SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Ubed Abdilah Syarif

abdeeki@gmail.com

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Founder Solo Research Network (Sorene) Alumnus Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

 

Beberapa kali saya memfasilitasi peneliti asing yang mengkaji Kota Solo untuk disertasi, tesis, atau penelitian individual dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Berbagai macam topik, khususnya dalam disiplin ilmu sosial, yang menjadi perhatian antara lain perubahan sosial dan politik lokal, perkembangan ekonomi kecil (usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM), kebudayaan dan seni, agama dan relasi antaranggota masyarakat dan isu-isu seputar aksi terorisme-radikalisme.

Hal yang terakhir, soal radikalisme dan aksi teror, cukup mendapat perhatian karena terkait peristiwa-peristiwa internasional serta dugaan jaringan (teror/is) internasional yang beroperasi di Solo. Topik terkini yang juga cukup menonjol diperbincangkan dalam wacana akdemis dan riset sosial adalah kepemimpinan (leadership) Jawa yang merupakan efek dari kemenangan mantan Wali Kota Solo, Joko Widodo, pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 dan kiprahnya dalam setahun masa kepemimpinannya di ibu kota.

Kota Solo (Surakarta) telah lama menjadi objek kajian ilmiah para intelektual baik dari dalam maupun luar negeri. Kota Solo dianggap memiliki keunikan terkait dengan sejarah kota sejak zaman Kerajaan Mataram, zaman pergerakan, masa perang kemerdekaan Republik Indonesia hingga era reformasi.

Kota Solo mewarnai aktivitisme pergerakan kemerdekaan dengan kemunculan organisasi Syarikat Dagang Islam/Syarikat Islam yang dipimpin K.H. Samanhudi, saudagar batik dari kampung Laweyan. Peristiwa monumental lain juga memberi inspirasi pada gerakan nasional.

Misalnya, dari kota ini pertama kali disiarkan siaran radio nasional.  Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama juga diadakan di Solo, kongres PSSI pertama pun digelar di Solo, dan lain-lain. Gerakan oposisi menjelang reformasi muncul di Solo ketika ”perang warna” memicu politik oposisi terhadap identitas hegemonis Orde Baru dengan gerakan ”putihisasi” versus “kuningisasi” dan koalisi Mega-Bintang.

Menilik lebih jauh ke sejarah masa silam, para sejarawan dan ilmuwan sosial melihat Solo sebagai ”laboratorium” penelitian kebudayaan Jawa yang mewarisi kebudayaan dan politik Kerajaan Mataram. Perkembangan konflik di Keraton Solo saat ini juga menjadi daya tarik untuk dikaji.

Muncul pertanyaan bagaimana nilai-nilai budaya Jawa yang luhur bisa diterapkan sementara di jantungnya sendiri, di Keraton Solo, terjadi konflik berlarut-larut setelah meninggalnya Paku Buwono (PB) XII. Kajian para ilmuwan akan membantu agar nilai-nilai budaya Jawa ini eksis lestari dengan cara mengaktualisasikan dan menyelaraskan dengan perkembangan masyarakat kontemporer. Dengan demikian citra Solo sebagai roh budaya Jawa (The Spirit of Java) tetap relevan.

Di antara ahli Indonesia (Indonesianis) asing yang peduli dengan Solo adalah Prof. Nancy K. Florida dari Universitas Michigan, Amerika Serikat. Nancy menghabiskan puluhan tahun untuk belajar budaya Jawa, hidup berbaur dengan lingkungan dalam Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat untuk mendalami budaya keraton hingga ke akarnya.

Dia meneliti dan menerjemahkan naskah-naskah babad (chronicles) klasik Jawa dan mengkritik proyek filologi Barat yang sarat dengan kepentingan kolonial. Kontribusi kajian Nancy antara lain tentang konsep manusia Jawa melalui telaah tasawuf yang ada dalam Babad Jaka Tingkir, karya-karya Ranggawarsita dan telaahnya atas peristiwa sejarah di Kerajaan Mataram Islam dan perang kemerdekaan.

Denys Lombard, seorang Asianist (ahli kajian Asia) dari Prancis yang terkenal dengan karnyanya Nusa Jawa menjadi rujukan para sejarawan yang belajar tentang kerajaan-kerajaan di Jawa, termasuk Kerajaan Mataram.

 

Kajian Kontemporer

Tahun lalu, saya memfasilitasi peneliti dari Jerman, Dr. Susanne Rodemeier, yang tertarik dengan relasi masyarakat Solo yang beragam keyakinan agamanya di tengah isu aksi terorisme dan radikalisme. Poin penting dari perhatian Rodemeier adalah penegasannya bahwa pada akar kultural masyarakat Solo, masih terdapat ikatan-ikatan norma yang menjaga harmoni warga.

Gesekan-gesekan yang memicu tindak kekerasan dan konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) pada masa menjelang tumbangnya rezim Orde Baru serta aksi kriminal yang berbau terorisme lebih dikarenakan faktor dan pengaruh ”orang luar” yang ikut bermain dan mengambil keuntungan.

Beberapa kolega saya yang tengah menempuh studi tingkat doktoral di luar negeri (PhD) juga mengangkat tema seputar Solo. Tema relasi antara kelompok minoritas dan mayoritas, lintas agama dan budaya, merupakan salah satu topik yang ”seksi”.

Pada dasarnya, Kota Solo pada masa kolonial termasuk kota yang sudah cukup maju dengan keragaman anggota masyarakatnya. Sebagai masyarakat kota yang multikultur, Solo mengalami modernisasi sejak era PB X (1893-1939) ketika sarana perkotaan seperti stasiun kereta, trem, pasar, jaringan telepon, dan transportasi darat lainnya sudah dibangun.

Warga Eropa, China, dan Arab yang tinggal di Solo cukup banyak pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Rupanya beberapa fenomena yang mengusik keharmonisan Kota Solo dalam satu atau dua dekade terakhir memunculkan pertanyaan-pertanyaan untuk dieksplorasi. Dalam konteks ini, penelusuran nilai historis dipercaya dapat menemukan kerangka solutif yang dapat mengakomodasi perkembangan Kota Solo saat ini dan di masa depan.

Stigma kota Solo sebagai kota ”bersumbu pendek” disematkan oleh para sarjana karena mudahnya gesekan-gesekan sosial memicu kekerasan (violence). Dalam kaitan ini, telaah para sarjana mengacu pada peristiwa-peristiwa kekerasan cukup besar yang pernah terjadi di Kota Solo.

Stigma ini layak menjadi catatan agar masyarakat Solo secara sadar merefleksikan kondisi faktual dalam mengelola persoalan-persoalan yang timbul sehingga tidak lagi mudah ”terbakar”.  Dalam pandangan saya, masyarakat Solo memang mewarisi kelompok ideologis yang relatif kuat dan kontras secara politis, yaitu Islam militan dan kelompok ”kiri”, dan etnis Tionghoa versus saudagar pribumi di bidang ekonomi.

Dalam wacana politik kontemporer, mantan Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi) telah dianggap sebagai role model bagi kepemimpinan (leadership) yang dibutuhkan saat ini. Jokowi dicatat sebagai salah satu wali kota terbaik dunia oleh lembaga internasional City Mayor Foundation.

Ia juga dianggap sebagai pemimpin yang genuine, dan berpotensi menjadi kandidat kuat presiden pada pemilihan umum tahun 2014. Saya menemukan puluhan judul buku terbitan 2012-2013 yang mengupas ketokohan dan kepemimpinan Jokowi mulai kajian yang ringan hingga ke kajian mendalam terhadap kepemimpinan Jawa dan biografi.

Hal yang penting dari kajian dan penelitian para sarjana itu bisa memberikan manfaat dan bisa dioperasikan untuk perkembangan masyarakat Kota Solo. Sebagai masyarakat yang dinamis, wong Solo dan para pemangku kepentingannya membutuhkan masukan dan rekomendasi bagi arah pengembangan masyarakat di masa depan.

Hasil kajian sosial yang sifatnya rekomendasi dapat diterapkan misalnya dalam bentuk rekayasa sosial (social engineering). Kiranya tepat jika Kongres IX Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS), 23 Oktober lalu, di Universitas Sebelas Maret (UNS) mengangkat tema Pengembangan Ilmu Sosial untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.

Lebih dari itu, bagaimana para ilmuwan sosial itu dapat memberikan kontribusi bagi arah perkembangan masyarakat yang lebih baik melalui hasil kajian dan penelitiannya.

 

Ubed Abdilah Syarif

abdeeki@gmail.com

Founder Solo Research Network (Sorene) Alumnus Pascasarjana Universitas Gadjah Mada



 

Beberapa kali saya memfasilitasi peneliti asing yang mengkaji Kota Solo untuk disertasi, tesis, atau penelitian individual dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Berbagai macam topik, khususnya dalam disiplin ilmu sosial, yang menjadi perhatian antara lain perubahan sosial dan politik lokal, perkembangan ekonomi kecil (usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM), kebudayaan dan seni, agama dan relasi antaranggota masyarakat dan isu-isu seputar aksi terorisme-radikalisme.

Hal yang terakhir, soal radikalisme dan aksi teror, cukup mendapat perhatian karena terkait peristiwa-peristiwa internasional serta dugaan jaringan (teror/is) internasional yang beroperasi di Solo. Topik terkini yang juga cukup menonjol diperbincangkan dalam wacana akdemis dan riset sosial adalah kepemimpinan (leadership) Jawa yang merupakan efek dari kemenangan mantan Wali Kota Solo, Joko Widodo, pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 dan kiprahnya dalam setahun masa kepemimpinannya di ibu kota.

Kota Solo (Surakarta) telah lama menjadi objek kajian ilmiah para intelektual baik dari dalam maupun luar negeri. Kota Solo dianggap memiliki keunikan terkait dengan sejarah kota sejak zaman Kerajaan Mataram, zaman pergerakan, masa perang kemerdekaan Republik Indonesia hingga era reformasi.

Kota Solo mewarnai aktivitisme pergerakan kemerdekaan dengan kemunculan organisasi Syarikat Dagang Islam/Syarikat Islam yang dipimpin K.H. Samanhudi, saudagar batik dari kampung Laweyan. Peristiwa monumental lain juga memberi inspirasi pada gerakan nasional.

Misalnya, dari kota ini pertama kali disiarkan siaran radio nasional.  Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama juga diadakan di Solo, kongres PSSI pertama pun digelar di Solo, dan lain-lain. Gerakan oposisi menjelang reformasi muncul di Solo ketika ”perang warna” memicu politik oposisi terhadap identitas hegemonis Orde Baru dengan gerakan ”putihisasi” versus “kuningisasi” dan koalisi Mega-Bintang.

Menilik lebih jauh ke sejarah masa silam, para sejarawan dan ilmuwan sosial melihat Solo sebagai ”laboratorium” penelitian kebudayaan Jawa yang mewarisi kebudayaan dan politik Kerajaan Mataram. Perkembangan konflik di Keraton Solo saat ini juga menjadi daya tarik untuk dikaji.

Muncul pertanyaan bagaimana nilai-nilai budaya Jawa yang luhur bisa diterapkan sementara di jantungnya sendiri, di Keraton Solo, terjadi konflik berlarut-larut setelah meninggalnya Paku Buwono (PB) XII. Kajian para ilmuwan akan membantu agar nilai-nilai budaya Jawa ini eksis lestari dengan cara mengaktualisasikan dan menyelaraskan dengan perkembangan masyarakat kontemporer. Dengan demikian citra Solo sebagai roh budaya Jawa (The Spirit of Java) tetap relevan.



Di antara ahli Indonesia (Indonesianis) asing yang peduli dengan Solo adalah Prof. Nancy K. Florida dari Universitas Michigan, Amerika Serikat. Nancy menghabiskan puluhan tahun untuk belajar budaya Jawa, hidup berbaur dengan lingkungan dalam Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat untuk mendalami budaya keraton hingga ke akarnya.

Dia meneliti dan menerjemahkan naskah-naskah babad (chronicles) klasik Jawa dan mengkritik proyek filologi Barat yang sarat dengan kepentingan kolonial. Kontribusi kajian Nancy antara lain tentang konsep manusia Jawa melalui telaah tasawuf yang ada dalam Babad Jaka Tingkir, karya-karya Ranggawarsita dan telaahnya atas peristiwa sejarah di Kerajaan Mataram Islam dan perang kemerdekaan.

Denys Lombard, seorang Asianist (ahli kajian Asia) dari Prancis yang terkenal dengan karnyanya Nusa Jawa menjadi rujukan para sejarawan yang belajar tentang kerajaan-kerajaan di Jawa, termasuk Kerajaan Mataram.

 

Kajian Kontemporer

Tahun lalu, saya memfasilitasi peneliti dari Jerman, Dr. Susanne Rodemeier, yang tertarik dengan relasi masyarakat Solo yang beragam keyakinan agamanya di tengah isu aksi terorisme dan radikalisme. Poin penting dari perhatian Rodemeier adalah penegasannya bahwa pada akar kultural masyarakat Solo, masih terdapat ikatan-ikatan norma yang menjaga harmoni warga.

Gesekan-gesekan yang memicu tindak kekerasan dan konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) pada masa menjelang tumbangnya rezim Orde Baru serta aksi kriminal yang berbau terorisme lebih dikarenakan faktor dan pengaruh ”orang luar” yang ikut bermain dan mengambil keuntungan.

Beberapa kolega saya yang tengah menempuh studi tingkat doktoral di luar negeri (PhD) juga mengangkat tema seputar Solo. Tema relasi antara kelompok minoritas dan mayoritas, lintas agama dan budaya, merupakan salah satu topik yang ”seksi”.

Pada dasarnya, Kota Solo pada masa kolonial termasuk kota yang sudah cukup maju dengan keragaman anggota masyarakatnya. Sebagai masyarakat kota yang multikultur, Solo mengalami modernisasi sejak era PB X (1893-1939) ketika sarana perkotaan seperti stasiun kereta, trem, pasar, jaringan telepon, dan transportasi darat lainnya sudah dibangun.



Warga Eropa, China, dan Arab yang tinggal di Solo cukup banyak pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Rupanya beberapa fenomena yang mengusik keharmonisan Kota Solo dalam satu atau dua dekade terakhir memunculkan pertanyaan-pertanyaan untuk dieksplorasi. Dalam konteks ini, penelusuran nilai historis dipercaya dapat menemukan kerangka solutif yang dapat mengakomodasi perkembangan Kota Solo saat ini dan di masa depan.

Stigma kota Solo sebagai kota ”bersumbu pendek” disematkan oleh para sarjana karena mudahnya gesekan-gesekan sosial memicu kekerasan (violence). Dalam kaitan ini, telaah para sarjana mengacu pada peristiwa-peristiwa kekerasan cukup besar yang pernah terjadi di Kota Solo.

Stigma ini layak menjadi catatan agar masyarakat Solo secara sadar merefleksikan kondisi faktual dalam mengelola persoalan-persoalan yang timbul sehingga tidak lagi mudah ”terbakar”.  Dalam pandangan saya, masyarakat Solo memang mewarisi kelompok ideologis yang relatif kuat dan kontras secara politis, yaitu Islam militan dan kelompok ”kiri”, dan etnis Tionghoa versus saudagar pribumi di bidang ekonomi.

Dalam wacana politik kontemporer, mantan Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi) telah dianggap sebagai role model bagi kepemimpinan (leadership) yang dibutuhkan saat ini. Jokowi dicatat sebagai salah satu wali kota terbaik dunia oleh lembaga internasional City Mayor Foundation.

Ia juga dianggap sebagai pemimpin yang genuine, dan berpotensi menjadi kandidat kuat presiden pada pemilihan umum tahun 2014. Saya menemukan puluhan judul buku terbitan 2012-2013 yang mengupas ketokohan dan kepemimpinan Jokowi mulai kajian yang ringan hingga ke kajian mendalam terhadap kepemimpinan Jawa dan biografi.

Hal yang penting dari kajian dan penelitian para sarjana itu bisa memberikan manfaat dan bisa dioperasikan untuk perkembangan masyarakat Kota Solo. Sebagai masyarakat yang dinamis, wong Solo dan para pemangku kepentingannya membutuhkan masukan dan rekomendasi bagi arah pengembangan masyarakat di masa depan.

Hasil kajian sosial yang sifatnya rekomendasi dapat diterapkan misalnya dalam bentuk rekayasa sosial (social engineering). Kiranya tepat jika Kongres IX Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS), 23 Oktober lalu, di Universitas Sebelas Maret (UNS) mengangkat tema Pengembangan Ilmu Sosial untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.

Lebih dari itu, bagaimana para ilmuwan sosial itu dapat memberikan kontribusi bagi arah perkembangan masyarakat yang lebih baik melalui hasil kajian dan penelitiannya.

 



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya