SOLOPOS.COM - Sabar P. Situmorang (Istimewa)

Gagasan Solopos, Sabtu (24/10/2015), ditulis Sabar P. Situmorang. Penulis adalah wirausahawan dan alumnus Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Penulis juga mentor bisnis di MBA-ITB.

Solopos.com, SOLO — Ketika saya mengikuti ASEAN SMEs Conference 2015: One Business One Community (konferensi tentang usaha kecil dan menengah di ASEAN) di Kuala Lumpur, Malaysia, beberapa waktu lalu, ada enam topik besar yang menjadi materi pembicaraan, yaitu potensi usaha kecil dan menengah (UKM), teknologi, wirausahawan muda, keuangan, merek, dan inovasi.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Saya menjadi berpikir dan bertanya mengapa perihal kreativitas, khususnya ekonomi kreatif, tidak menjadi topik pembicaraan yang penting bagi negara-negara ASEAN yang segera memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir 2015 ini?

Di negeri kita ekonomi kreatif sangat mendapat perhatian khusus. Ini  makin menambah rasa penasaran saya. Jika kita merujuk pada kajian yang mengulas perihal ciri-ciri masyarakat yang berekonomi sukses, maka ada 10 ciri-ciri kekuatan yang menonjol dari masyarakat tersbeut.

Ciri-ciri itu adalah produktivitas (daya hasil), otentisitas (ketulenan), adaptif (daya suai), fleksibilitas (keluwesan), analitis (ketajaman), sensitivitas (kepekaan), otonom (kemandirian), agnostik (kekritisan), progresivitas (daya maju), dan determinasi (daya pasti).

Pertanyaannya, mengapa kekuatan kreativitas tidak disebut secara spesifik sebagai ciri-ciri kekuatan masyarakat berekonomi sukses? Ada apa dengan kreativitas yang justru dijadikan motor ekonomi kreatif dan sisi keunggulan bersaing (competitive edge) untuk kekuatan ekonomi nasional oleh pemerintah kita dalam satu dekade terakhir?

Menurut saya, telah terjadi sesat pikir (dilution) di masyarakat kita dalam memahami perihal kreativitas. Kreativitas cenderung dilihat sebagai suatu praktik yang berdiri sendiri. Kreativitas secara gampang dianggap sebagai proses yang ujug-ujug.

Sejatinya kreativitas adalah kronologi dari produktivitas. Artinya, kreativitas`menjadi ekstensi alami dari kekuatan produktivitas (lihat: ciri kekuatan pertama di atas). Dapat dikatakan bahwa ekonomi kreatif bukanlah bentuk praktik ekonomi ujug-ujug yang secara dangkal bermain di tataran permukaan belaka.

Ekonomi kreatif sejatinya adalah kronologi dari ekonomi produktif yang telah mengalami peningkatan kemanfaatan untuk alasan nilai tambah (addedvalue) dan daya saing (competitiveness).

Sangat masuk logika ketika banyak negara berekonomi sukses di dunia sampai saat ini merasa tidak perlu memiliki kementerian atau lembaga yang spesifik menangani ekonomi kreatif. Mengapa?

Ekonomi kreatif sebenarnya hanya langgam (gesture) dari praktik produktivitas masyarakat suatu negara. Di sini peran ekonomi produktif sejatinya adalah awak (posture) yang menjadi hulu dari praktik ekonomi suatu negara.

Tiongkok adalah contoh sempurna suatu negara di dunia ini yang tidak pernah lebay bicara soal ekonomi kreatif, namun produk mereka merajalela di seantero dunia. Mengapa? Masyarakat Tiongkok tahu benar fondasi utama ekonomi yang sebenarnya adalah praktik nilai-nilai produktivitas dalam perilaku ekonomi sehari-hari.

Coba cari, negara mana di jagat ini yang tidak didatangi produk buatan Tiongkok? Begitupun di masa kini, negara mana di dunia ini yang tidak didatangi manusia Tiongkok? Nyaris tak ada! Di konferensi ASEAN SMEs tersebut perusahaan raksasa belanja daring Tiongkok, alibaba.com, hadir dan menjadi bintang panggung forum.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari 10 ciri-ciri kekuatan masyarakat berekonomi sukses di atas untuk menyongsong MEA 2015 ini? Dari 10 negara ASEAN (Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, Myanmar, Laos, Filipina, Thailand, Brunei, dan Kamboja) hanya Indonesia yang bikin lembaga khusus untuk mengurusi ekonomi kreatif, yaitu Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), yang sebelumnya berada di dalam institusi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). [Baca: Glorifikasi]

 

Glorifikasi
Sudah saatnya kita segera membenahi praktik ekonomi kreatif dengan pulang ke konteks nilai-nilai produktivitas yang asasi dalam aktivitas ekonomi masyarakat sehari-hari. Etos kerja dan berekonomi masyarakat  Tiongkok, termasuk juga para diasporanya di seantero dunia, membuktikan buah sukses hari-hari ini.

Untuk kita yang sudah telanjur mengglorifikasi ekonomi kreatif sebagai kebijakan ekonomi nasional, apakah sebelumnya sudah memperoleh konfirmasi kekuatan fondasi produktivitas (disiplin, hemat, sabar, berinisiatif, cermat, efektif, efisien, guyub, konsisten, ulet, dan resilien) benar-benar membudaya kuat di masyarakat?

Potong kompas tanpa kesiapan fondasi nilai-nilai produktivitas alias loncat sirkus untuk masuk ke etape ekonomi kreatif serta terjebak di zona paradise creativity (pelaku yang elitis, serapan konten lokal rendah, sarat pencitraan, harga tinggi, produk sangat ceruk, daya serap sumber daya manusia rendah) sejatinya bukanlah pilihan yang cerdas bagi konteks ekonomi nasional.

Realitas piramida demografis dan psikografis masyarakat Indonesia masih menampakkan banyak persoalan produktivitas di tengah kuatnya tekanan pasar bebas seperti saat ini. Mayoritas masyarakat kita di piramida bawah secara ekonomi, pendidikan dan sosiokultural mendesak untuk dikuatkan agar secara berkeadilan dapat mengambil peran sebagai pelaku, tidak hanya sekadar pasar.

Ekonomi kreatif yang fakir kekuatan fondasi nilai-nilai produktivitas masyarakat hanya akan menciptakan arsitektur ekonomi yang semu. Dibutuhkan putaran balik (u-turn) untuk membenahi ruang kosong produktivitas yang terbengkalai selama ini.

Jika tidak, Indonesia hanya akan menjadi bulan-bulanan subordinasi ekonomi regional MEA bahkan subordinasi ekonomi global yang berujung asimetri!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya