SOLOPOS.COM - Gus Irawan Pasaribu (Istimewa)

Gagasan Solopos, Jumat (14/8/2015), ditulis Gus Irawan Pasaribu. Penulis adalah Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Gerindra.

Solopos.com, SOLO — Pada 4 Agustus 2015 Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan kepastian memperkuat kedudukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). MK mempertegas kedudukan OJK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan secara konstitusional untuk mengatur dan mengawasi  sektor jasa keuangan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dengan putusan MK ini maka sudah tidak ada ruang lagi bagi pihak lain untuk menggugat keabsahan OJK sebagai otoritas di sektor jasa keuangan.

Terlepas bahwa kedudukan OJK memang tidak perlu lagi dipersoalkan, peranan OJK bersama Bank Indonesia (BI) dalam mewujudkan stabilitas keuangan tetap perlu dirumuskan kembali.

Sejak diberlakukannya rezim OJK, kita mengenal pembagian peran BI sebagai otoritas makroprudensial (macroprudential) sedangkan OJK dikenal sebagai otoritas mikroprudensial (microprudential).

Istilah makroprudensial dan mikroprudensial ini belum didefinisikan dan tidak dikenal dalam produk hukum kita, yaitu UU BI dan UU OJK. Peran-peran yang dijalankan oleh kedua otoritas penjaga stabilitas keuangan ini berpotensi over-lapping.

Sesuai dengan Basel Committee for Banking Supervision (2011), sasaran utama pengawasan di sektor perbankan adalah mendorong keamanan dan kesehatan bank dan sistem perbankan.

Dalam yurisdiksi yang sama, pengawas bank (mikroprudensial) secara eksplisit bertanggung jawab terhadap terciptanya stabilitas keuangan atau berkontribusi demi terwujudnya stabilitas keuangan, sebuah tanggung jawab yang biasanya secara implisit atau eksplisit merupakan bagian dari mandat bank sentral.

Pada umumnya kebijakan mikroprudensial menguji respons dari setiap bank terkait dengan risiko-risiko yang bersifat eksogen (exogenous risks) dan tidak berhubungan dengan risiko-risiko yang bersifat endogen (endogenous risk).

Sedangkan sasaran utama dari kebijakan makroprudensial adalah untuk mencegah kerugian jangka panjang terhadap sistem keuangan dari risiko-risiko keuangan yang berdimensi luas.

Tujuan utama dari kebijakan makroprudensial adalah untuk mengatasi eksternalitas negatif dengan bertindak sebagai kekuatan countervailing untuk menurunkan secara alami berbagai risiko. Kebijakan makroprudensial juga bertujuan memitigasi risiko-risiko yang terkait dengan konsentrasi dan koneksitas sektor keuangan.

Baik risiko secara individual maupun yang bersifat sistematis sesungguhnya saling terkait. Faktanya, sistem keuangan yang terkonsentrasi merupakan akibat dari aksi yang dilakukan oleh individual pelaku industri keuangan.

Instabilitas sistem keuangan juga berasal dari instabilitas individual pelaku industri keuangan. Kesehatan individual lembaga keuangan akan menciptakan stabilitas sistem keuangan. Stabilitas sistem keuangan juga berkontribusi bagi terciptanya lembaga keuangan individual yang sehat.

Kondisi ini berpotensi menimbulkan over-lapping karena objek dari kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial itu adalah sama, yaitu lembaga keuangan.

Untuk menciptakan sinergi antara makroprudensial dan mikroprudensial, BI dan OJK harus memiliki mekanisme kerja yang jelas, terstruktur, terukur, sistematis, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun politik.

Kita telah memiliki pengalaman buruk terkait dengan ketidakjelasan pihak-pihak yang terkait dengan tanggung jawab penanganan krisis, misalnya dalam kasus bailout Bank Century pada 2008.

Tidak adanya protokol penanganan krisis yang jelas membuat pembagian kewenangan dan tanggung jawab di antara pihak terkait (BI dan pemerintah) telah menyebabkan kebijakan bailout Bank Century ini menjadi isu politik dan hukum berkepanjangan.

Tentunya kita tidak menginginkan hal serupa terjadi manakala BI dan OJK harus membagi kewenangan dan juga tanggung jawab bila terjadi krisis di sektor keuangan. [Baca: Menuju Sinergi]

 

Menuju Sinergi
Sehubungan dengan hal ini, saya mengusulkan beberapa hal terkait dengan upaya mewujudkan sinergi dalam kebijakan makroprudensial (BI) dan mikroprudensial (OJK).

Pertama, BI dan OJK perlu membentuk komite koordinasi. Komite koordinasi dapat menjadi alat yang berguna bagi BI dan OJK untuk merumuskan atau menjalankan suatu kebijakan.

Saat ini kita telah memiliki Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) yang beranggotakan tiga institusi, yaitu BI, Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).

FSSK ini adalah forum koordinasi, kerja sama, dan pertukaran informasi antara otoritas yang berkepentingan dalam pemeliharaan stabilitas sistem keuangan Indonesia.

Komite koordinasi yang saya usulkan tentunya berbeda dengan FSSK yang selama ini telah berjalan. Sesuai dengan namanya, komite harus merupakan suatu organ yang memiliki struktur yang jelas, prosedur kerja (standard operating procedure/SOP) yang baku, proses pengambilan kebijalan yang jelas, kejelasan lingkup kebijakan yang harus diputuskan dalam komite, jadwal pertemuan yang tetap (tidak bersifat ad-hoc), serta memiliki strategi komunikasi bersama yang kredibel.



FSSK bisa saja menjadi cikal bakal dibentuknya komite koordinasi ini, namun tentunya secara kelembagaan harus diperkuat dan diberikan mandat oleh UU, baik melalui UU Perbankan, UU BI, maupun UU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK).

Kedua, otoritas makroprudensial (BI) dan mikroprudensial (OJK) tentunya memiliki seperangkat alat dan instrumen untuk menjalankan kebijakannya. Untuk menghindari terjadinya over-lapping, toolkits dan instrumen tersebut harus dialokasikan secara tepat kepada masing-masing pemegang otoritas.

Saya mengusulkan dua pendekatan untuk mengatasi over-lapping dalam penggunaan toolkits dan instrumen kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial ini.

Seluruh toolkits dialokasikan kepada otoritas mikroprudensial dengan masukan dari otoritas makroprudensial dan dengan mengalokasikan instrumen-instrumen kebijakan kepada otoritas secara terpisah.

Ketiga, perlu adanya desain institusi yang jelas dan tegas terkait dengan lingkup otoritas makroprudensial dan mikroprudensial. Saya berpendapat, otoritas makroprudensial perlu terlibat dalam mengorganisasikan kebijakan mikroprudensial.

Keterlibatan ini hendaknya tidak menyebabkan otoritas makroprudensial terlibat dalam pengawasan terhadap individu lembaga keuangan. Otoritas makroprudential lebih berperan sebagai market intelligence terhadap perilaku perusahaan.

Sementara itu, mikroprudensial berhubungan langsung dengan individu perusahaan yang nantinya akan menghasilkan sumber informasi utama.

Mengingat bahwa kedudukan dan peran otoritas makroprudensial dan mikroprudensial ini harus memiliki payung hukum maka revisi UU Perbankan, UU BI, dan juga penyusunan UU JPSK menjadi sangat penting untuk disegerakan.

Nantinya ketiga UU itu harus memperjelas fungsi dan tanggung jawab dari kedua otoritas tersebut di dalam sistem dan industri keuangan. Pemerintah, BI, OJK, dan DPR (khususnya Komisi XI) memang harus kembali duduk untuk mencari formulasi revisi dan penyusunan ketiga UU tersebut. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya