SOLOPOS.COM - Joko Tri Haryanto (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Jumat (30/10/2015), ditulis Joko Tri Haryanto. Penulis adalah peneliti di Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.

Solopos.com, SOLO — Rencananya per 1 Januari 2016 pemerintah akan mencabut subsidi listrik secara proporsional sehingga nantinya yang berhak menerima subsidi listrik hanyalah kelompok masyarakat miskin dan rentan miskin.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kebijakan ini akan menghapuskan sekitar 23,3 juta pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dari total 48 juta pelanggan rumah tangga R1/450 VA dan R1/900 VA. Pencabutan subsidi listrik tersebut juga berdampak menurunkan nilai subsidi listrik dari Rp66 triliun menjadi Rp37,3 triliun.

Pemerintah juga sedang mempertimbangkan koordinasi dengan kebijakan lainnya yang sudah dijalankan sehingga pada masa mendatang masyarakat yang berhak menerima subsidi listrik adalah kelompok masyarakat yang sudah masuk dalam daftar penerima Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), serta berbagai skema kesejahteraan lainnya.

Selain rekomendasi dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), pencabutan subsidi listrik tersebut didasari pertimbangan membengkaknya alokasi subsidi listrik setiap tahun dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir.

Pada 2013 alokasi subsidi listrik hanya Rp3,61 triliun. Pada 2010, nilainya melonjak hingga Rp58,11 triliun serta sempat mencapai puncaknya pada 2012 senilai Rp103,3 triliun. Pada 2015 alokasi subsidi listrik tersebut berkurang signifikan menjadi Rp66,2 triliun dan diupayakan untuk berkurang menjadi Rp37,3 triliun pada  2016.

Subsidi listrik mulai dapat dikendalikan pada pertengahan 2014 karena pemerintah tidak lagi memberikan subsidi pada beberapa pelanggan, seperti industri besar, hotel, mal, dan rumah mewah.

Sejak 2003 pemerintah tidak pernah menaikkan tarif listrik untuk rumah tangga R1/450 VA dan R1/900 VA, meskipun biaya produksi listrik sudah meningkat. Akibatnya, subsidi untuk kedua kelompok tersebut kemudian bertransformasi menjadi bom waktu, ditambah dengan persoalan ketepatan dan efektivitas kelompok pengguna.

Menurut data Kementerian Energi dna Sumber Daya Mineral (ESDM), alokasi subsidi listrik pada 2015 per golongan terdiri dari: Rumah Tangga/R1-450 VA subsidinya Rp27,6 triliun, Rumah Tangga/R1-900 VA subsidi Rp27,7 triliun, Industri/I-2 daya 14-200 KVA subsidinya Rp2,5 triliun, Bisnis/B1-2200-5500 VA subsidinya Rp1,6 triliun.

Kemudian, Sosial/S2-3500-200 KVA subsidinya Rp1,4 triliun, Rumah Tangga/R1-1300 VA subsidinya Rp826 miliar, Bisnis/B1-900 VA subsidinya Rp706 miliar, Bisnis/B1-1300 VA subsidinya Rp672 miliar, Sosial/S2-900 VA subsidinya Rp541 miliar, dan Sosial/S2-450 VA subsidinya Rp484 miliar.

Dari data tersebut terlihat bahwa alokasi subsidi listrik untuk golongan R1/450 VA senilai Rp27,6 triliun dan R1/900 VA senilai Rp27,7 triliun, sangat membebani APBN dibandingkan alokasi kelompok pelanggan lainnya. [Baca: Efektivitas Kebijakan]

 

Efektivitas Kebijakan
Meskipun dirasa sangat riskan karena penugasan kepada PT PLN hanya tersisa waktu sekitar dua bulan, tampaknya pemerintah sangat percaya diri mampu menjalankan mekanisme tersebut.

Hal ini didasari keberhasilan reformasi kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sejak tanggal 1 Januari 2015 yang memberikan dampak positif sangat signifikan khususnya dalam meningkatkan celah fiskal yang berujung pada peningkatan alokasi belanja produktif baik infrastruktur, pengentasan kemiskinan, pencapaian target swasembada beras, serta ketahanan pangan dan energi.

Menjadi semakin menarik jika mencermati hasil kajian yang dilakukan oleh enam kelompok perguruan tinggi di Jawa dan Bali terkait dengan kemampuan membayar dan kenaikan tarif listrik golongan R1/450 VA dan R1/900 VA.

Untuk golongan R1/450 VA, rata-rata pengeluaran per bulan untuk konsumsi listrik mencapai Rp34.300, sedangkan pengeluaran konsumsi tembakaunya mencapai Rp145.600, rekening telepon Rp30.000, pulsa handphone (HP) Rp39.400, dan pengeluaran total dalam sebulan mencapai Rp1,6 juta.

Untuk golongan pelanggan R1/900 VA, rata-rata pengeluaran per bulan untuk konsumsi listrik mencapai Rp80.700, sedangkan pengeluaran konsumsi tembakaunya mencapai Rp143.100, rekening telepon Rp142.100, pulsa handphone Rp138.900, dan pengeluaran total dalam sebulan mencapai Rp2,7 juta.

Hal ini membuat miris jika kita bandingkan pengeluaran konsumsi masyarakat untuk listrik, baik di R1/450 VA dan R1/900 VA, ternyata jauh lebih kecil, bahkan jika dibandingkan alokasi pengeluaran untuk rokok dan pulsa handphone.

Kelompok masyarakat inilah yang selalu dilindungi dengan alokasi subsidi listrik dengan justifikasi masyarakat yang miskin dan rentan miskin. Belum lagi fenomena masyarakat menengah kaya yang tetap saja menggunakan rekening meteran R1/450 VA dan R1/900 VA.

Untuk itulah, sudah selayaknya pemerintah memaksa PT PLN untuk memisahkan kelompok masyarakat yang betul-betul layak mendapatkan subsidi listrik pada 2016 demi menciptakan mekanisme subsidi listrik yang tepat sasaran.

Satu hal penting yang perlu diingat bahwa dana saving hasil penghematan subsidi listrik wajib digunakan untuk pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan demi mempercepat peningkatan rasio elektrifikasi serta mengurangi krisis listrik yang terjadi di banyak wilayah di Indonesia. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya