SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (30/10/2017). Esai ini karya Heri Priyatmoko, dosen Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Alamat e-mail penulis adalah heripri_puspari@yahoo.co.id.

Solopos.com, SOLO–Maestro tari, Sardono W Kusumo, pulang kampung. Dalam usia sepuh dan lama berkarya di Jakarta, penari berambut gondrong ini tetap ingin berbuat sesuatu untuk Kota Solo.

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

Bersama barisan perupa muda dan Dinas Pariwisata Kota Solo, ia menggulirkan ide segar: melukis mural pada dinding pertokoan di Jl. Gatot Subroto yang akrab disebut koridor Jl. Gatot Subroto.

Segenap panitia sepakat, acara anyar itu disebiut Festival Solo is Solo. Sebagaimana diberitakan Solopos (27/10), Solo is Solo menjadi program Dinas Pariwisata untuk menciptakan ikon atau destinasi wisata baru di Kota Solo. Terdapat 100 lebih seniman street art yang terlibat dalam program Solo is Solo.

Pada Rabu (18/10) mereka mulai membuat karya di koridor Jl. Gatot Subroto sebagai langkah persiapan menuju peresmian oleh Wali Kota Solo. Kegiatan ini dikonsep seperti pameran. Beragam jenis karya yang disuguhkan, mulai realis, kartun, pop art, modern art, dan sebagainya.

Sardono merangkul kamu muda untuk menggugah ingatan publik tentang sejarah yang pernah terjadi di sepenggal jalan di kawasan Singosaren itu. Momentum perayaan Sumpah Pemuda 28 Oktober tidak mau dilewatkan begitu saja dengan upacara formal dan tukar cerita sejarah di dalam kelas yang cenderung mengurung imajinasi historis peserta didik yang bermuara pada kebosanan.

Kini memang muncul pergeseran bahwa sepotong jalan dapat dijadikan wahana mendongengkan riwayat kampung dan kota kepada khalayak ramai. Kepedulian sejarah hendak disemaikan di arena ini. Dalam konteks ini inspirasi sejarah yang patut diunduh dan ditawarkan kepada publik ialah Societeit Habipraya.

Pada tempo dulu ruang publik tersebut berada di sebelah utara Pasar Singosaren. Bangunan yang didirikan Paku Buwono X itu lenyap gara-gara diledakkan tentara Belanda saat agresi militer II. Di tempat itulah, pada 1934, para pemuda bangsa membenihkan gagasan Indonesia mulia (bukan Indonesia merdeka).

Dokter Soetomo, salah seorang pelopor organisasi Boedi Oetomo, memaknai ruang societeit atau soos sejatinya bukan hanya pusat pertemuan santai untuk lingkaran elite Eropa maupun pribumi yang dimanfaatkan sebagai ajang lobi, ruang komunikasi, sarana rekreasi seperti berdansa, menyesap minuman keras serta menikmati hiburan modern yang bersifat elitis dan eksklusif.

Selanjutnya adalah: Soetomo yang lahir di Nganjuk

Soetomo

Soetomo yang lahir di Nganjuk pada 1888 dan lulusan sekolah dokter STOVIA ini mendeklarasikan Partai Indonesia Raya (Parindra) di gedung tersebut. Kebetulan detik itu Solo menjadi kuali ideologi para tokoh bangsa yang berhasrat melawan kolonialisme karena mencekik kebebasan dan keadilan sosial. Ringkasnya, mereka ingin merdeka.

Dalam buku Kenang-kenangan Dokter Soetomo (1984: 33) dijelaskan pendirian Soetomo dalam masalah kemerdekaan merupakan gabungan dari pandangan yang praktis dengan idealisme. Sadar akan kelemahan rakyat Indonesia dan para pemimpin politiknya, Soetomo menandaskan kebutuhan ”pembangunan bangsa” (nation building), ”kebangkitan moral” (morele herbewapening), ”kegiatan diri sendiri” (otoaktivitas), dan sebuah konsep tentang Indonesia mulia.

Lelaki yang tutup usia pada 1938 ini memaknai istilah Indonesia mulia bukanlah lantaran ia takut memakai frasa ”Indonesia merdeka” yang lebih bertenaga, blak-blakan, dan bikin merah kuping penguasa kolonial Belanda. ”Tidak, namun lebih mengandung kehendak memuliakan jasmani dan rohani bangsa. Tetapi, sebaliknya kemuliaan sesuatu negara dan bangsa sudah pasti berada di dalam negara dan bangsa yang sudah mereka,” ungkap Soetomo dalam tulisan Puspa Rinontje.

Di podium Soetomo menegaskan bahwa cita-cita Indonesia mulia tidak akan terhalang, tak bakal mandek, walau negara kita telah merdeka. Tujuan memuliakan bangsa terus dikerjakan kendati seandainya bangsa kita sudah tidak dijajah kolonialisme dan feodalisme, masih harus menjadi laku abadi, masih harus berbakti kepada ibu pertiwi, dengan bekerja keras tanpa menghadapkan balas jasa.

Lantaran dinilai berani dan gagasan kebangsaan yang digelorakan begitu mencerahkan pada masanya, peristiwa peresmian Parindra di Societeit Habipraya diabadikan oleh jurnalis Darma Kandha. Di halaman pertama koran Boedi Oetomo itu terpampang foto Soetomo berdiri bareng para tokoh pergerakan di depan gedung. Senyum kegembiraan dan semringah menghiasi wajah mereka.

Acara disudahi dengan makan bersama di gedung. Tersembul kelegaan di sana. Parindra merupakan gabungan dari Indonesische Studieclub dan Persatoean Bangsa Indonesia. Peleburan ini meluaskan ruang gerak dan tema yang digarap. Mula-mula hanya menanamkan rasa tanggung jawab sosial dan politik di kalangan anggotanya yang mayoritas kalangan elite terpelajar.

Selanjutnya adalah: Terjangkaulah problem nasional di berbagai sektor

Problem Nasional

Selepas pendirian Parindra terjangkau problem nasional di sektor sosial ekonomi, bahkan nasib petani. Imbasnya adalah membuahkan ide cemerlang yang berfaedah bagi pembangunan. Bukan cuma rombongan priayi dan kaum cerdik pandai yang memanfaatkan Societeit Habipraya untuk vergedaring (pertemuan).

Badan perjuangan lain yang juga berkegiatan di gedung tua yang berada bibir jalan Singosaren adalah Persatuan Djurnalis Indonesia (Perdi). Organisasi ini menghimpun para jurnalis senior Indonesia. Mereka membentuk organisasi jurnalis. Ide kebangsaan dan spirit kemerdekaan tak mungkin mampu tersebar dengan baik tanpa peran juru warta.

Berbekal pena dan nyali yang tebal, mereka menatah gagasan cemerlang yang diunduh dari Soetomo, Soekarno, dan tokoh pergerakan lainnya. Misi dan sikap tegas jurnalis dalam memerangi ketidakadilan dan penindasan tak luput disuarakan lewat korannya sendiri.



Perdi didirikan pada 23 Desember 1933 pukul 24.00 WIB. Pelopornya adalah jurnalis senior dari kaum bangsawan, yakni R.M. Soetopo Wonoboyo dan R.M.Ng. Josodipuro. Dua fakta pendirian perkumpulan kebangsaan tersebut sejatinya meluruskan kembali makna Habipraya yang secara resmi diambil dari sinonim olah sengsem atau “upaya mencapai kemuliaan”.

Ideologi resmi tersebut hanya dipraktikkan ketika merintis lahirnya Boedi Oetomo cabang Surakarta pada 1908. Menurut Kuntowijoyo (2006), ideologi kemajuan itu dikhianati oleh praktik para anggotanya. Societiet Habipraya yang dibuka pada 1910 ini tidak melulu diisi kelompok priayi Kasunanan, Mangkunegaran, dan gubernemen dengan gila hiburan tayub (diikuti mabuk), judi pei, dan ruang haha-hihi saja.

Elite terpelajar sukses menggeser (mendekonstruksi) penyimpangan itu demi kemuliaan bangsa Indonesia. Agaknya ada kemiripan sejarah yang hendak ditampilkan Sardono dan pada perupa. Koridor jalan Gatot Subroto kini telah menjadi ruang ekonomi bisnis yang menenggelamkan sejarah lokal yang punya tautan dengan sejarah nasional.

Tersirat kerakusan manusia dan menghamba nafsu ekonomi belaka tanpa memedulikan aspek kebudayaan, sejarah, dan lingkungan sosial yang membentuknya. Dengan aksi mural di toko sepanjang jalan Singosaren ini, kesadaran akan ruang sosial dan sejarah kebangsaan “dipanggil pulang” agar kita tidak hampa nilai-nilai kemanusiaan. Mungkin perlu didirikan museum mini Habipraya sebagai penjaga ingatan. Ya, dari Habipraya untuk Indonesia…

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya