SOLOPOS.COM - Yeni Mulati, Penulis dan pemimpin penerbitan di Solo Simpatisan Partai Keadilan Sejahtera

Yeni Mulati, Penulis dan pemimpin penerbitan di Solo Simpatisan Partai Keadilan Sejahtera

SOLOPOS edisi 16 Mei memuat artikel Imam Subkhan yang berjudul PKS Terautolisis. Tema yang aktual dan cukup menarik perhatian publik. Istilah ”autolisis” yang disampaikan Imam memang unik. Istilah ini tak lazim di sebuah artikel tentang politik. Penggunaan kata ini terkesan lebih santun dan ilmiah dibandingkan ”pembusukan” sebagaimana yang dituliskan Imam saat mendefinisikan kata ”autolisis”.

Promosi Mabes Polri Mengusut Mafia Bola, Serius atau Obor Blarak

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ”autolisis” adalah perombakan tubuh organisme yang mati oleh enzim tanpa bantuan bakteri. Kamus Lengkap Biologi yang disusun Abercrombie, Hickman dan kawan-kawan (1997) mendefinisikan “autolisis” sebagai penghancuran diri yang dialami jaringan setelah kematian sel-selnya atau selama metamorfosis atau atropi yang melibatkan kegiatan lisosom di dalam sel.

Sejatinya, autolisis justru sebuah mekanisme yang sangat diperlukan oleh individu. Sel-sel yang rusak dihancurkan dalam proses autolisis dengan bantuan lisosom. Sel dihancurkan seutuhnya dan secara bersamaan akan diproduksi sel baru melalui reproduksi secara mitosis dari sel yang berdekatan untuk menggantikan sel yang sudah dihancurkan tersebut (Guyton & Hall, 2008).

Jadi, autolisis adalah sebuah mekanisme penting untuk mempertahankan hidup organisme dengan cara pembuangan sel-sel yang sudah rusak dan mati sehingga akan mencegah berbagai gangguan dan penyakit yang berkaitan dengan zat-zat toksik, yang kita dapatkan setiap hari lewat asupan makanan kita.

Jika Imam justru menjadikan autolisis sebagai pengiasan tentang apa yang bakal terjadi pada Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebenarnya secara tidak langsung Imam sedang mendoakan PKS untuk segera melakukan mekanisme yang akan memperkuat tubuh PKS dan membuat PKS kian bugar sepanjang masa. Sebenarnya, itulah harapan kita semua. Bukan hanya kepada PKS, tetapi juga partai politik (parpol) lain. Sistem politik di negeri ini adalah demokrasi. Setiap lima tahun, pemilu diselenggarakan untuk memilih wakil rakyat.

Menguatkan parpol-parpol dengan cara melakukan kritik konstruktif agar mereka bebenah dan terus-menerus meningkatkan profesionalisme serta mendukung hal-hal positif dari apa yang mereka lakukan jauh lebih solutif daripada sekadar melanggengkan sikap skeptis dan apatis. Apalagi menyematkan sebuah label sebagaimana yang dituliskan dalam artikel  Imam, “Kita tahu, di dunia politik hampir tidak mengenal kata ‘haram’ untuk berbuat segala sesuatu, demi mencapai tujuan yang kita inginkan. Segala cara akan ditempuh. Segala kekotoran dan kekejian ada di panggung politik. Para ulama sepuh mengibaratkan politik sebagai WC (water closet) di rumah kita…”

Opini semacam itu justru memperkeruh masalah, justru akan membuat masyarakat kita kian antipati terhadap politik. Apakah betul politik itu kotor? Ini tentu akan menjadi satu kajian lain yang membutuhkan analisis komprehensif. Sebuah opini bisa dimasukkan dalam jenis wacana eksposisi. Menurut Ismail Marahaimin (2001), eksposisi artinya menyingkapkan. Sesuatu yang disingkapkan itu adalah sesuatu yang selama ini tertutup, terlindung atau tersembunyi.

Dalam wacana eksposisi dikenal istilah tesis, kelas-kelas pembuktian dan kesimpulan. Tesis adalah inti eksposisi, opini yang ingin ”dipaksakan” agar pembaca menjadi yakin dan percaya. Untuk menguatkan, penulis memerlukan kelas-kelas pembuktian. Tesis akan dikuatkan di kesimpulan. Kelas-kelas ini, biasanya berupa data atau referensi dari sumber-sumber tertentu.

Pada opini PKS Terautolisis, Imam membuat beberapa tesis yang sebagian ingin saya komentari. Menurut Imam, PKS adalah partai yang mengalami pembusukan (bukan autolisis) yang disebabkan oleh perubahan mental dan moral para elitenya yang begitu besar syahwat terhadap kekuasaan, yang akhirnya menanggalkan idealism dan garis perjuangan para partai.”

Tesis ini ditutup dengan sebuah kesimpulan sebagaimana termaktub di paragraf terakhir: Oleh karena itu, bukan tidak mungkin dengan berbagai kasus yang menyandera, PKS bakal ditinggalkan banyak kader dan konstituennya. Tidak ada lagi kepercayaan. Dan diprediksikan para Pemilu 2014, perolehan bakan terjun bebas dan menjadi partai gurem yang tinggal menunggu kehancurannya.”

Untuk mendukung tesis dan kesimpulan itu, Imam mencoba mengajukan kelas-kelas pembuktian, antara lain PKS yang digoncang dengan kasus moral dan hukum. Ada tiga kasus yang disebut, kasus Arifinto, letter of credit (LC) fiktif Misbakhun dan (yang disebut sebagai puncak), Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kasus Arifinto jadi tamparan dan aib yang luar biasa besar bagi PKS. PKS telah berusaha menyelesaikan permasalahan ini dengan memberhentikan kader tersebut dari posisi sebagai anggota DPRD, tetapi ini jadi aib yang sulit ditutupi. Mekanisme penjagaan internal PKS yang diklaim kuat dan harus benar-benar dibuktikan agar publik percaya bahwa PKS memang serius membina kader-kadernya. Ibaratnya, setinggi apa pun posisi kader, PKS harus berani memberikan sanksi yang keras jika terbukti bersalah.

Dalam kasus LC fiktif, Misbakhun dinyatakan tak bersalah dan divonis bebas (setelah menjalani hukuman beberapa saat di penjara). Sedangkan kasus LHI hingga kini masih dalam proses hukum dan belum ada keputusan. Imam juga menyoroti soal merosotnya moral dan mental para elite PKS dan dihinggapi virus-virus hedonisme. Akan tetapi, fakta yang Imam ketengahkan juga merupakan kelas pembuktian yang tak terukur. Apa parameter merosotnya moral dan mental itu? Apakah karena beberapa elite PKS berpoligami? Atau, karena mereka memiliki mobil dan rumah mewah?

 

Tak Terukur

Tentang ideologi partai yang berubah menjadi partai terbuka, termasuk menerima kader nonmuslim, sekuler dan para artis yang tak jelas jejak rekamnya, Imam tak secara detail menyebutkan siapa contoh-contoh kader nonmuslim, sekuler dan artis yang tak jelas rekam jejaknya itu. Imam juga tak menjelaskan berapa persen jumlah mereka dibandingkan dengan keseluruhan total kader partai ini dan apa efek negatifnya bagi PKS dan negeri ini pada umumnya.

Dengan kelas-kelas pembuktian tak terukur, sebagian tak detail, dan bahkan ada yang salah (kasus LC Misbakhun), apakah tesis dan kesimpulan Imam bisa diterima? Lepas dari itu, tentu PKS bukan parpol yang sama sekali bersih. Penilaian bahwa PKS menanggalkan jargon ”bersih dan peduli” karena ”keberatan menyangga” menjadi ”cinta, kerja, harmoni”, menurut saya, juga tak mengada-ada.

Bersih itu bukan jargon, tapi kata sifat, yang akan melekat dengan sendirinya sebagai nilai atas sebuah kinerja. Kata sifat akan disematkan oleh publik sebagai hasil penilaian atas sesuatu yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang. Ketika Imam memilih kata ”autolisis”, sejatinya saya sangat bersepakat, tetapi tentu bukan pada autolisis yang diistilahkan Imam, melainkan autolisis pada istilah yang lebih positif, yaitu proses peremajaan diri dengan menghancurkan sel-sel rusak dengan sel-sel baru.

PKS perlu menghancurkan seluruh sel-sel yang busuk dalam jaringan dan organ-organnya dan mengganti dengan sel-sel baru yang lebih berkualitas. Kita semua berharap proses autolisis itu juga diikuti partai-partai lain sehingga iklim demokrasi di negeri ini menjadi lebih baik, sehat dan sesuai dengan nurani rakyat. (afifahafra@yahoo.com).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya