2 UUPA).

Dengan dasar hal-hal seperti tersebut di atas, hendak dibawa ke manakah (quo vadis) sengketa lahan Sriwedari ini? Semuanya sangat tergantung pada hukum yang akan diterapkan terhadap kasus ini. Kepentingan atau hukum positif yang berlaku di Indonesia ini yang akan menjadi pemutus masalah lahan Sriwedari? Kita tunggu saja amar putusan Mahkamah Agung terhadap peninjauan kembali yang diajukan Pemkot Solo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya