SOLOPOS.COM - Edi Maszudi (Istimewa)

Gagasan Solopos, Selasa (18/8/2015), ditulis Edi Maszudi. Penulis adalah Ketua Pusat Studi Perubahan Sosial dan Pembangunan Politik Tinggal di Jogja.

Solopos.com, SOLO — Pemilihan kepala daerah (pilkada) di Kabupaten Sragen sangat menarik untuk dianalisis dan dicermati. Sragen termasuk daerah yang tertinggal di wilayah Soloraya. Pilkada serentak pada 9 Desember 2015 memberikan banyak pelajaran.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Pilkada Sragen adalah salah satu yang ”meriah” di wilayah eks Karesidenan Surakarta atau wilayah Soloraya karena diikuti empat pasangan calon bupati dan calon wakil bupati.  Duel maut empat pasangan ini mewakili berbagai intrik politik yang bermain di tlatah Sukawati selama 17 tahun era reformasi (2008-2015).

Pasangan calon bupati dan calon wakil bupati Sugiyamto–Joko Saptono  (PDIP dan Partai Demokrat) mewakili pemenang pemilihan umum (pemilu) legislatif 2014. Walaupun menang dalam pemilu legislatif dan pemilihan presiden di Sragen, belum ada jaminan PDIP akan menang dalam pemilihan bupati.

Ekspedisi Mudik 2024

Pasangan calon bupati dan calon wakil bupati Kusdinar Untung Yuni Sukowati-Dedy Endriyanto (Partai Gerindra dan PKS) adalah wujud dinasti politik yang lagi ngetren.  Yuni adalah putri mantan Bupati Sragen Untung Wiyono yang masuk hotel prodeo di Semarang karena kasus korupsi.

Pasangan calon bupati dan calon wakil bupati Jaka Sumanta-Surojogo yang didukung PKB, PAN, dan PPP adalalah pasangan muda dan baru. Pasangan ini tidak mempunyai beban masa lalu dan mempunyai jargon ”Jago untuk Sragen Baru”. Pasangan calon bupati petahana Agus Fatchur Rahman dan calon wakil bupati Joko Suprapto yang di usung Partai Golkar dan Partai Hanura adalah simbol status quo.

Dalam esai ini, saya akan membahas empat masalah. Pertama, bagaimana wajah Sragen selama 17 tahun reformasi? Kedua, bagaimana kinerja kubu petahana yang berkuasa selama dua periode?

Ketiga, mengapa terjadi duel maut dalam pilkada serentak pada 9 Desember 2015 di Kabupaten Sragen? Keempat, pelajaran apa yang bisa dipetik dari pilkada di Sragen tahun 2015?

Sejak berdiri, Kabupaten Sragen dipimpin 10 bupati, yaitu K.R.M.T. Panji Mangun Nagoro (1946–1950); R. Suprapto Wijosaputro (1950-1959);  M. Mustajab (1959–1967); Suwarno Djojomardowo (1967–1973); Srinardi (1973–1974); Sayid Abbas (1975–1980); H. Suryanto P.A. ( 1980–1990); H.R. Bawono (1990–2000); H. Untung Wiyono (2001–2011); dan Agus Fatchur Rahman ( 2011- sekarang ).

Setelah reformasi 1998, yang berarti kini sudah 17 tahun, kabupaten ini pernah dipimpin Bupati Untung Wiyono yang sekarang masuk hotel prodeo. Untung ingin menciptakan dinasti politik yang lima tahun lalu sebab dalam pilkada langsung Kusdinar Untung Yuni Sukowati dikalahkan Agus Fatchur Rahman.

Kekuatan politik lama ini akan berlaga lagi dalam pilkda serentak pada 9 Desember 2015. Pasangan Yuni-Dedy adalah wujud ambisi ”raja-raja kecil” yang ingin mempertahankan kekuasaan dengan segala cara. Calon bupati petahana Agus Fatchur Rahman juga tidak mau lengser dan ikhlas menyerahkan kepemimpinan daerah kepada generasi muda.

Agus ingin berkuasa lagi padahal indeks pembangunan manusia (IPM) Sragen sekarang terendah di Jawa dan kalah dengan Kabupaten Wonogiri. Dengan jumlah penduduk 883.464 jiwa berdasar 2010,  tingkat kepadatan penduduk di Sragen adalah 938,31 jiwa/kilometer persegi.

Dana alokasi umum yajng diperoleh Sragen berdasar data 2013 adalah Rp869.155.540.000. Data ini menunjukkan Sragen termasuk daerah yang padat penduduk dan termasuk daerah tertinggal. Kabupaten Sragen terdiri atas 20 kecamatan  yang dibagi lagi menjadi 208 desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Sragen.

Sragen berlokasi di jalur utama Solo-Surabaya. Kabupaten ini merupakan gerbang utama wilayah Provinsi Jawa Tengah sebelah timur yang berbatasan langsung dengan wilayah Provinsi Jawa Timur. Sragen dilintasi jalur kereta api lintas selatan Pulau Jawa (Surabaya-Jogja-Jakarta).

Stasiun kereta api yang terbesar di Sragen adalah Stasiun Sragen. . Kabupaten ini juga dilintasi jalur kereta api Gundih-Solo Balapan dengan stasiun terbesar di Sragen adalah Stasiun Salem di Kecamatan Gemolong.

Sragen adalah kabupaten yang terkenal dengan situs manusia purba Sangiran, buah melon, buah semangka, dan beras Sragen. Potensi daerah ini sebenarnya sangat besar, hanya sayangnya para bupati yang berkuasa tak begitu peduli terhadap pembangunan infrastruktur jalan dan sistem irigasi. [Baca: Petarungan Menarik]

 

Petarungan Menarik
Pilkada serentak di Sragen pada Desember mendatang diikuti empat pasangan calon bupati dan calon wakil bupati yang meniscayakan peserta pilkada di Kabupaten Sragen harus ”berdarah-darah”, keluar banyak energi dan biaya.

Kubu Yuni-Dedy melambangkan bangkitnya kekuatan dinasti politik yang ingin terus merebut kekuasaan. Yuni yang kali ini berarti kali kedua mencalonkan diri menjadi penguasa di tlatah Bumi Sukawati pasti akan all out atau habisan-habisan.

Seorang pemimpin yang dianggap sukses dalam kajian manajemen modern adalah seorang pemimpin yang mampu menciptakan kader kepemimpinan secara halus, bukan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara.

Untuk berbuat baik bagi tanah kelahiran, bumi pertiwi, tidak harus menjadi orang nomor satu, apalagi membuat dinasti politik. Menurut saya, fenomena dinasti politik sering merusak tatanan demokrasi dan ekonomi.

Lihatlah bagaimana dinasti politik di Provinsi Banten yang membuat provinsi berumur muda di Indonesia itu, lokasinya dekat DKI Jakarta, tetapi prestasinys berada di urutan belakang.  Pasangan Agus Fatchur Rahman-Joko Suprapto atau kubu petahana juga belum kenyang berkuasa.

Agus pernah menjadi wakil bupati, pernah menjadi bupati penerus dan bupati pilihan rakyat. Prestasinya, menurut saya, hanya standar. Sekarang ini jalanan di Kabupaten Sragen banyak yang rusak, ekonomi rakyat tidak tumbuh, dan budaya politik tidak sehat tumbuh subur yaitu money politics dan kampanye hitam. Ini terjadi di antara dua kubu yang mempunyai ”dendam masa lalu”.

Pasangan Sugiyamto–Joko Saptono yang diusung PDIP dan Partai Demokrat tidak mempunyai visi dan misi yang jelas dan terukur. Mereka mempunyai misi meningkatkan mutu pendidikan, akan lebih baik jika menerjemahkannya jadi memberikan jaminan pendidikan gratis 12 tahun.



Pasangan ini terlalu percara diri dengan perolehan suara PDIP dalam pemilu tahun lalu, padahal pilkada mempunyai irama lain dan panggung politik dalam pilkada adalah sangat cair. Sedangkan pasangan Jaka Sumanta-Surojogo adalah pemain baru yang diusung PKB, PAN, dan PPP.

Pasangan ini, menurut saya, lebih visioner dan menjanjikan perubahan. Visi pasangan ini adalah menjadikan Kabupaten Sragen yang makmur, yang memberikan kedamaian, kerukunan, kebahagiaan bagi warganya. Sedangkan misi pasangan Jako juga terukur secara akademik.

Pasangan ini antara lain hendak membudayakan karakter jejeg-jujur di semua tingkatan pemerintahan mulai dari bupati sampai dengan ketua rukun tetangga kemudian dilanjutkan ke masyarakat dari generasi tua hingga anak-anak.

Dengan pengorganisasian yang baik pasangan ini bisa menjadi kuda hitam dalam Pilkada Sragen 2015.  Adanya tiga pasangan lain yang percaya diri ”harus menang” menjadikan pilkada di Sragen rawan bentrokan di akar rumput jika elite politik lokal tidak bersikap dewasa.

Dalam umur yang sudah menginjak 269 tahun, Kabupaten Sragen masih dihadapkan pada berbagai macam tantangan, terutama terkait masalah bagaimana meningkatkan kemakmuran warga.

Fakta mutakhir menunjukkan pendapatan per kapita warga Sragen saat ini sekitar Rp12 juta per tahun, tertinggal dari wilayah sekitarnya di Jawa Tengah yang sudah mencapai Rp18 juta per tahun. Warga Sragen yang miskin masih sangat banyak, lebih dari 143.840 orang atau 15,93% dari jumlah penduduk. [Baca: Hikmah]

 

Hikmah
Ini angka kemiskinan tertinggi dibanding kabupaten lain di sekitarnya di wilayah Soloraya. Agenda untuk mengatasi kemiskinan, mengurangi ketimpangan kesejahteraan antara satu wilayah dengan wilayah lain, kesenjangan perdesaan dan perkotaan, serta kesenjangan wilayah utara dan selatan Bengawan Solo harus menjadi prioritas utama.

Tantangan utamanya adalah mewujudkan Kabupaten Sragen benar-benar menjadi Bumi Sukhavati (Negeri Kebahagiaan), tempat yang memberikan kedamaian, kerukunan, dan kebahagiaan bagi warganya.

Melihat fakta adanya disparitas kemiskinan antardaerah yang terus terjaga dari tahun ke tahun, menurut saya, di Kabupaten Sragen sudah terjadi fenomena lingkaran kemiskinan (poverty circle). Studi ihwal ini menggunakan pendekatan ekonometrika, yaitu persamaan simultan dengan metoda weighted two stages least squares.

Hasilnya mengarah pada adanya fenomena lingkaran kemiskinan, yaitu tingkat kemiskinan suatu daerah merupakan fenomena penyebab dan sekaligus akibat seperti yang dinyatakan oleh Nurkse. Berbeda dengan teori Nurkse yang cenderung pesimistis terhadap masa depan daerah yang terbelakang, ada penelitian lain yang menghasilkan model lingkaran kemiskinan yang lebih optimistis.

Ada peluang bagi daerah yang terbelakang untuk keluar dari jebakan kemiskinan apabila mampu merumuskan dan menjalankan kebijakan antikemiskinan yang mencakup paket sumber daya manusia, prasarana dasar, struktur perekonomian, dan tata pemerintahan yang baik (http://pdeb.fe.ui.ac.id/?p=877).

Dalam pandangan saya, pilkada duel segi empat di Sragen ini akan sangat menentukan masa depan Kabupaten Sragen. Apakah rakyat Bumi Sukawati ingin hidup dalam kerajaan politik yang penuh dengan intrik korupsi?

Apakah warga Sragen ingin mempertahankan mentalitas status quo yang jamaknya melanggengkan budaya korupsi juga? Apakah warga Sragen akan memilih bupati yang baru yang mampu memberikan harapan baru? Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembangunan politik dan budaya demokrasi di Sragen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya