SOLOPOS.COM - Purnawan Andra, Sinau kabudayan (Jawa) ing Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Purnawan Andra, Sinau kabudayan (Jawa) ing Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta
Purnawan Andra, Sinau kabudayan (Jawa) ing Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Kota Solo memiliki dinamika panjang dalam sejarah. Berkembang dari sebuah desa kecil di dekat sungai, kota ini dipilih menjadi Ibu Kota Kerajaan Mataram Islam lalu berkembang menjadi pusat kebudayaan Jawa. Hal ini wajar mengingat posisi keraton yang menjadi penjaga kosmos budaya Jawa, yang mencakup mental, perilaku, pemikiran, sampai dengan ekspresi dalam laku hidup sehari-hari.

Sebagai pusat kerajaan, Susanto (2009) mencatat bahwa Solo telah menjadi bagian dari jaringan dagang global melalui perdagangan batik. Hasil dari ekspresi budaya Jawa lewat seni lukis kain-yang tadinya menjadi salah satu materi pendidikan untuk kaum perempuan di keraton-telah menjadi komoditi ekspor dan menjadi pesaing penjajah Belanda pada masanya. Sejarah enterpreneurship ini makin berkembang seiring dengan tumbuhnya industri batik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat etnis Arab dan China.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tidak hanya itu, kesenian Jawa yang halus dan rumit seperti seni tari, karawitan, serta wayang (wong dan kulit) juga berkembang seiring dengan dinamika dan kompleksitas sosial penduduk kota yang semakin beragam. Tercatat nama Gan Kam, Lie Wat Djien, Lie Sien Kuan menjadi pelopor bisnis hiburan wayang wong di Solo. Di bidang musik (keroncong), selain Orkes Keroncong Bunga Mawar yang dipelopori Gesang, juga terdapat kelompok Orkes Keroncong Asli yang lahir di rumah Tan Tian Ping di kampung Perawit dengan personil para warga keturunan (Susanto dalam Margana & Nursam (ed.), 2010: 43). Dalam konteks interaksi kultural, sikap adaptif sebagai pola interaksi sosial masyarakat China yang melebur terhadap nilai-nilai dan unsur-unsur seni budaya Jawa ini menciptakan kedekatan positif di dalam masyarakat yang ada di Solo.

Tapi dalam kenyataannya, kedua jenis interaksi ini kerap kali tidak bertemu. Dalam interaksi sosial timbul masalah kesenjangan yang bersifat laten dan kadang-kadang menjadi penyulut timbulnya kerusuhan.

Sesuai catatan sejarah (1743, 1911, 1965, 1980, 1998), di Solo sering kali terjadi kekerasan kolektif berupa kerusuhan yang sering kali menempatkan masyarakat China sebagai korban. Sering kali pula sentimen anti-China tersebut dimanipulasi dalam bentuk tekanan politik, tindak kekerasan, atau diskriminasi yang dikemas dalam bentuk nasionalisme atau ekonomi nonpribumi.

Terlebih dengan Inpres No. 14/1967 tentang Pelarangan Seluruh Bentuk Kesenian dan Kebudayaan China untuk Dipertontonkan di Khalayak Umum, membuat masyarakat keturunan China yang ada di Indonesia seakan terpasung keberadaannya. Meskipun Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kemudian mengeluarkan Kepres No. 6/2000 yang mencabut Inpres No. 14/1967, isu rasial ini, yaitu isu kita dan mereka, pribumi dan nonpribumi masih tetap menjadi masalah laten di Indonesia hingga kini. Padahal dalam kenyataannya apa yang direpresentasikan sebagai Indonesia adalah sebuah realitas yang sesungguhnya sangat bineka.

Dalam realitas sosial, orang-orang etnis China senantiasa mendapat stigma dan citra jelek. Padahal dalam realitas kultural, orang-orang etnis China ikut berperan dalam pembentukan dan pengembangan kebudayaan setempat. Mereka menjadi unik ketika beberapa di antaranya diberi gelar kehormatan, dijadikan penasihat raja, hingga masuk dalam lingkungan keraton. Realitas sosial ini jelas bertolak belakang dengan realitas kultural.

Contoh lain kasus kontradiksi realitas yang menimpa masyarakat keturunan China di Solo adalah Kho Ping Hoo (KPH), penulis cerita silat legendaris yang lahir di Sragen 17 Agustus 1926. Selama 30 tahun berkarya (1960-1990), KPH menghasilkan lebih dari seratus judul karya seperti Bu-Kek Sian-Su, Pendekar Super Sakti, Pedang Kayu Harum, Pendekar Budiman, dan lainnya. Pembacanya dari semua lapisan masyarakat. Mulai rakyat kecil, selebritis hingga intelektual, dan pejabat tinggi serta bukan terbatas kalangan etnik Tionghoa, tetapi kebanyakan justru pribumi.

Dengan pengetahuan yang dilengkapi imaji dan fantasinya, KPH mengarang cerita-ceritanya. Menurut Ardus M. Sawega (ed.) (2012), meski ber-setting China daratan, cerita-cerita silat KPH terasa tidak asing bagi pembaca di Tanah Air. Sebab sesungguhnya ia bermain dalam alam pikir Indonesia, atau bahkan Jawa. Hal ini terasa pada falsafah atau ajaran kebaikan hidup melalui tokoh-tokohnya. KPH juga membumi dengan menghasilkan novel bertema sejarah Indonesia seperti Badai Laut Selatan dan Darah Mengalir di Borobudur (pernah dipentaskan berulang kali dalam bentuk sendratari Jawa dan disiarkan dalam bentuk sandiwara radio pada pertengahan 1970-an), selain roman percintaan, perjuangan, bahkan detektif. Bisa jadi dengan gaya narasi lokal itu, kisahnya menginspirasi pengarang-pengarang pribumi untuk melahirkan kisah-kisah kepahlawanan legendaris seperti Nagasasra Sabukinten, Bende Mataram, dan lainnya.

Tokoh Rekonsiliasi

Karya-karya dengan tema dan cara pengolahan yang kontekstual sehingga mampu mengakar di kalangan pembaca yang amat luas sampai hari ini, di satu sisi membuat KPH mampu menjadi tokoh rekonsiliasi antara mereka yang berbau China dengan realitas etnik China di Indonesia. Alih-alih berdalil tentang China, Tionghoa, Tiongkok, atau apapun sebutannya, KPH membuat kita segera melupakan tentang persoalan suku, agama, ras dan golongan yang menegangkan itu. Justru lewat cerita silat ber-setting China, KPH diam-diam justru menumbuhkan apresiasi dan semacam rasa cinta pembacanya kepada China, baik terhadap rakyat maupun lingkungan alamnya. Ia satu-satunya pengarang cerita silat di Indonesia yang sejak semula mengumandangkan pembauran pribumi dan nonpribumi. Karya-karya KPH menjadi produk migrasi literer, yang mempengaruhi pendefinisian identitas Tionghoa-Indonesia, suatu isu aktual terkait multikulturalisme negeri ini.

Dari Penerbit Gema miliknya yang ada di Mertokusuman, Gandekan, Solo, karya-karya KPH bisa menjadi sebuah dokumen budaya yang berguna untuk lebih memahami Indonesia, menjadi media yang relevan mengidentifikasi berbagai problem nasional, khususnya dalam bidang kebudayaan. Sebuah bangsa yang plural dengan segala keragaman budayanya mesti dipandang dan dihargai sebagai sebuah mosaik multikultur dengan keunikannya masing-masing, tanpa perlu diseragamkan dalam sebuah persatuan semu yang monolitik.

Karya-karya KPH bukan sekadar alat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri. Juga tidak sekadar memiliki fungsi secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Pemahaman etika estetis semacam ini mutlak diperlukan untuk membangun simpul budaya sehingga sejarah sosial, tradisi, dan akar kedirian kita dapat terbangun dengan baik. Muaranya adalah kerukunan antarsesama dan mewujudkan masyarakat multikultural yang berbudaya dan beradab. Tidak hanya di Solo, tapi di seluruh Indonesia. Selamat Hari Raya Imlek 2014.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya