SOLOPOS.COM - Ilustrasi sekolah (JIBI/Solopos/Antara)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (6/2/2018). Esai ini karya Agus Kristiyanto, guru besar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan dosen pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Alamat e-mail penulis adalah aguskriss@yahoo.co.id.

Solopos.com, SOLO–Awal Februari 2018 beberapa grup fasilitas perpesanan Whatsapp dipenuhi unggahan berantai dengan tajuk Kado buat Bapak dan Ibu Guru.

Promosi Championship Series, Format Aneh di Liga 1 2023/2024

Inti unggahan itu adalah penjelasan singkat yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang menegaskan guru dibenarkan memberikan hukuman kepada siswa atau peserta didik asalkan sifatnya mendidik.

Pada pasal tertentu ada penjelasan guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, perlakuan tidak adil dari peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.

Ironis dengan ”kado indah buat guru” itu, pada saat bersamaan muncul konten viral di media sosial maupun berita di media massa tentang meninggalnya seorang guru di sebuah SMAN di Sampang, Madura, setelah dianiaya oleh murid dia sendiri.

Tentu saja itu peristiwa membikin miris. Kasus ini mungkin tidak setara dengan kekerasan yang biasanya dilakukan oleh beberapa ”guru kasar” terhadap para murid di tempat lain. Sangat sulit dimengerti bahwa ada kejadian sebrutal itu yang dilakukan murid terhadap guru.

Ekspedisi Mudik 2024

Terdapat banyak faktor yang dapat digunakan sebagai penjelas atas munculnya fenomena tersebut, tetapi yang pasti bahwa ada ketidakramahan suasana sekolah. Bagaimana mungkin lingkungan yang seharusnya menjadi tempat interaksi pembelajaran yang mengedukasi justru dirusak dengan perilaku kekerasan?

Lebih ironis lagi, kekerasan dilakukan oleh murid terhadap guru. Sekolah ramah anak (SRA) atau child friendly school (CFS) pada intinya merujuk pada sekolah idaman yang secara sadar berupaya menjamin dan memenuhi hak-hak anak dalam setiap aspek kehidupan secara terencana dan bertanggung jawab.

Tidak ada diskriminasi di dalamnya dan tiap anak mempunyai hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Secara teknis kemudian hakikat dari SRA tersebut dapat dikerucutkan pada berbagai indikator kunci yang setidaknya ada enam pilar. Pertama, tersedianya kantin yang sehat. Hal ini berhubungan dengan urusan nutrisi yang sehat dan layak dikonsumsi anak ketika di lingkungan sekolah.

Selanjutnya adalah: Banyak ancaman yang terus mengintai anak

Banyak Ancaman

Terdapat banyak ancaman yang terus mengintai anak tatkala anak terlalu bebas membeli makanan di lingkungan luar sekolahan yang dijajakan penjual makanan dan minuman yang tidak bertanggung jawab.

Kedua, bebas dari rokok. Sekolahan harus dijauhkan dari hal-hal yang berhubungan dengan rokok. Sekolahan didesain sebagai lingkungan teladan yang menjauhkan anak dari rokok. Tidak ada asbak di sekolahan, tidak ada ruangan khusus untuk perokok, dan tidak ada orang yang merokok di sekolahan.

Kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi harus menjadi teladan utama bagi para siswa di sekolahan. Ketiga, bebas dari minuman keras (miras) dan narkotika serta obat-obat berbahaya (narkoba).

Langkah ini bukan hanya dilakukan dengan sekadar memajang tulisan besar dan spanduk di pintu masuk sekolahan dan di berbagai ruang dan sudut sekolahan. Tidak cukup memasang spanduk ”prestasi yes, narkoba no”.

Keempat, bebas dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender yang ditengarai semakin tampak dalam kehidupan modern dengan cara bergaul yang semakin bebas. Tidak menutup kemungkinan bahwa kelompok ini juga menggunakan para siswa sebagai sasaran.

Penularan perilaku seksual yang menyimpang ini dilakukan secara khas dan dilakukan oleh pelaku secara tersembunyi, tersamar, atau terang-terangan. Kelima, bebas dari praktik diskriminasi. Kata kuncinya adalah seluruh kebijakan sekolah, proses akademis, serta komunikasi antarwarga sekolah benar-benar terbebas dari diskriminasi.

Setiap anak atau peserta didik memiliki hak untuk berkembang sesuai dengan potensi masing-masing. Tidak boleh ada sekat yang dibuat berdasarkan agama, suku/ras, jenis kelamin, status sosial orang tua, dan sebagainya.

Keenam, bebas dari kekerasan. Lingkungan sekolah menerapkan situasi pragmatis agar anak tidak jadi korban kekerasan dan atau anak sebagai pelaku kekerasan. Artinya, bebas dari kekerasan adalah bermakna sebagai kondisi yang ideal bagi setiap anak sehingga tidak menjadi korban kekerasan (fisik, mental, sosial) sekaligus tidak membiarkan anak menjadi pelaku kekerasan di dalam maupun di luar lingkungan sekolah.

Pilar bebas dari kekerasan tampaknya merupakan tema yang aktual terkait dengan perilaku destruktif yang dilakukan oleh para peserta didik yang kian terdeteksi.

Selanjutnya adalah: Banyak yang khawatir anak menjadi korban kekerasan

Khawatir

Selama ini banyak yang khawatir anak menjadi korban tindak kekerasan, tapi fakta yang terjadi semakin mengemuka bahwa banyak anak yang justru menjadi pelaku tindak kekerasan.

Tanpa bermaksud memaklumi perilaku mereka, perkelahian massal antarsekolah mungkin menjadi berita yang biasa setelah ada beberapa kejadian murid justru melakukan tindak kekerasan terhadap guru.

Untuk menciptakan kondisi ideal sekolah yang ramah untuk semua, perlu ditambahkan lingkungan sekolah yang memadai sebagai pilar ketujuh SRA, yaitu terdapatnya ruang untuk bermain dan aktivitas fisik di lingkungan sekolahan.

Ketersediaan ruang tersebut menjadi dasar bagi terbentuknya sekolahan yang ramah kepada anak. Bagi kebanyakan anak, sekolahan merupakan lingkungan keluarga kedua. Tidak sedikit yang menaruh harapan sekolah sebagai tempat ekspresi nyaman dan aman untuk bergerak secara leluasa.

Mereka tentu berharap konsep kelas bukan hanya berupa ruangan berukuran 64 meter persegi yang diisi kursi, meja, dan 40 orang siswa. Mereka akan nyaman jika sekolahaan juga memiliki ruang terbuka dan/atau tertutup yang bisa digunakan untuk berekspresi secara fisik, bergerak, aktivitas sosial, dan relasi relasi dinamis.

Mereka juga butuh bangsal atau aula yang bisa digunakan untuk bermain dan bergerak. Ruang yang layak bagi siswa untuk melakukan aktivitas fisik, bergerak, dan beraktivitas sosial pada gilirannya akan mengarah pada terbentuknya siswa yang aktif dan kuat secara sosial.

Karakter egois, individualis, dan beringas  bisa jadi merupakan dampak dari berkurangnya ruang untuk berinteraksi secara sosial antara individu dengan individu lain, antara individu dengan kelompok, atau antara kelompok satu dengan kelompok yang lainnya.

Sensitivitas perilaku manusia yang memicu keberingasan konon semakin tinggi manakala semakin sempit kepemilikan ruang. Dalam sebuah wawancara di televisi swasta, seorang psikolog terkenal pernah memaparkan bahwa orang yang hidup di Jakarta memiliki sensitivitas yang tinggi atas orang lain.



Selanjutnya adalah: Kemacetan kian parah, tekanan di jalanan

Kian Parah

Kemacetan yang semakin parah, tekanan-tekanan saat berjubel di dalam bus kota, serta ”tergencetnya” aktivitas secara spasial akibat kepadatan penduduk menjadikan kebanyakan orang  yang hidup di kota besar, termasuk di Jakarta, memiliki potensi gampang marah.

Hal tersebut mungkin masih bersifat hipotesis, tetapi secara logika tentu saja penjelasan tersebut sangat rasional untuk sekolahan yang berjubel-jubel tanpa memiliki ruang bermain dan beraktivitas bagi para siswa.

Siswa adalah makhluk yang berinteraksi dengan lingkungan. Respons yang diberikan pada lingkungan yang nyaman secara spasial tentu akan berbeda dengan respons yang diberikan untuk lingkungan yang tidak nyaman secara spasial.

Efeknya tentu saja berdampak secara psikis, fisik, dan sosial. Siswa akan ”memberontak” jika terlalu lama berada dalam ruang yang sempit. Ruang yang sempit identik dengan keterkungkungan, kepengapan, kejenuhan, dan kebosanan.

Secara alamiah dan naluriah, tiap manusia akan mencoba memberontak dalam keadaan yang demikian. Itulah yang menjadi dasar kenapa sel-sel dalam penjara itu didesain dengan ruang yang sempit. Sel yang sempit memang untuk menghukum.

Pertanyaan kritisnya: haruskah kita terus membiarkan para siswa merasa terhukum oleh ruang sekolahan yang tidak layak? Terdapat catatan besar yang harus digarisbawahi, bahwa sekolahan dengan berbagai situasi dan kondisi yang sangat bervariasi masih memiliki cerita sangat buruk yang terkait dengan praktik kekerasan.



Kata kuncinya adalah kita patut mempertanyakan lagi tentang proses dan progres perwujudan program SRA. Ternyata bangsa ini butuh bukan sekadar sekolah yang ramah terhadap anak (child friendly school), tapi sebuah konsep sekolahan yang ramah untuk semua.

Para siswa itu tidak boleh terlalu lama dibiarkan tumbuh dan berkembang bagai seekor burung yang reaktif, kasar, sensitif, beringas, dan tak mampu terbang baik hanya karena terkurung dalam sangkar yang sempit.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya